Layar ponsel menunjukkan panggilan tidak lagi terhubung.

Chanyeol tidak tahu apa yang terjadi. Seingatnya tadi ia hanya menyebut nama Baekhyun lalu terdengar suara seperti barang yang dilempar keras.

Ia membenarkan posisi backpack besar yang disangkut di bahu kirinya. Matanya melirik ke sana kemari mencari plang arah rumah sakit di mana anaknya berada.

Semua informasi mengenai Baekhyun dan Devlin ia dapatkan meski harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar seorang pelacak.

Harusnya hari ini Chanyeol mencari tempat untuk beristirahat dulu tapi menurutnya itu terlalu buang-buang waktu. Ia ingin segera menemui anaknya.

“Demi Devlin.” Ucapnya dalam hati. Kaki jenjangnya mengayun menyeberangi zebra cross menuju halte tempat pemberhentian bus atau taksi.

Binar kebahagiaan terpancar di matanya. Hari yang Chanyeol tunggu tiba karena lusa sudah memasuki hari ulang tahun Devlin. Chanyeol tidak sabar untuk itu, ia juga sudah menyiapkan hadiah untuk Devlin di dalam totebag yang ia jinjing.

Daddy besok ke sini lagi, main sama Dev.

Ucapan Devlin terlintas dipikirannya. Chanyeol tahu ia sangat terlambat dan tidak menepati janjinya.

Besok Daddy ke sini? Dev tunggu!

Beberapa detik kemudian Chanyeol menggertakan giginya kesal. Lagi-lagi teringat ucapan Devlin pada Joo Hyuk.

Chanyeol tidak akan membiarkan Joo Hyuk mengambil alih posisinya.

Ya, harus.

Kali ini ia akan berjuang membahagiakan Devlin.

Tidak ada lagi Chanyeol yang menyia-nyiakan waktu, tidak ada lagi Chanyeol yang acuh, dan tidak ada lagi Chanyeol yang memprioritaskan hal lain selain anaknya.

Dev gak apa-apa Daddy.” Kedua sudut bibirnya tertarik. Chanyeol yakin Devlin baik-baik saja saat ini sebab anaknya itu kuat seperti dirinya.

TINN!! TINN!!

“Hey, minggir!!” Seseorang berteriak dari arah depan.

Belum sempat Chanyeol mencari arah suara, tubuhnya sudah terpental jauh dari jalan yang ia sebrangi tadi.

BRAKK!

Tubuh bagian kirinya terhantam mobil truk.

Barang bawaannya terlepas dari tubuhnya.

Kepala bagian belakang beberapa kali menghantam benda tajam, tubuhnya berguling dua kali ke bahu jalan, dan berakhir dengan wajah yang menggesek jalanan beraspal.

Suara teriakan orang-orang berdengung keras di telinganya.

Binar mata yang memancar kebahagiaan tadi mengerjap, ia memperhatikan langit Singapore yang sedang cerah-cerahnya hari ini.

Nafasnya berhembus pelan menyambangi rasa sakit yang mendera.

“Arghh.”

Rasanya sangat pusing.

Pandangannya mengabur sehingga tidak bisa melihat dengan jelas orang-orang yang mulai mengerumuninya.