Hari minggu sekarang gak seperti hari minggu kemarin-kemarin, kenapa? Karena mulai hari ini Fabio dikasih jatah libur setiap hari minggu sama bos toko kue.

Gak mau rugi dengan hari liburnya sekarang, Fabio berencana ngajak Luna pergi ke mall buat cari buku bacaan Luna yang mulai abis.

Awalnya dia ngajak Ken tapi ternyata Ken gak bisa, ya mau gak mau Fabio harus terima dia gak mau maksain seseorang harus nurut sama permintaannya.

“Luna mau beli buku berapa?” Fabio merendah, tangannya terangkat benerin rambut Luna yang sedikit berantakan.

“Cara ampuh agar pria tertarik.”

“Heh.” Fabio syok sama jawaban Luna.

“Buku apaan itu? Biasanya juga cerita tentang princess atau binatang.”

“Biar pacar Luna gak putusin Luna.”

Ekspresi Fabio berubah datar. Gak habis pikir. Siapa yang dengan kurang ajarnya ngajarin Luna kayak gitu? Siapa?

“Om Ken yang saranin.”

Ken lagii!

Kayaknya mulai sekarang Fabio harus minta Ken jaga jarak sama Luna, kalau dibiarin bisa makin aneh-aneh aja tingkahnya.

“Gak ada pacar!”

Suara berat yang terkesan memerintah itu sukses bikin keduanya terkejut.

“Masih kecil. Gak boleh pacaran.”

“Umur Luna baru lima tahun.”

Fabio berdiri, tangannya dilipat di depan dada dan matanya natap si pemilik suara berat tadi dengan tajam.

“Ngapain ke sini?” Suara lembut Fabio berubah sinis.

“Emang gak boleh ke Mall? Mall ini punya Fabio? Iya?”

“Bukan itu maksudnya.”

“Terus apa?”

Fabio ngedecak kesel, tubuhnya berbalik dan narik Luna menjauhi si pria tinggi. Untungnya Luna mau nurut tanpa protes.

“Luna gak kangen emang sama daddy bong-bong?”

Langkahnya berhenti, anak kecil itu noleh ke belakang lalu natap sang papa.

“Gak kangen kalau daddy bong-bong cuma bikin papa nangis terus.”

“Papa sering nangis?”

“Iya.”

“Kenapa gak bilang?”

“Lun—”

“Apa sih, Calvin? Gak jelas banget pertanyaannya.” Fabio motong ucapan Luna.

“Luna juga gak jelas jawabannya.”

“Kan emang papa sering nangis, bilangnya kangen sama daddy bong-bong. Sekarang orangnya udah ada pura-pura lupa.”

Skakmat!

Fabio dibuat mati kutu sama ucapan Luna. Wajahnya mulai kerasa panas, ditambah matanya mandang Calvin yang nampilin seringaian tipisnya.

“Ngapain kayak gitu?” Tanya Fabio nyolot.

“Hah? Gak ngapa-ngapain. Perasaan kamu doang kali.”

“Terserah.”

“Papa pipinya merah tuh.”

Ish! Luna inii!

Fabio gak bisa lagi tahan malunya, akhirnya dia pergi ke rak buku lain ninggalin Luna sama Calvin.

“Papa gak jelas.”

“Iya gak jelas banget tapi cantik kayak Luna.” Calvin ketawa kecil.

“Daddy bong-bong juga.”

“Apa?”

“Makin gak jelas.”

“Dih. Tau apa tentang Daddy bong?”

“Suka sama papa tapi gak ditembak terus, kalah sama pacarnya Luna.”

Skakmat buat Calvin.

Kata-kata Luna langsung ngehujam ulu hatinya, “apa sih, bocil.”

“Tembak makanya jangan didiemin terus.”

“Emang papanya mau?” Keduanya berjalan santai sambil mencari Fabio.

“Mau kayaknya.”

“Kok kayaknya?”

“Soalnya Om Ken u—”

“Apa-apaan! Gak boleh! Jangan diterusin ngomongnya.” Calvin protes, dia segera bawa Luna ke dalam gendongannya.


“Jangan makan pedes!”

“Beli yang original aja.”

“Fabio mau baju? Baju tidur gitu atau buku resep bikin kue?”

“Biar aku yang ambilin. Kamu diem aja.”

“Luna mau daddy bong-bong siapin?”

“Tuh kan kepedesan. Makanya nurut kalau dibilang beli yang original, udah tau gak suka pedes.”

“Luna jangan kayak papa ya. Papa nakal gak pernah nurut.”

“Luna! Luna! Jangan ke situ. Sini aja sama daddy bong-bong, gak boleh deket-deket sama cowo.”

“Bilangin ke cowo yang ngaku jadi pacar Luna, kata daddy bong-bong harus putus.”

“Gak ada yang boleh jadi pacarnya Luna sebelum lulus tes pertanyaannya daddy bong-bong.”

Fabio migrain denger semua ocehannya Calvin. Maunya Calvin apa, sih? Kenapa dia tiba-tiba kayak gini?

Sikap Calvin yang cuek juga dingin kayak kemarin itu kemanain?

Fabio takutnya syaraf di otak Calvin ada yang kena karena semenjak kejadian Calvin nyerempet tembok sikapnya bener-bener berubah.

“Gak usah ngatur Luna.”

“Bukan ngatur tapi ngasih tau! Anak sekecil itu udah tau pacar-pacaran aneh banget. Gimana kalau ada apa-apa sama Luna?”

“Ya emang apa sih yang ada di pikiran anak kecil? Paling cuma main main doang.”

“Nah itu! Awalnya main-main nanti kedepannya apa tuh?”

Mata Fabio ngelirik Calvin gak suka, “gak sadar diri.”

“Apa?”

“Itu ada kecoa terbang.”

Posisi tubuh Calvin berubah ngehadap Fabio di sampingnya, “kamu lucu.” Diakhiri senyuman maut yang ngebuat hati Fabio makin gak karuan.

“Udah gila.”

“Beneran lucu, iya kan Luna?”

Luna berhenti ngunyah lalu ngangguk pelan dan kembali melanjutkan acara makannya.

“Gak jelas Calvin ihhh.” Fabio ngedorong Calvin sebagai pelampiasan atas rasa malunya yang ke sekian kali hari ini.

“Maaf buat sikap aku kemarin-kemarin.”

“Fabio, liat aku!”

“Maaf.. gak tau lagi kata apa yang harus aku ucapin selain kata maaf. Aku baru sadar perasaan yang selalu buat diri aku gelisah dan gak bahagia selama satu tahun lebih ini itu karena aku sayang sama kamu.”

“Kedengerannya mungkin jahat. Mau sebaik dan seromantis apapun hubungan aku sama Calya waktu pacaran itu gak pernah bikin aku bahagia seutuhnya, rasanya ada yang kosong tapi aku gak tau itu apa. Di pikiran tuh selalu muncul kalimat ini gak cocok, ini gak bener, ini salah, dan lain sebagainya.”

“Aku yang childish dan kamu yang masih belum seratus persen sembuh dari trauma masa lalu kamu waktu itu yang ngebuat hubungan kita kayak gini. Harusnya aku lebih ngertiin kamu tapi malah marah, ngebentak, lalu ngejauh gitu aja tanpa penjelasan apapun. Sakit ya, Fabio? Pasti dulu kamu sedih karena sikap aku.”

“Maaf aku ingkar janji. Gara-gara aku nih tangan kamu jadi banyak goresan lagi.” Calvin ngusap goresan yang setengah kering di pergelangan tangan Fabio.

“Fabio, aku serius kali ini. Aku sayang kamu, ini bukan perasaan yang dateng tiba-tiba karena butuh waktu lama buat nyadarin aku.”

“Maaf telat ngakuinnya.”

“Aku gak berharap jawaban atas pengakuan aku ke kamu hari ini. Aku cuma pengen kamu tau kalau ini aku sekarang.. Calvin Alvaro yang terlalu pengecut dan kekanakan yang jatuh cinta sama seseorang yang umurnya lebih tua empat tahun.”

“Kalau kamu merasa gak nyaman itu wajar, pasti kaget dan gak percaya aku bisa ngomong gini sama kamu. Takut aja rasanya, takut gak ada kesempatan lagi buat jujur sama kamu.”

“Maaf.”

“Maaf gak ada di sana waktu Fabio lagi masa penyembuhan yang mana itu malah jadi masa kesakitannya Fabio lagi.”


Maaf banget ceritanya makin gak jelas :'''''