“Maaf, Sa.”
Arsya bersujud dan kedua tangannya memegang kaki Aksa dengan erat.
Suaranya terdengar bergetar, bermenit-menit Arsya tetap pada posisinya yang seperti itu.
Sementara Aksa hanya bisa diam termenung melihat Arsya bersujud dibawahnya.
“Bangun, Sya. Gak enak diliat orang.” Aksa berujar lembut, tangannya mengelus rambut sang pacar sampai ke bahunya.
“Maaf, Sa.” Lagi-lagi kata maaf terucap.
“Sstt.. Sya itu gak bener. Mereka cuma mau jatuhin kamu secara pacarnya Aksa itu siswa yang berprestasi di sekolah.” Ucapan Aksa masih tenang. Ia tidak mau termakan berita hoax, pacarnya tidak akan pernah melakukan hal yang sehina itu.
“Enggak, Sa. Danesh— mereka semua bener, aku kelepasan waktu malem itu.”
Mereka bener.
Aku kelepasan.
Bahu Aksa merosot. Kakinya mendadak lemah sehingga membuatnya jatuh terduduk di depan Arsya.
Kenapa Arsya?
“Maaf, Sa.”
“Aku bego, maaf. Aku tau kesalahan aku kali ini gak pantes kamu maafin. Aku— aku salah udah berbuat hal semacam itu tanpa mikirin kamu dan kedepannya.”
“Aku gak tau kalau Kirana akan hamil anak aku.”
“Aku kira dia cuma bercanda waktu kemarin malem kirim foto testpack yang nunjukin dua garis. Aku minta dia tes lagi besok waktu pagi, dan ternyata itu bener. Dia hamil.”
Hamil anak aku.
“Aku buntu, Sa. Aku gak tau harus gimana. Aku sayang sama kamu.” Arsya menengadah, ia tatap wajah Aksa, mata yang biasa berbinar indah itu kini terlihat kosong.
“Aku sayang sama kamu, Sa. Aku minta maaf.” Arsya kembali menunduk, ia sudah tidak punya lagi keberanian untuk menampakan wajahnya pada Aksa.
Semilir angin di malam hari menemani kedua anak adam itu. Suara kendaraan yang ramai dan berlalu-lalang tidak mampu menghibur Aksa.
Jika Arsya saja buntu, bagaimana dirinya? Aksa lebih buntu lagi, ia tidak tahu harus berbuat apa.
“Pukul aku, Sa.”
Aksa berusaha melepaskan diri tapi tangannya Arsya cekal kuat.
“Tampar aku, pukulin aku sepuas kamu. Aku pantes dapetin itu.”
“Atau gak kita pergi ke tempat yang jauh. Kita hidup berdua sesuai mimpi kita dulu, mau Sa? Kita pergi, ya.” Perasaanya makin tak terkontrol, Arsya meremat tangan Aksa lebih kuat sampai si mungil meringis.
“Aku gak mau, Sya.” Katanya lemah sembari melepaskan pegangan tangan Arsya.
Netra keduanya beradu. Masing-masing memancarkan makna yang berbeda.
“Aku gak mau pukulin kamu karena itu bisa nyakitin tubuh kamu,”
“Juga,” tenggorokan tercekat ketika akan melanjutkan kalimatnya, “aku gak mau kita pergi ngehindar dari masalah yang kamu buat.”
“Arsya..” tangannya terulur membelai helai rambut lelaki tinggi dihadapannya.
“Pacar Aksa harus berani. Pacar Aksa harus bertanggung jawab, saat ini tolong jangan pikirin yang lain dulu.”
“Kasian adek bayinya kalau tau ayahnya lari ngejauh dari ibu serta dirinya.”
Air mata Arsya lolos begitu saja setelah mendengar penuturan Aksa.
Arsya brengsek.
Bisa-bisanya ia menghancurkan kepercayaan Aksa padanya, di saat begini saja Aksa masih mementingkan orang lain ketimbang perasaannya sendiri.
“Maaf, Aksa.”
“Maaf karena aku bodoh.” Mata cantik berkedip kosong, mimik wajahnya tenang seperti sedang tidak terjadi apa-apa.
“Prioritas kamu sekarang bukan aku.”
“Kenapa?”
Aksa terkekeh, “kok nanya kenapa? Kedepannya Arsya harus perhatiin ibu sama adek bayinya.”
“Aku gak mau.”
“Kalau gitu Arsya jahat. Arsya harus mau.”
“Aku gak mau putus sama kamu, Sa.” Air matanya jatuh lagi, kali ini lebih deras.
“Jangan tinggalin aku.”
“Aku gak bisa tanpa kamu.”
Dengan tidak tahu dirinya Arsya mendorong tubuhnya memeluk tubuh kecil Aksa yang mematung.
“Aku sayang banget sama Aksa.”
“Maaf aku ngecewain kamu.”
“Kamu boleh marah tapi tolong jangan minta putus karena aku gak bisa terima itu.”
“Aku sayang kamu, Aksa juga, kan?”
“Kamu juga sayang aku kan, Aksa?” Arsya memperjelas pertanyaannya tapi Aksa tidak kunjung menjawab.
“Aksa akan terus jadi prioritas aku. Aku gak peduli tentang mereka.”
Semoga ya, Sya.
WKWKWK ini mau dibikin pendek aja sih sayang aja ada ide tapi gak dituangin, ujung-ujungnya suka lupa.
Aku lupa caranya nulis angst. Gak tau ini ngefeel atau enggak 😂