Kondisi anaknya perlahan membaik meski masih sering merasa kesakitan dan pusing tapi tidak separah dulu.
Dahinya Baekhyun cium.
“Papa nangis lagi.”
Anak kecil itu belum tertidur pulas ternyata.
Devlin meneliti setiap jengkal wajah Baekhyun.
“Enggak, kata siapa nangis?”
“Matanya merah.” Telunjuk kecilnya menyentuh dan membuat gerakan melingkar di area mata Baekhyun.
“Ini kena debu sayang.”
“Gak percaya.”
“Masa Papa nangis? Nih, liat Papa lagi seneng Dev mau makan banyak.” Ekspresi sok bahagianya dibuat-dibuat.
Berbanding terbalik dengan reaksi Baekhyun, Devlin malah mencebikkan bibir mungilnya.
“Papa pernah bilang gak boleh bohong.”
Baekhyun meringis, anaknya ini sangat peka juga pintar. Mau sebanyak apapun ia menutupinya Devlin pasti tahu.
“Dev masih nakal, ya?” Ekspresinya tiba-tiba murung.
“Kok Daddy gak pernah ke sini?”
“Dev bosen ketemu Daddy di mimpi terus.”
Pembahasan ini lagi.
Baekhyun sudah bosan mendengarnya. Bukan tidak mau tapi— ah sudahlah.. dijelaskan pun percuma, anak sekecil Dev tidak akan mengerti urusan orang dewasa.
“Nanti Daddy pasti dateng kalau Dev udah sembuh.” Alibinya.
“Beneran?”
“I—iyaaa.”
“Makasih Daddy.. Dev kangen.” Robot Iron Man pemberian Chanyeol ia cium lalu dipeluk erat.
Baekhyun merasa bersalah selalu menjanjikan hal yang sia-sia pada Devlin, apalagi semudah itu Devlin percaya akan kata-katanya.
“Iron Man nanti kita main bareng sama Daddy ya!”
Andai Devlin tahu bahwa Daddynya sedang berbahagia karena sebentar lagi akan menikah.
Dan itu artinya mereka akan semakin dilupakan.