“Ini merah. Pasti sakit, ya uncle?”
“Uncle gak nurut sama Papa.”
“Dev kasih stiker.” Anak itu melepas stiker bergambar beruang yang ia bawa lalu menempelkannya di setiap perban.
Terakhir Chanyeol terkejut dengan perlakuan Devlin yang tiba-tiba mencium pipinya.
“Gak boleh sakit lagi, janji?” Jari kelingking mungil terangkat, mengisyaratkan Chanyeol agar mengaitkan jari kelingkingnya juga.
“Harus sembuh biar Papanya uncle seneng.”
“Dev juga,” suaranya gemetar.
“Harus sembuh.”
Chanyeol bisa lihat Devlin tersenyum dan mengangguk meski pandangannya buram karena air mata yang kembali menggenangi pelupuk matanya.
“Yeol sorry. Dev harus balik ke kamar.”
Chanyeol menoleh ke belakang, “kenapa?”
“Dev harus istirahat. Gak baik lama-lama di luar, banyak virus.”
Ah, iya. Chanyeol sempat lupa tadi. Anaknya itu sedang sakit keras.
Kursi roda diambil alih Kai. Chanyeol mundur memberi jalan pada mereka.
Devlin kembali jauh dari pandangannya.
Tidak bisa.
Hatinya menolak berpisah dengan sang anak.
Mengabaikan rasa perih yang berdenyut di setiap tubuhnya, Chanyeol menarik tiang dan mengejar untuk menghentikan mereka berdua.
“Tunggu sebentar.”
“Kenap—”
“Kangen. Daddy kangen sama Dev.” Tiang penyangga infus terjatuh, Chanyeol tidak peduli. Saat ini dirinya hanya ingin memeluk tubuh Devlin.
Chanyeol tidak peduli juga pada Kai yang terus mencoba melepaskan dirinya.
Ia butuh Devlin.
Hal yang berharga di hidupnya.
Dekapannya menguat. Chanyeol masih belum ingin berpisah.
Dalam hati ia meraung-raung menyesali segala perbuatannya dahulu.
“Maaf.” Hanya itu yang mampu Chanyeol ucapkan.
“Maafin Daddy.”
Kilasan-kilasan perbuatannya dulu terlintas dipikirannya.
Mengingkari janjinya pada Devlin,
Mengacuhkan keinginan Devlin untuk bermain bersama,
Membiarkan Devlin menangis karena ingin bertemu,
dan paling parah saat ia meninggalkan Devlin seorang diri di tempat ramai, sementara dirinya pergi menemui Hani yang saat itu sedang panik karena Malka terjatuh.
Kenapa dirinya sangat bodoh waktu itu?
Kenapa dirinya baru sadar saat Devlin sudah sakit begini?
Chanyeol marah pada dirinya sendiri. Semua perjuangannya untuk Devlin belum ada apa-apanya. Ia perlu membayar lebihbanyak lagi.
“Yeol, Dev harus istirahat.” Kai melepaskan pelukan Chanyeol dan segera mendorong kursi roda.
“Nanti kita main bareng lagi!”
“Jangan nangis.”
“Dah uncle!”
Chanyeol menangis lagi ketika Devlin melambai kearahnya. Pandangannya sudah benar-benar terputus oleh belokkan.
“Selamat ulang tahun, Dev.”
Maunya Chanyeol pergi mengikuti Devlin tapi ia ingat perkataan Kai bahwa kamar Devlin itu steril, tidak boleh dikunjungi banyak orang.