Calvin ngetuk pintu makin keras. Dia takut ada anjing yang dari kejauhan mulai lari kearahnya.
“Fabio.. huhu bukain.”
“Fabio asli ini aku takut.”
“Luna!”
“Weh anjing makin deket.”
“Fabio buka pintunyaaaaaa.”
“Plis cuma buat kali ini aja, takut ini mada ada tiga.”
“Anjing siapa sih itu woy? Anjing lo lepas!!!”
“LUNAAAA, BUKAIN CEPEEETTTTTT!”
Calvin duduk di kursi teras, ekspresinya gak bisa dikontrol, jelas dia panik.
Anjing-anjing itu tinggal beberapa meter di depannya. Dirinya udah pasrah kalau suatu saat nanti harus mati dikejar anjing.
Duk! Duk!
Suara ketukan munul dari kaca, Calvin noleh ke belakang.
“Gak ada orang di sini.”
“Rumahnya lagi kosong.”
“Gak usah ngelawak. Cepet bukain, Lunaaa..” Calvin ngerengkek kayak anak kecil. Bodo amat sama harga dirinya sekarang, dia cuma pengen masuk, takut dikejar anjing kayak masa kecilnya dulu.
“Tapi ada satu syarat.”
Hhh..
“Syarat apa lagi?”
“Kalau gak mau, daddy di sana aja biar digigit anjing.”
“Yaudah-yaudah buru!”
”...”
“Luna??!”
“Janji dulu!”
“Janji apa dulu????”
“Janji kalau daddy bong-bong mau jadi pacarnya Luna.”
Ekspresi Calvin berubah datar begitu denger ucapan Luna.
“Terus besok Luna sama daddy bong-bong nikah di sekolahnya Luna.”
Ini kalau gini syaratnya Calvin mending digigit anjing ajalah.
“Terus papa gimana?”
“Papa sama Om Ken aja.”
Niatnya cuma iseng ngajuin pertanyaan gitu, gak taunya Luna malah nanggepin serius.
Gak.
Gak.
Apa-apaan sama Ken.
Hidup Fabio nanti gak sehat tiap hari makan seblak sama baso aci buatannya.