Nyatanya pembahasan tentang tatapan mata Fabio yang berbeda itu benar adanya.

Calvin sungguh tidak membual. Kesan yang Fabio berikan membuat ia tertarik, tertarik ingin menelisik lebih jauh tentang apa maksudnya.

Bukan.

Bukan perasaan cinta, ini lebih dari sekedar itu.

Suara ketukan pintu terdengar, menandakan Fabio, Papanya Luna datang untuk menjemput anaknya.

“Luna ngerepotin, ya? Sampe ketiduran gitu.”

Mata mereka bertatapan kembali.

Tubuh mungil itu merangsek masuk ke dalam kamarnya, kedua tangannya bergerak untuk menggendong Luna.

“Anak Papa berat banget sekarang.”

“Pasti seharian ini banyak bikin ulah.”

“Maaf aku sering repotin kamu padahal kita termasuk orang yang baru ketemu, tapi udah anak aku udah berani sama kamu.”

Calvin diam memandang punggung sempit itu dari belakang, ia sibuk menyaksikan Fabio yang kesusahan mengangkat tubuh Luna.

“Aku ada bawain roti buat kamu. Jumlahnya gak seberapa tapi lumayan buat ganjelan perut kalau lagi lapar.” Kakinya tertatih-tatih berusaha bangkit dengan tubuh yang membawa beban. Nafasnya bahkan terdengar padahal hanya mengangkat Luna.

“Sok kuat.”

“Hm?” Kedua alis Fabio terangkat lucu.

“Ck,”

“Udah-udah sini. Kalau gak kuat gak usah ragu buat minta tolong.” Dengan nada sok ketusnya Calvin mengambil alih tubuh Luna.

“Ke mobil, kan?”

“Heh!”

“Eh? Iya iya ke mobil.”

Calvin berjalan lebih dulu, baru Fabio mengikutinya dari belakang.

Sepanjang perjalanan bibirnya terus menggerut akan sikap Calvin yang dingin.

“Susah jodoh nanti.”

“Gak ada yang mau deketin.”

“A—duh.” Wajahnya menubruk punggung lebar milik si lelaki tinggi.

“Apa lo bilang?”

“Hah? Enggak.”

“Gue denger, ya!”

“Kalau denger kenapa nanya?” Fabio lantas mengatupkan kedua bibirnya, ia terkejut dengan kalimat yang baru saja ucapkan. Apalagi ekspresi Calvin yang memandangnya sinis.

“Lo jalan duluan sana!” Titah Calvin.

“Makanya badan lo tuh tinggiin, rajin olahraga juga jadi gak keliatan kurus sama gak ada tenaga.”

“Diem mulutnya!”

“Cuma saran dan itu fakta.”

“Gak sopan!”

“Anak lo nih lebih gak sopan.”

”...maaf.”

Hatinya jadi panas, Calvin merasa bersalah melihat Fabio yang berubah murung.

“Ya, gue maafin.” Ia melebarkan langkahnya, kembali berjalan mendahului Fabio.

“Lelet banget. Keburu bangun nih tuan putri.” Sindirnya berusaha untuk mencairkan suasana yang tegang.

“Ish, iya iya.”

Tanpa Fabio sadari tadi Calvin sempat melihat pergelangan tangan dan jari-jarinya terluka.

Awalnya Calvin ingin bertanya, tapi ia urungkan karena merasa tidak memiliki urusan untuk mengetahui apa yang terjadi pada Papanya Luna itu.