“Papa.”

“Iyaa..”

“Itu apa di tangan?” Luna nyentuh sambil nunjuk pergelangan tangan Fabio.

Fabio ngehela napasnya, sekarang udah bukan masanya lagi ngasih alesan-alesan gak masuk akal. Fabio sadar putrinya Luna udah nginjak usia 5 tahun, dengan terpaksa Fabio harus jujur namun tetap ngegunain bahasa yang mudah dimengerti supaya Luna bisa nangkap ucapannya dengan baik dan gak berpikiran ke arah yang negatif.

“Papa lagi stress.”

“Kenapa? Luna nakal?” Matanya ngerjap polos.

“Anak papa pinter, gak pernah nakal. Jangan ngomong gitu, hm?”

Luna ngangguk kemudian kembali bertanya tentang tangannya, “dulu Luna liat banyak yang ditutup pake plester sampe harus diperban, kalau sekarang ini kenapa?”

“Sekarang banyak gambar kupu-kupu.”

“Menurut Luna bagusan mana? Plester atau gambar kupu-kupu?”

“Kupu-kupu. Warnanya bagus Luna mau ikut gambar di tangan papa.” Luna lari ke kamarnya lalu kembali bawa spidol berwarna, bersiap menggambar kupu-kupu.

“Papa tuh punya kebiasaan kalau lagi stress larinya ke yang kayak gini. Dulu gak kepikiran buat gambar-gambar, jadinya cuma bisa ditutup pake plester sama perban.” Fabio berucap lembut, matanya perhatiin gimana seriusnya sang anak menggambar kupu-kupu.

“Stress kenapa?”

“Stress sama urusan orang dewasa. Banyak banget masa—”

“Papa suka warna apa? Pink atau kuning?” Luna motong ucapannya padahal dia udah mau jelasin dengan baik penyebab dibalik gambar tangannya.

“Mmm.. kuning bagus, warnanya cerah.”

Selanjutnya yang Fabio lakuin sekarang cuma merhatiin Luna, dia gak jadi ngejelasin.

Biar aja, katanya.

Lagi pula dia masih ragu, takut nantinya Luna bakal mikir aneh-aneh tentang papanya.

Fabio pasti akan jelasin kalau suatu saat Luna nanya lagi, dia gak mau nutup-nutupin hal ini, dia pengen anaknya lebih aware tentang kesehatan mental supaya gak berakhir kayak dirinya.

Fabio akan jelasin sedetail mungkin saat usia Luna lebih matang nanti.

“Luna kalau lagi ada yang mau diomongin langsung aja bilang ke papa, jangan dipendem, ya?”

“Papa bakal dengerin, dan sebisa mungkin buat ngertiin apa yang lagi Luna rasain. Setelah itu kita cari gimana jalan keluarnya.”

“Luna punya papa sebagai temen ceritanya Luna. Mau Luna lagi sedih gara-gara berantem sama temen, ada ucapan orang yang bikin Luna gak enak, atau apapun sesuatu yang Luna gak suka dan gak nyaman, ceritain semua ke papa, hm?”

“Gak cuma waktu sedih aja, mau itu lagi kesel, marah, seneng, pengen nangis, dan lain-lain.”

“Kok berhenti ngegambarnya?”

Wajah Luna cemberut sedih, dia tatap wajah cantik papanya dengan mata yang berkaca-kaca, “Luna lagi pengen nangis sekarang.”

“Apa tuh? Anak papa kenapa?”

Luna maju dan tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya di leher Fabio, “Luna seneng punya papa kayak Papa Fabio.”

“Papa gak boleh sakit, harus sehat terus biar bisa main sama Luna.”

“Papa bilang ke Luna kalau ada apa-apa harus cerita tapi papa sendiri gak pernah cerita kalau papa lagi kenapa-kenapa.”

Fabio denger suara napas Luna yang mulai memberat, “sekarang Luna lagi pengen nangis.”

“Luna pengen jujur sama papa kalau Luna kangen daddy bong-bong. Daddy bong-bong gimana kabarnya sekarang, ya? Luna pengen ketemu. Maaf papa, Luna cuma kangen, Luna masih inget kok kalau Luna cuma punya papa.”

Fabio lepas pelukannya, “papa juga kangen daddy bong-bong, gimana dong? Papa juga pengen ngobrol sama daddy bong-bong tapi sekarang keadaannya udah beda.”

“Papa mau kirim pesan aja gak berani, soalnya daddy bong-bong udah punya pacar.”

“Makanya dulu papa bilang sama Luna jangan manggil daddy bong-bong lagi, nanti pacarnya marah.” Air matanya turun tanpa permisi, malam itu dia keluarin semua hal tentang kerinduannya akan Calvin.

Ternyata gak cuma Fabio yang kangen, suara tangisnya makin pecah, “papa kangen banget sama daddy bong-bong, daddy bong-bong kangen gak ya sama kita?”


Bener-bener kayak cerita AU Devlin ㅠㅠ Tapi tenang.. akan aku buat berbeda 😂 Insyaallah gak akan lama kok angstnya :((((((( kan ini genrenya fluffy 😀😀😀