“Mommy, Malka kangen.” Anak perempuan yang memakai dress cerah bercorak bunga itu meraung-raung memanggil Mommy-nya.

“Kapan Mommy bisa keluar?”

“Malka pengen tidur lagi sama Mommy.”

“Malka pengen kayak dulu lagi.” Kedua tangannya mencengkram pagar pembatas antara ruang tahanan dan ruang pengunjung.

“Hani,” suara lain terdengar. “Malka nanya.”

“Kenapa Mommy gak jawab Malka?” Malka menoleh pada seseorang di belakangnya.

“Malka kangen sama mommy.. sama adek juga.”

“Daddy Yeol juga kangen.”

“Iya kan Dad?”

Chanyeol bungkam.

Yang disebut Daddy Yeol pun tidak menjawab. Matanya melirik Chanyeol dan Hani bergantian, mencerna situasi membingungkan bagi anak seusianya.

“Kenapa Mommy sama Daddy Yeol gak jawab?”

“Malka daritadi nanya.”

Lagi-lagi hanya diisi keheningan.

“Daddy Yeol mau ke mana?”

“Chanyeol.” Nada penuh penekanan berdengung di telinga Chanyeol namun itu tidak menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.

Lengan kecil melingkar di kedua kakinya yang tinggi, cuitan pilu dengan nada memohon sukses membuatnya berhenti.

“Daddy Yeol jangan pergi.”

“Udah lama gak main bertiga.”

“Ada Daddy Kris di luar.” Jawab Chanyeol datar.

“Tapi—”

“Chanyeol.”

Ia mendengus kasar mendengar namanya kembali disebut. Chanyeol benci berada di situasi memuakkan. Jika bukan karena Kris yang memohon-mohon padanya sampai berlutut ia tidak akan sudi menemani Malka menemui Hani.

Lagipula kenapa Malka terus ingin bersama dirinya padahal sudah jelas ada Kris, ayah kandungnya sendiri.

Chanyeol meminta Malka untuk pergi keluar menemui Kris sementara dirinya akan terlibat pembicaraan omong kosong dengan Hani di sini.

“Maaf.”

“Aku gak bermaksud nembak kamu.”

“Aku minta maaf.”

“Maaf Yeol.”

Air mata buaya. Chanyeol tidak akan terpengaruh dengan semua yang Hani ucapkan kali ini.

“Aku minta maaf.”

Satu kakinya disilangkan, sedangkan kedua tangannya dilipat sebatas dada. Chanyeol duduk santai dengan menyender pada bantalan kursi yang empuk.

Masih dengan mendengarkan omong kosong yang Hani utarakan,

“sumpah Demi Tuhan. Aku minta maaf.”

“Aku.. aku cuma mau Baekhyun tau diri. Dia udah ngerusak hubungan kita, dia gak tau diri, dia bego banget kan? Kita mau nikah tapi batal gara-gara dia.”

“Aku nembak dia di bahunya padahal target aku kena dada.”

“Kamu lindungin dia. Kamu lebih mihak dia daripada aku tunangan kamu.”

“Baekhyun cuma masa lalu.”

“Dia jahat.”

“Aku harap dia mati.”

“Baekhyun gila—”

PRANGGG!

Gelas kaca yang disediakan petugas sel Chanyeol pecahkan.

“Psikopat!” Bentak Chanyeol lantang.

Agaknya Hani sudah benar-benar tidak waras. Yang dibutuhkannya bukan penjara melainkan rumah sakit jiwa.

Psikisnya terganggu akan obsesi memiliki Chanyeol.

Chanyeol merasa iba dengan bayi yang masih berada dikandungan Hani. Jika tahu ibunya seperti ini mungkin bayi itu akan menolak untuk lahir nanti.

“Harusnya dulu gue gak kepincut sama lo.”

“Harusnya gue pertahanin Baekhyun bukannya iyain permintaan cewe gila.”

“Semoga lo busuk di penjara.”

Chanyeol pergi meninggalkan Hani yang meraung-raung memanggil namanya dengan isak tangis.

“Daddy Yeol mau ke mana lagi?”

“Gue bukan Daddy lo.”

“Berhenti manggil gue dengan sebutan Daddy.”

Tubuhnya ia bawa mendekati Kris, “didik anak lo jangan sampe kayak ibunya.”

“Urusan gue selesai.”

Bayangan-bayangan kebahagiaan akan hari ini musnah karena harusnya Chanyeol pergi menemui Devlin dan Baekhyun sekarang.

Iya harusnya.

Moodnya terlanjur hancur, ia tidak ingin bertemu Devlin dengan keadaan suasana hati yang buruk.

Mungkin Chanyeol akan mencobanya sore nanti atau besok mungkin?

“Maaf hari ini Daddy belum bisa ketemu Dev.”

“Maaf ngelanggar janji lagi.”

“Maafin Daddy..”