Fabio mencengkram kuat stir mobil, atensinya menatap lekat pada pesan terakhir yang Nathan kirim.
Gak becus jadi suami.
Hatinya tercubit sakit.
Bisa apa Fabio selain tersenyum perih ketika Nathan mengatainya begitu. Ia melirik Luna di sampingnya, anak itu sedang mengunyah snack di tangannya.
Perasaan sakit hati tadi melebur ketika melihat anaknya. Tangannya terulur membelai rambut panjang sang anak.
“Makan terus. Anak Papa gak ngantuk? Udah malem loh ini.” Luna menggeleng semangat, pipinya menggembung lucu karena mulutnya penuh makanan.
“Tadi Papa khawatir Luna pergi kemana.” Tuturnya lembut,
“takut Luna kenapa-kenapa.”
“Untungnya Luna inget nomor Papa, juga untungnya yang sama Luna itu orang baik.”
“Abis sampe rumah gosok gigi, ya? Jangan tidur dulu.” Ia menjawil hidung Luna dengan gemas.
Matanya fokus ke depan, siap untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“Papa..”
“Hm?” Fabio melirik Luna yang memendangnya penuh arti.
Papa satu anak itu terkejut saat merasakan tangan Luna memeluk pingganga dari samping, “it's okay Papa. Don't cry, ada Luna di sini.”
“Maaf bikin Papa khawatir, nanti Luna kasih Papa cokelat yang Luna simpen di bawah bantal, hehe.”
Fabio tertawa gemas mendengar perkataan Luna. Anaknya itu paling memang peka jika perasaannya sedang tidak baik-baik saja.
“Papa sayang Luna.”