Kali ini Kai kecolongan.
Chanyeol memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar rawat Devlin.
Awalnya hanya ingin sekedar mengintip keadaan Devlin tapi Chanyeol tidak menemukan siapa-siapa di sana.
“Dev tau gak kenapa rambut Dev gak ada?“
Samar-samar terdengar suara dari kamar mandi. Ia segera mendekati pintu, mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan.
“Itu karena Tuhan ambil dulu rambut Dev—“
“Tuhan jahat!“
“Enggak sayang, ssttt.. Tuhan baik, baikk banget. Dev suka ngerasa kepanasan kan? Tapi dokter belum izinin Dev mandi. Jadi Tuhan ambil rambut Dev supaya Dev gak kepanasan.“
“Terus— terus kapan dibalikinnya?“
“Nanti kalau Dev udah sembuh.“
“Kapan?“
”...”
Chanyeol menjauhi pintu kamar mandi. Udara di sekitar perlahan membuatnya sesak, nafasnya jadi tidak beraturan.
Mendengar pembicaraan Baekhyun dan Devlin menyakiti hatinya.
Matanya menatap lurus pada tempat sampah di pojok pintu kamar. Ada banyak gulungan tisu di sana, gulungan tisu yang dipenuhi dengan warna merah segar seperti darah.
“Anak Daddy..” Chanyeol bersimpuh di dekat tempat sampah. Melihat gulungan tisu dengan seksama.
“Maaf Daddy gak pernah peduli sama Dev.”
“Maaf Daddy suka sibuk.”
“Maaf—”
“Daddy!!” Ia menoleh ke belakang. Ada Baekhyun yang terdiam dan Devlin yang berada dipelukannya. Buru-buru ia berdiri menghampiri mereka.
Jika saat itu kondisi Devlin di matanya sudah buruk, kali ini kondisinya semakin buruk.
Hidungnya yang memerah seperti bekas noda darah, wajahnya yang membengkak, kulit bibir yang semakin pucat, jarum infus yang masih terpasang, serta perban di kepala anaknya yang belum juga terlepas. Jangan lupakan tubuh mungil anaknya yang semakin kurus.
“Daddy dateng!” Devlin merentangkan kedua tangannya, mengisyaratkan untuk digendong Chanyeol tapi Baekhyun langsung mendekapnya dan membelakangi Chanyeol.
Bisa ia lihat Baekhyun segera mengambil ponselnya di saku celana dan menelepon seseorang.
“Kai udah saya minta buat urusin kerjaan di kantor.” Ucapnya karena ia sudah yakin Baekhyun akan menghubungi Kai yang belum juga kembali ke kamar.
“Tadi saya liat Luhan balik lagi naik taksi, kayaknya ada urusan mendadak juga.”
Baekhyun masih tetap pada posisinya membelakangi Chanyeol. Sedangkan Devlin sedaritadi memanggil-manggil nama Daddnya dan meminta Baekhyun untuk melepaskannya.
“Daddy lepasin Dev dari Papa.”
“Papa hiks mau ke Daddy!”
“Daddy jangan pergi lagi hiks.”
“Dev mau sama Daddy, Pa.”
Mendengar Devlin yang memohon sambil menangis seperti itu membuat Chanyeol sedikit emosi karena Baekhyun tidak kunjung bereaksi.
“Baekhyun biarin Dev sama saya di sini.”
“Saya gak akan bawa dia kemana-mana.”
“Cuma di sini.” Kakinya ia bawa ke depan menghadap Baekhyun.
Bukannya Baekhyun egois hanya saja ia tidak ingin kejadian buruk menimpanya lagi.
Tahu sendiri setiap bertemu Chanyeol dirinya selalu sial. Belum lagi kemarin Hani yang tiba-tiba datang dan mengamuk padanya.
Dekapannya mengerat.
“Mas Chanyeol pergi.” Kata Baekhyun datar.
“Gak mau! Jangan pergi Daddy!” Devlin semakin meronta-ronta membuatnya sedikit kewalahan, takut terjatuh.
“Mas Chanyeol ada apa ke sini?”
“Saya mau ketemu anak saya, mau jengukin anak saya.”
'Anak saya' rasanya Baekhyun ingin tertawa. Dulu saja mantan suaminya itu tidak pernah sedikitpun peduli tapi lihat sekarang?
Memakai embel-embel 'anak saya' sebagai tujuannya kemari. Devlin hanya anaknya seorang diri. Dia tidak punya Daddy.
Dan juga apa Chanyeol tidak menyadari banyak luka di wajahnya? Apa Chanyeol tidak tahu kemarin Hani mengamuk padanya?
“Daddy ke sini hiks..”
Meski hanya sebatas dengan keyakinannya Chanyeol mencoba mengambil alih tubuh Devlin.
Matanya masih bertemu pandang dengan Baekhyun yang bergeming, “izinin saya sebentar.”
Seperti mimpi Devlin berada dipelukannya sekarang, “Dev kangen sama Daddy.”
Hatinya menghangat.
Rasanya masih sama seperti dulu. Sekian tahun menghilang kini ia rasakan kembali.
“Daddy juga kangen sama Dev.” Satu tetes air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya.
“Daddy jangan nangis.”
“Papa liat! Daddy nangis ngikutin kayak Papa suka nangis.”
Baekhyun tersenyum tipis, ia keluar dari kamar rawat karena rasanya canggung berada di rungan kecil bersama Chanyeol ditambah ada Devlin.
Chanyeol memperhatikan Devlin yang sibuk bermain dengan robot Iron Man pemberiannya.
Sesekali menimpali celotehan Devlin,
“Daddy ada monster di situ! Iron Man nya kalah.”
“Daddy bantu pake mobil polisi supaya menang.”
Wajah anaknya terlihat berkali-kali lebih bengkak dari yang ia lihat tadi. Chanyeol tidak bodoh untuk menyadari itu efek samping dari kemoterapi.
Baekhyun kembali berbohong padanya.
Anak mereka sedang tidak baik-baik saja. Devlin menderita penyakit serius.
“Dev ada sakit?”
“Di kepala suka pusing.”
Tangannya mengusap-usap pelan kepala Devlin, “Daddy usir pusingnya supaya Dev gak sakit.”
“Tapi Dev gak punya rambut.”
“Iya Dev gak punya.”
“Jadi jelek.”
“Siapa bilang, hm? Dev lucu. Ngingetin Daddy waktu Dev masih bayi.. belum punya rambut.” Chanyeol terkekeh karena tiba-tiba teringat itu.
Di belakang mereka ada Baekhyun yang memperhatikan. Awalnya ingin masuk ke kamar untuk mengambil ponsel tapi ia malah berdiam diri di sofa.
“Dev mau punya rambut atau enggak tetep lucu. Rambut bisa tumbuh lagi sayang.”
Devlin hanya mengangguk-ngangguk. Saat akan bergeser Devlin tidak sengaja menjatuhkan mainan mobil polisi dan Chanyeol segera mengambilnya.
“Rusak. Mobil polisinya gak bisa nyala.” Devlin menangisi mainannya.
“Sini Daddy benerin.”
Chanyeol mengutak-atik mainn dengan peralatan seadanya tapi tetap tidak membuahkan hasil.
“Rusak ya Daddy. Maaf Dev ngerusakin. Dev nakal, maaf..”
Baekhyun mendekat untuk menenangkan Devlin yang menangis semakin keras.
“Gak rusak ini. Mobil polisinya lagi istirahat dulu, katanya ngantuk jadi gak nyala besok-besok pasti nyala lagi. Dev jangan nangis terus sayang.”
“Tuh bener kata Papa, mobil polisinya lagi tidur.” Chanyeol menyeka air matanya sementara mobil mainan tadi ia simpan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang dan membelikan Devlin mobil mainan yang baru.