Vibesnya langsung kerasa beda begitu Calvin masuk ke dalem mobil Fabio.
Gak tau ini cuma perasaan Calvin aja atau Fabio ngerasain hal yang sama juga.
Mereka berdua mandangin jalanan yang basah dalam keheningan, gak ada satu pun yang mau memulai obrolan.
Kejadian di mana Calvin ngebentak Fabio waktu itu masih membekas di pikiran Calvin, ada rasa bersalah, kesel, juga malu.
Calvin berdeham pelan, dia mulai ngebuka hpnya, scroll sana scroll sini nemuin kesibukan yang gak berarti.
“Kalau mau nyalain lagu, nyalain aja gak papa.”
“Hah?” Calvin noleh ke samping, didapatinya Fabio yang sibuk menyetir tanpa ngeliat dirinya, “oh iya.” Jawab Calvin kikuk, lalu kembali liat ponsel.
Satu lagu terputar, Calvin sengaja pilih yang nadanya ceria supaya kecanggungan sedikit hilang, tapi ternyata sama aja.
Diem-diem dia ngehela napas kasar, benci sama situasinya sekarang.
Hubungan mereka jadi kembali kayak dulu, waktu pertama kali kenal yang keduanya masih canggung tapi rasanya gak secanggung sekarang.
“Jangan ngebut.” Calvin beraniin diri buka suara.
“Gak ngebut.”
“Hm.”
Udah. Obrolan mereka berhenti sampai di situ.
Beberapa menit kemudian mobil berhenti di tempat yang mereka tuju.
“Kambuh lagi?”
“I—iya. Belakangan ini suka kambuh.”
“Obat di minum?”
“Selalu tapi gak mempan,”
Dokter di depannya menjalin kontak mata dengan Fabio. Beliau bersikap tenang menunggu Fabio mencurahkan kegelisahannya.
“Tiap malem gak tenang.”
“Kadang suka ngerasa takut, ngerasa diancem, dibayang-bayangin sesuatu.”
“Takut.. dok. Aku gak tahan, rasanya— rasanya pengen berhenti.” Tangisnya pecah di depan sang dokter.
Gak peduli dengan matanya yang nanti bengkak, hati Fabio sakit banget sekarang.
Dia cuma pengen nangis, dan pengen dimengerti tanpa harus cerita.
Dokter bername tag Ardio itu mengusap pelan bahunya, “trauma itu harus dilawan.”
Iya, Fabio udah selalu coba ngelawan tapi kan gak segampang yang dibicarain.
Fabio gak sanggup.
Apalagi dia kembali jadi seorang diri lagi semenjak kejadian seminggu lalu dengan Calvin.
Dokter Ardio menulis resep baru yang dosisnya lebih tinggi, dengan syarat dan ketentuan tentunya.
Fabio beranjak dari ruangan, sebelum ngebuka pintu dia hapus bekas air matanya, juga menarik napas panjang.
Kembali memasang topeng palsu di hadapan banyak orang.
“Tadi gimana?”
“Biasa aja.”
“Obatnya diminum terus kan?”
“Iyalah, rugi uang dong kalau gak diminum.”
Calvin ketawa pelan, “yang harusnya dirugiin itu diri kamu, uang masih bisa dicari.”
Hm.
Keheningan kembali datang ke keduanya. Fabio fokus nyetir, sementara Calvin fokus main ponsel.
“Loh mau ke mana?” Tanya Calvin sewaktu sadar arah jalannya gak menuju jalan pulang.
“Jemput Luna.”
“Oh, iya.”
Lima belas menit Calvin nunggu seorang diri di dalem mobil, biasanya dia bakal selalu ikut tapi kali ini enggak.
Dia cuma bisa mandangin Fabio yang lari-lari sambil pegang payung ke dalem gedung sekolah.
Calvin frustasi banget.
Dia bingung harus ngelakuin apa supaya dia dengan Fabio kembali kayak kemarin, bisa bebas ngobrol sambil bercanda.
Harapan Calvin sekarang cuma satu.
Luna bisa nyairin suasana nanti, jadi mereka berdua gak akan canggung lagi.
“Daddy bong-bong!”
“Kirain gak daddy bong-bong di sini.”
“Luna mau duduk di depan.”
“Mau duduk sama daddy bong-bong!!”
Dengan senang hati Calvin langsung pasang badan, bersiap ngangkat Luna ke depan,
“Luna duduk di belakang, jangan aneh-aneh. Udah disediain tempat duduk enak yang gak sempit.”
“Yah, papa gak asik.” Luna ngerengek dapet larangan dari Fabio.
“Gak papa kali. Biarin aja.” Sergah Calvin gak mau kalah.
“Terserahlah.”
“Yeayy.. makasih papa cantik.”
“Hm.”
“Daddy bong-bong mau cokelat? Tadi Dev ngasih ke Luna tapi belum dimakan.”
“Mana cokelatnya?”
“Luna bukain. Aaa buka mulutnyaa...”
“Makasih udah nemenin.”
“Santai aja kali. Udah sering ini.”
“Iyaa..”
“Aku pulang dulu, ya?”
“Iya.”
Calvin senyum masam. Lagi dan lagi jawaban Fabio singkat. Gak biasanya Fabio nge-iyain dirinya buat pulang, biasanya ada aja pembahasan yang ngebuat dirinya ditahan lebih lama buat gak pulang.
“Okey. Dah.” Dengan perasaan hampa Calvin ngejalanin vespanya, lalu pulang.
Sepeninggal Calvin, Fabio ketawa hambar. Dia ketawain hidupnya yang gak jelas.
Fabio ngaku kalau kemarin dirinya emang salah. Kesannya gak ngehargain kehadiran Calvin, Fabio pengen minta maaf cuma dirinya terlalu malu— bukan gengsi.
Tangannya ngegenggam butiran-butiran obat yang baru dibelinya tadi, kemudian dirinya paksa buat minum.
“Obat diminum?”
“Selalu tapi gak mempan.”
Kalau boleh jujur, Calvin itu obatnya.
Obatnya udah gak mempan lagi sekarang.
Fabio bergelung di bawah selimut, dia kangen Calvin.
Air matanya jatuh lagi.
Fabio butuh Calvin sekarang tapi rasanya mustahil. Calvin pasti benci sama dirinya. Sikap Calvin tadi pasti cuma pura-pura baik aja.
“Maaf Pipin..”
Air matanya jatuh lagi.
Fabio bangkit, dia ngebuka laci dan ngeraih cutter lalu digores berkali-kali ke pergelangan tangannya.
Fabio cuma pengen tenang.