Calvin bener-bener gak tahan. Kali ini dia dengan serius mau bicarain semuanya ke Fabio.
Calvin gak bisa ngebiarin hatinya terus gelisah dihantui perasaan gak jelas ini. Semenjak Fabio pergi ke Bandung, dia jadi suka uring-uringan, bawaannya nethink terus, apalagi dia jadi susah fokus.
Ternyata kepergian Fabio ngasih efek sebesar ini bagi dirinya. Kendengaran emang lebay tapi emang gitu kok kenyataannya.
Di hari terakhir mereka ketemu Fabio nangis, sementara Calvin keliatan baik-baik aja. Tapi sekarang malah kebalikannya, Fabio keliatan seneng-seneng aja tuh keliatannya apalagi ditambah si om-om alias Raka yang katanya sepupu Fabio, makin seneng dia, ninggalin Calvin yang menderita seorang diri di sini.
Dengan tangan gemetaran karenan gugup dia beraniin diri ngehubungin Fabio lewat saluran telepon.
Baru aja ngedip sebentar teleponnya sudah tersambung, terdengar suara grasak-grusuk dari sebrang sana.
“Jangan ngomong dulu.” Kata Calvin cepat.
“Kamu dengerin aja.”
Calvin narik napas panjang, jujur Calvin gak pernah segugup ini dalam hidupnya.
“A—aku cemburu.”
“Iyaaa.. tau kalian cuma sepupu tapi aku— ralat hati aku nangkepnya be—beda.”
“Aku gak tau kenapa jadi seposesif ini liat Fabio sama Raka. Rasanya gak rela. Apalagi kamu selalu bilang lagi sama Raka, sama Raka terus.”
“Maaf aku cemburu. Aku tau aku gak punya hak buat cemburu apalagi ngelarang kamu buat jauh sama Raka.”
“Tapi di samping itu semua rasa kangen aku lebih besar dari perasaan cemburu tadi. Kangen banget pengen ketemu, Fabio kapan pulang?”
“Aku harap mama udah sembuh jadi kamu bisa secepetnya pulang ke Jakarta.”
“Fabio bisa ngomong sekarang.” Katanya.
Matanya menatap intens ponsel dengan intens, harap-harap Fabio bisa ngerti akan ucapannya tadi.
“Halo?” Ucap Calvin memastikan.
“Daddy bong-bong kangen papa?”
...
Harapan yang tadi setinggi langit langsung runtuh gitu aja waktu denger suara Luna yang ngejawab teleponnya.
“Papa lo mana???!”
“Papa lagi sama Om Raka di dapur. Daddy bong-bong kangen sama Luna gak? Jangan kangen sama papa, harus kangen sama Luna.”
“Jadi yang tadi ngangkat itu lo bukan Fabio???”
“Mm.. bukan.”
Ya Tuhan.
Calvin lempar hpnya ke atas kasur lalu dia timpa dengan bantal tanpa matiin dulu sambungan teleponnya.
“Bangsat.”
“Sia-sia gue tadi ngomong??”
“Astaga.”
“Ya Tuhan.”
“Mamaa.. Pipin mau pulang aja huhu.”