Calvin masuk ke toko kue dengan perasaan males.
Bukan males karena harus repot-repot ambil kuenya tapi males karena harus ketemu Fabio lagi, meskipun kemarin laki-laki mungil itu bersikap layaknya orang yang gak saling kenal seperti harapannya.
Aroma khas toko kue masuk ke dalam indera penciumannya. Sesaat kedua alisnya menyatu sebab dirinya gak lihat keberadaan Fabio di balik etalase kue, tapi hal itu langsung Calvin hilangin, gak penting mikirin seseorang yang selalu buat moodnya jelek, pikirnya.
“Saya mau ambil kue atas nama Calvin.” Selembar nota yang dilipat dia buka lalu ditunjukkan ke pelayan di depannya.
“Oh iya, sebentar.”
“Yang ini, ya?” Kantong plastik putih berisi kotak kecil di dalamnya Calvin ambil.
Calvin menuju parkiran, dia simpen kuenya dengan cara masukin lubang jinjingan kantong plastik ke stang vespanya.
Calvin dan Calya sepakat buat ketemu di sebuah taman yang biasa dipakai untuk piknik-piknik kecil.
Keseimbangannya hampir aja oleng kalau aja matanya gak menangkap si pemilih tubuh mungil yang lagi kebingungan di pinggir jalan.
Calvin memalingkan wajah angkuhnya tanpa berani menoleh ke belakang. Fabio bukan urusannya, mau apapun yang terjadi sama Fabio itu udah takdir, toh Fabio bukan anak kecil, dia bisa jaga dirinya sendiri.
Tujuan utamanya sekarang adalah ketemu pacarnya, rayain pesta kecil-kecilan, dan nikmatin hari berdua dengan damai.
Iya, itu rencananya.
Beda lagi dengan otaknya yang malah berseru keras sampai pikirannya dipenuhi nama Fabio.
Calvin ngegeram kesal, akhirnya dia memutar arah menuju seseorang yang berhasil ngerusak fokusnya.
Padahal Calvin cuma perlu belok kanan diperempatan, dan berhenti di tempat pertemuannya dengan Calya.
Tanpa sadar Calvin ngendarain vespanya lebih cepat, matanya melirik ke sebelah kiri mencari sosok yang dicarinya.
Setelah sampai di titik tuju, Calvin langsung lepas kunci dan turun dari jok, gak peduli dengan vespanya yang belum distandar samping dan diparkirin dengan benar.
Dia tarik paksa seorang pria berumur yang lagi ngelakuin hal menjijikan di belakang tubuh Fabio.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Tiga tonjokkan dilayangkan ke bagian wajah, rahang, dan perut.
“LO NGAPAIN ANJING?”
“UDAH TUA, BAU TANAH, BUKANNYA NIKMATIN MASA TUA DI RUMAH MALAH NGELECEHIN ORANG.”
“BANGSAT!! KE MANA OTAK LO?”
“BERDIRI LO!” Kerah kemeja si bapak ditarik tanpa peduli mikir orang dihadapannya kecekik atau enggak.
BUGH!
Calvin sedikit lengah, Calvin berhasil kena tonjok, dan lawannya berusaha kabur dari cengkraman tangan Calvin.
“Pipin..”
“Udah lepasin.”
“Lepasin, hm? Nanti kamu kena tonjok lagi.”
Fabio berusaha mengambil alih atensi Calvin lewat tatapan matanya, sementara Calvin masih menatap benci penuh amarah pada orang yang menampilkan wajah tanpa dosanya.
“Lepasin Pipin.”
“Jangan marah-marah, aku gak suka.”
Netranya bertemu dengan si pemilik suara lembut, tangan Calvin dipegang dan perlahan dirinya mulai melepaskan cengkramannya.
Tangannya diseret ke pinggiran, “jadi biru kan pinggiran matanya.”
Calvin memalingkan wajah, jangan lupa dia masih pengen ngehindarin buat gak lihat wajah Fabio, tangannya menepis pelan tangan Fabio yang mengusap sisian matanya.
Hatinya masih berdebar keras, perasaannya pun masih kalut, bahkan Fabio yang notabenenya orang yang dilecehin kelihatan santai tanpa ada emosi di wajahnya.
“Ikut gue.”
“Ke mana?”
“Pulang.”
“Tapi aku mau kerja.”
“Pulang.”
“Gak bisa Pipin.”
“Libur sehari emang gak bisa!?” Calvin ngebentak Fabio.
“Buruan naik gak usah kebanyakan mikir.”
Fabio mengigit bibir bawahnya, dengan berat hati menuruti perkataan Calvin untuk pulang.
“Lo bisa majuan dikit duduknya?”
“Apa?”
“Bisa majuan dikit duduknya? Gue nyetirnya gak enak sering oleng.”
“Oh iya maaf.” Fabio bergerak sepelan mungkin buat majuin tubuhnya.
“Pegangan.”
“Hah?”
“Pegangan, lo mau jatoh atau gimana?”
“Maaf gak kedengeran.” Kata Fabio sendu.
“Pipin padahal gak usah sampe kayak gitu. Aku dulu pernah bilang jangan berantem, jangan marah-marah. Lagian bapaknya tadi gak nyakitin aku, jadi gak seharusnya ditonjok gitu.”
“Kalau Pipin pikir aku bakal takut itu salah. Aku gak takut, tadi aku cuma gak sadar aja soalnya sibuk nyari angkot yang gak lewat-lewat.”
“Terus sekarang Pipin malah anterin aku pulang padahal aku harus kerja di toko, dan Pipin sendiri udah ada janji sama Calya, kan?”
“Aku tebak Pipin harusnya ketemu Calya buat rayain hari jadiannya. Kuenya— kuenya sekarang mana??!!” Fabio tiba-tiba panik waktu liat stang motornya yang kosong, padahal sebelumnya Fabio liat ada plastik putih yang ngegantung di sana.
“Kuenya mana Pipin?”
“Calya nanti sedih kuenya gak ada.”
“Ini urusan gue. Gak usah banyak ngomong.”
Bibirnya langsung terkunci begitu denger Calvin ngomong gitu.
Dari belakang Fabio merhatiin helm biru yang jadi ciri khas Calvin setiap kali dulu pergi berdua naik vespa.
Rasanya Fabio susah percaya. Calvin lagi-lagi ngelindungin dirinya dari orang jahat yang selalu ngelecehin tubuhnya.
Dan rasanya kayak mimpi, Fabio bisa lagi ngerasain gimana rasanya dibonceng sama Calvin.
Bisa-bisanya juga barusan Fabio mengoceh panjang lebar tentang kejadian tadi.
“Lo gak denger gue ngomong?” Calvin kembali bersuara.
“Apa?”
“Pegangan!”
Pegangan gimana maksudnya?
Gak bisa.
Fabio masih ngehargain Calya sebagai pacar Calvin.
“Gak mau.”
“Gue bakal ngebut, kalau nanti jatoh gue gak akan tanggung jawab.” Kata Calvin mutlak.
“Pe-pegangan gimana?” Pertanyaan Fabio berhasil ngebuat Calvin bungkam.
Kebiasaan mereka dulu adalah Fabio yang ngelingkarin tangannya diperut, kalau sekarang bagaimana?
Calvin bingung sendiri.
Hatinya gak berhenti nyumpahin dirinya yang bodoh.
“Pegangan aja.”
“Iya gimana?”
Hhh..
Masa harus dia jelasin, sih?
“Tinggal pegangan aja apa susahnya, gak perlu nanya.”
“Kalau yang maksud Pipin itu meluk, maaf aku gak bisa. Aku gak mau bikin Calya cemburu walaupun Calya gak ada di sini.”
Ck.
“Pegang aja jaket gue.”
“Iya.”
“Yang kenceng!”
“Udah!”
Sesampainya di rumah, Fabio buru-buru turun, tangannya berusaha dorong pagar yang mana itu buat Calvin natap dirinya heran.
“Ngapain?”
“Buat Pipin biar bisa mas— oh iya, maaf aku lupa.” Fabio menunduk malu.
“Lo tuh sadar gak sih kalau dilecehin?”
Kepala Fabio ngegeleng pelan.
“Lo udah dewasa bisa jaga diri, kan? Bisa dong sadar sama keadaan sekitar, gimana kalau tadi gak ada gue? Orang-orang cuma ngeliatin gak ada yang negur.”
“Jangan nunduk!”
“Gak mau.”
“Liat gue!” Dua kata itu meluncur gitu aja dari bibir tebal milik Calvin, seakan-akan dia lupa kalau dia pernah bilang gak mau lagi liat wajah Fabio.
“Gak mau.”
“Pipin pergi aja cepet, Calya kasian nungguin. Tutur Fabio dengan mata yang masih tertuju ke bawah.
“Lo bisa jaga diri, kan?”
“Fabio!” Suaranya meninggi.
Fabio langsung ngedongak melihat wajah tampan Calvin yang berekspresi marah.
Mata keduanya saling bertemu, mata Fabio yang berkaca-kaca sedangkan mata Calvin yang memerah marah.
Fabio akhirnya paham ke mana alur pembicaraan mereka.
“Sekarang aku punya tugas penting buat berpuluh-puluh tahun ke depan.”
“Apa?”
“Bikin hidup Fabio terus bahagia,”
“Plus Luna.”
“Ah, iya. Sama Luna.”
“Pipin mau janji lagi sama aku?”
“Asal janji itu bisa bikin Fabio seneng, aku mau.”
“Jangan pernah tunjukkin hal kayak tadi lagi. Pipin yang aku kenal gak begitu.”
“Janji.”
“Satu lagi!”
“Apa?”
“Jangan pernah tinggalin aku karena semenjak ada Pipin.. hidup aku bergantung sama Pipin.”
“Aku usahain.”
“Kenapa?”
“Masa depan gak ada yang tau, tapi yang terpenting saat ini aku bakal terus ada buat kamu.”
Janji-janji yang pernah Calvin ucapkan padanya dulu sekarang udah gak berlaku lagi.
Calvin udah punya Calya yang mana tugas pentingnya itu jatuh kepada wanita, si juara yang meluluhkan hati seorang Calvin.
“Bisa gak sih jangan ngerepotin orang lain terus?”
Hati Fabio sakit.
“Aku bisa.”
“Aku bisa jaga diri.”
“Dan aku gak minta Pipin buat tolongin aku.”
“Buktinya selama satu tahun ini aku gak pernah lagi minta tolong ke Pipin.”
“Aku gak bergantung lagi ke Pipin.”
Setelah sekian lamanya Calvin kembali lihat Fabio nangis, dan lagi-lagi dia yang jadi penyebabnya.
Tangannya terkepal, matian-matian kontrol dirinya supaya gak ngebawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya.
“Pipin pergi sekarang.”
“Aku gak enak sama Calya.”
“Aku gak mau jadi penyebab rusaknya hari spesial kalian.”
Telinganya pengang, Fabio terus-terusan ngingetin tentang hari spesial, hari jadian, acara anniversary, atau apalah itu.
“Gue gak sepenuhnya ingkar janji, kan?”
“Gue ngelindungin lo untuk tetep ngerasa aman.”
Fabio menghapus airmatanya cepat, “iya makasih.”
“Maaf gak bisa tepatin janji yang lain.”
“Gak apa-apa.”
“Gue udah punya seseorang yang harus lebih gue prioritasin. Makanya gue nanya lo bisa jaga diri, kan? Karena gue gak akan bisa selalu ada.”
“Aku ngerti.”
“Gue pergi dulu.”
Suara motor vespanya menggerung menjauhi rumah Fabio.
“Aku sayang sama Pipin.”
“Maaf lagi-lagi aku gak tau diri.”
Fabio menangis keras di depan pintu rumah.
Hatinya hancur, perasaannya kacau.
Andaikan dulu Fabio gak bikin kesalahan fatal yang ngakibatin Pipin marah.
“Baru beberapa menit tapi rasanya udah kangen berat.”
“Kenapa rasanya sakit banget Tuhan?”
Suaranya menggema di dalam rumah ditemani dengan bunyi jam yang berdetik yang semakin membuat lirihannya terdengar pilu.
Akhirnya beres juga 😭
Aku gak tau ini ngefeel atau enggak. Intinya aku nangis parah. 😭😭😭😭😭😭😭😭
Sampe skrg aja masih nangis 😭😭😭😭😭😭😭😭😭