Uhavecrushoncy

“Buka dulu bajunya, ya. Di buka.”

“Buka sendiri bisa, kan, Luna?”

“Mandi sendiri juga, ya.”

“Sikat gigi sama odolnya ada di sini. Sabunnya tinggal pijit terus digosok ke seluruh badan.”

“Jangan mandi lama-lama. Lima menit aja gue tunggu di luar.”

“Inget! Lima men—”

BLAM!!!”

Luna tutup pintu kamar mandi lumayan keras, “Daddy bong-bong berisik, Luna udah biasa mandi sendiri.”. Suaranya yang di dalam kamar mandi ngegema.

“Y-ya o-oke deh, bagus.”

Pelipisnya penuh keringet, dia berkali-kali ngecek jam. Tiga puluh menit sebelum mata kuliah Pak Deni dimulai, Calvin harus cepet-cepet.

Satu tangan kecil milik Luna keluar dari celah pintu, telapak tangannya digerakkin seperti meminta sesuatu.

“Apa? Kenapa tangan lo?” Tanya Calvin panik.

“Handuknya mana?”

“Lah, udah lagi? Belum dua menit, serius??”

“Katanya suruh cepetan. Gimana sih daddy?”

“O-oh ini, cepet keringin badannya. Gue gak bisa bantuin lo.” Matanya bergerak gelisah, Calvin canggung harus ngadepin situasi kayak gini.

Mandiin anak kecil, perempuan pula. Sksksksk.

Gak pernah dia bayangin di hidupnya bakal kayak gini. Untungnya Luna bisa mandi sendiri.

Waktu masih di rumah sakit tadi, Calvin berhasil minta izin pulang sebentar dan titipin Fabio ke suster yang ada di sana.

Pulang kuliah nanti dia bakal ke sana bareng Luna sekaligus minta ibunya Fabio datang ke Jakarta karena Calvin belum sempet kasih kabar.

Pintu kamar mandi dibuka nampilin Luna yang seluruh tubuhnya dililit handuk warna merah.

Calvin diem-diem ketawa liatnya, Luna lucu pake handuk kebesaran miliknya.

“Sana ke kamar gue. Pake baju yang ini lagi aja.”

“Kayu putihnya mana?”

???

“Buat apa?”

“Buat perut Luna. Nanti masuk angin terus kedinginan kalau gak pake.”

“Bedaknya juga mana?”

Calvin tepuk jidat dengernya. Dia gak tahu apa-apa sama sekali tentang skincare anak kecil sehabis mandi, dan dia juga gak punya barang kayak gitu.

Satu bulir keringat jatuh, dia buka acak laci kecil di samping lemarinya.

“Nih! Pake ini aja.”

“Ini apa?”

“Balsem. Udah pake aja lah sama-sama bikin anget, kan?”

“Huwekk.. bau.”

“Yang bener aja lo, Cal. Anak kecil dikasih balsem sehabis mandi. Lo kira aki-aki.” Itu Ken yang tiba-tiba masuk ke dalem kamar kostnya.

Tangannya gatel pengen ngejambak rambut sahabatnya itu.

Ken geleng-geleng kepala liat tingkah Calvin, “udah Luna, buat hari ini gak usah pake bedak sama kayu putih dulu.”

”...”

”...”

“Apa??” Tanya kedua orang dewasa disana.

Kedua tangan Luna diangkat ngasih gestur ngusir, “hush hush..”

Calvin sama Ken diem kebingungan dengan kode yang Luna kasih.

“Apa maksudnya?”

“Om Ken sama Daddy bong-bong balik badannnn!! Luna kan mau dibaju!”

“Ohheheheh, iya Om Ken balik badan.”

“Balik badan bego!” Kepala Calvin ditoyor.

“Jangan liat!”

“Iyaaa gak liattt.”

“Udah belum?”

“Belum lagi pasang rok.”

“Bajunya udah dipake?”

“Udah.”

Tenang, Calvin sama Ken sadar kok. Mereka berdua gak cabul apalagi ini anaknya Fabio, seseorang yang mereka kenal.

Gak mungkin mereka berbuat yang aneh-aneh.

“Udah?”

“Udah.”

“Boleh balik badan gak sekarang?” Tanya Calvin.

Begitu mereka balik badan, Luna udah nodongin sisir dan karet rambut ke arah Calvin, “kuncirin rambut Luna.”

Shhh..

Sekarang apa lagiiiiiii.

Calvin,

Anak kuliahan yang gak sengaja ketemu Fabio,

ah, bukan.

Luna yang ngebuat mereka jadi terhubung satu sama lain.

Berkat Luna, Fabio jadi kenal Calvin di warung makan ketoprak sewaktu sarapan dulu.

Fabio gak bisa jelasin apa namanya tapi semenjak kenal Calvin hidupnya jadi mulai kembali lagi kayak dulu. Walau gak sepenuhnya kembali karena Nathan selalu hukum dirinya kalau ada hal yang ada sangkut-pautnya dengan Calvin.

Calvin yang baik dan selalu iyain permintaan tolongnya meskipun harus dihiasi wajah sinis dan kesal jika Luna udah bertingkah.

Sedikit demi sedikit keberanian yang dulu sempat hilang di hidupnya jadi kembali.

Fabio berani melawan Nathan yang selalu buat masalah sepele.

Itu satu kemajuan yang besar.

Kadang Fabio mikir, apa sih yang ada di diri Calvin sampai dia bisa mulai berubah?

Tapi meskipun udah begitu, tubuh Fabio selalu kalah dan berakhir dengan banyak luka karya suaminya.

Fabio belum terlalu berani melawan kalau Nathan udah main fisik.

Semua luka itu mati-matian Fabio tutupi dari banyak orang, dia gak mau orang-orang khawatir atau natap dia curiga.

Apalagi sewaktu Calvin mulai sadar tubuhnya banyak bekas luka.

Fabio kira Calvin cuma sekedar tahu tapi ternyata dugaannya salah. Calvin malah penasaran, Calvin banyak kirim pesan yang nanyain tentang kondisinya Fabio.

Tentu aja dia gelisah.

Takut Calvin akan laporin Nathan ke polisi kalau udah tahu.

Setiap pesan yang Calvin kirim sengaja gak Fabio bales.

Fabio juga mulai jaga jarak dari Calvin dengan menghindir setiap kali ketemu.

Hidupnya udah rumit, gak mau tambah rumit lagi.

Dan akhirnya Fabio mutusin buat berhenti kerja, selain ngehindar dari Calvin, dia juga udah gak kuat karena selalu dihadiahi hukuman sama suaminya.

Suaminya itu selalu berpikir kalau Fabio selingkuh, banyak lelaki yang mendekati Fabio, Fabio genit sama lelaki lain, dan lain sebagainya.

Dan hal yang paling Fabio gak suka itu saat Nathan selalu bawa-bawa nama Calvin di setiap masalah.

“Lo pasti selingkuh sama bocah setan itu!.”

“Apa perlu gue datengin dia supaya lo berhenti ngejar-ngejar si bocah?”

Bocah ingusan itu bisa apa? Nafkahin lo? Beliin lo barang setelah kalian having sex?”

“Lo pasti jual diri sama dia, kan? Makanya lo selalu sama dia terus!”

“Apa gak cukup sama gue? Lo jalang bisa-bisanya main di belakang padahal lo udah punya suami.”

“Apa kata kolega gue diluaran sana kalau liat lo lagi ngelayanin pelanggan?”

“Gak usah tanggung-tanggung deh. Mending jual diri aja, gue daftarin ke tempat terbaik kalau bisa. Supaya lo bisa dapetin bayaran yang mahal.”

“Calvin Alvaro, mahasiswa semester 4 jurusan musik. Gue udah dapet data pribadi dia. Lo mau berhenti atau gue bunuh si Calvin?”

Tentunya dia gak terima.

Calvin anak baik, Calvin gak pernah jahat dan bersikap aneh-aneh sama dirinya.

Fabio udah janji gak akan lagi libatin Calvin ke dalem hidupnya.

Dia cuma mau menjaga nama baik Calvin.

Tapi besoknya Fabio berhasil ingkarin janjinya sendiri.

Hari itu, Fabio izin pergi ke Nathan mau jemput Luna pulang.

Di perjalanan dompetnya gak sengaja ketinggalan di bangku teras depan.

Fabio panik, takut dompetnya hilang. Buru-buru dia balik arah.

Sesampainya di rumah Fabio lihat ada sandal perempuan. Kemungkinan-kemungkinan terburuk banyak terlintas dipikirannya.

Mau berpikir positif tapi gak bisa karena sewaktu Fabio masuk ke dalam rumah, ada tas juga baju perempuan yang tergeletak di sofa ruang keluarga.

Fabio pengen cari tahu tapi keadaannya saat itu bertepatan dengan dirinya yang harus ngejemput Luna.

Dengan terpaksa Fabio hubungi guru sekolah Luna buat telepon nomor Calvin yang dia kasih.

Selesai ngehubungi, Fabio mantapin hatinya buat ngecek perbuatan hina yang dilakuin suaminya.

Tangannya ngebuka paksa pintu kamar yang ditutup.

Hatinya remuk seketika.

Kamar yang menjadi ruangan favoritnya,

Kamar yang banyak membuat kenangan manis bersama suaminya,

Kamar yang menyimpan segala barang berharga,

Dan kamar yang selalu Fabio rawat dan bersihkan setiap hari dipakai untuk perbuatan kotor Nathan dan perempuan yang bertelanjang bulat sedang bergumul di atas ranjang.

Fabio lihat itu.

Matanya panas nyaksiin suaminya bermain dengan orang lain.

Mereka berciuman penuh nafsu, suara-suara menjijikan yang keluar semakin ngebuatnya sakit.

Tubuh mereka saling menempel tanpa jarak, bagian bawahnya ditutup selimut.

Bertingkah layaknya pasangan yang sudah menikah.

Hidupnya yang gelap semakin gelap.

Fabio gak tahu lagi harus apa.

Kenapa?

Mas Nathan udah punya suami dan anak satu. Kenapa Mas Nathan tega?

Terlebih Mas Nathan selalu nuduh Fabio selingkuh padahal kenyataannya Mas Nathan yang selingkuh.


😭

Rasanya gak bisa dijelasin.

Sakit banget, aku dulu sering mergokin mantan pacar aku yang ngeduain aku berkali-kali.

Tapi dengan begonya aku maafin dia.

Dan keesokan mantan aku berani ngelakuin hal yg sama.

Bukan mergokin dalam artian seks ya 😂

Ini beda lagii.. kalau aku kan masih pacaran, sedangkan Fabio udah menikah.

Aku capek

Lima tahun yang lalu, dengan sopan dan niat yang tulus Nathan datang ke rumah, dia duduk bersimpuh di depan ibu buat minta restu dan izin menikah.

Fabio cuma remaja berumur 19 tahun kala itu.

Tanpa banyak pertimbangan ibu langsung kasih mereka restu. Mengingat saat itu kondisi ekonominya sedang turun dan susah.

Terlebih Nathan adalah anak dari teman mendiang ayahnya Fabio. Sehingga, baik sang ibu maupun Fabio sudah lama mengenal baik Nathan juga keluarganya.

Fabio belum bekerja,

Fabio cuma anak tunggal yang harus menjadi anak yatim piatu saat umur 18 tahun,

dan Fabio satu-satunya harapan ibu yang bisa merubah ekonomi keluarga.

Awalnya Fabio ragu karena dia masih terlalu muda untuk menikah tapi demi sang ibu Fabio mau nerima ajakan menikah.

Fabio ngerasa beruntung dan bersyukur dulu menerima Nathan yang sekarang jadi suaminya.

Nathan lelaki yang mapan, cara bicaranya mampu buat Fabio luluh, dan dia sangat memperlakukan Fabio dengan baik.

Nathan sempurna sampai gak ada celah sedikit pun untuk lihat kekurangannya.

Semuanya berjalan dengan baik, pernikahan mereka lancar dan harmonis.

Tapi semuanya berubah saat usia pernikahannya menginjak bulan ketujuh.

Sifat asli Nathan sedikit demi sedikit keluar.

Dari mulai Nathan yang membatasi segala akses Fabio untuk bergaul dengan teman-temannya,

Keluar rumah, Fabio harus izin dan jelasin tujuan beserta dengan siapa dia pergi.

Matanya yang minus tiga dilarang pakai kacamata atau softlens karena Nathan beranggapan Fabio ingin memakai aksesoris yang sama dengan mantan pacarnya dulu.

Pakaian yang Fabio pakai diatur sedemikian rupa seperti keinginan Nathan, dia harus pakai baju panjang dan celana panjang, Nathan gak mau ada laki-laki yang mendekati Fabio.

Saking posesifnya semua teman Fabio menjauh. Fabio sendirian, dia gak pernah ngerasain main untuk sekedar nongkrong atau reuni.

Fabio harus diem di rumah.

Saat Fabio sakit dan Nathan kerja, Nathan ngelarang Fabio pergi ke dokter.

Sekalinya ke dokter Fabio harus laporan kalau dokternya itu perempuan, gak boleh laki-laki.

Apapun yang Fabio lakuin harus dengan izinnya, setiap Nathan jauh dari Fabio, Fabio wajib mengirim bukti foto-foto Fabio yang lagi ada di rumah.

Selain melarang Fabio bersosialiasi dengan teman, Nathan pun melarangnya bersosialisasi dengan saudaranya.

Fabio gak boleh saling kirim pesan dengan laki-laki lain, meskipun pun lagi dalam keadaan yang darurat.

Hidupnya berubah.

Fabio bisa ngerasain itu, dia jengah.

Batinnya berteriak gak bahagia dengan pernikahannya, tapi Fabio bisa apa selain bertahan?

Dia gak mau bikin ibunya kecewa dan malu kalau dirinya cerai.

Lagipula Fabio belum punya apa-apa, selama menikah biaya hidupnya ditanggung suaminya.

Nathan berhasil ngebuat Fabio tergantung pada dirinya karena semua orang ninggalin Fabio.

Puncaknya, Nathan mulai berani memaki, memukul, dan membentak Fabio.

Fabio sakit.

Nathan gak cuma nyakitin fisiknya tapi juga batinnya.

Setiap malam tidurnya gak pernah tenang, takut akan sifat suaminya yang selalu tiba-tiba berubah mood.

Fabio pikir suaminya itu punya bipolar.

Suaminya selalu jadi orang yang berbeda sewaktu sadar udah ngelakuin kesalahan.

Iya, mau gimana pun Fabio pasti maafin tapi nyatanya Nathan gak pernah sadar. Dia selalu mengulang kesalahannya dan kembali meminta maaf.

Siklusnya seperti itu, gak pernah berubah.

Ucapan janji mau berubah yang Nathan ucapin gak pernah terwujud. Dia seakan lupa ingatan.

Di usianya yang ke-20, Fabio dinyatakan hamil.

Nathan marah besar.

Semua barang di rumah hancur dan berantakan.

Nathan gak mau punya anak, dia gak mau punya tanggungannya yang mengharuskannya mengurus dan membiayai anaknya nanti.

Berkali-kali usaha Nathan buat gugurin kandungan Fabio, tapi kandungannya tetep kuat.

Mulai saat itu Nathan berhenti ngasih Fabio nafkah. Saat dekat-dekat mau melahirkan Fabio diem-diem cari kerja untuk biaya persalinannya nanti. Ya, walaupun harus ngelewatin beberapa pukulan dan luka memar akhirnya Fabio berhasil dapet izin dari Nathan buat bekerja.

Semua biaya hidupnya ditanggung sendiri.

18 Mei hari kelahiran Luna.

Fabio berjuang sendirian di rumah sakit, sang ibu berhalangan datang karena sedang sakit, keluarga Nathan pun sama. Keluarga Nathan itu orang-orang sibuk semua.

Nathan gak mau mengakui kalau itu anaknya. Jadi, Fabio namai Luna dengan nama belakangnya, Laluna Ansel dari Fabio Ansel.

Empat tahun kemudian, Luna tumbuh jadi gadis kecil kesayangan papanya.

Selama itu Fabio mati-matian nutupin semua perlakuan Nathan dari Luna.

Dia gak mau anaknya trauma.

Dia pengen anaknya tumbuh baik seperti anak-anak lain.

Kalau Nathan marah dan bersiap ngehukumnya, Fabio buru-buru minta Luna buat tidur dan minta Luna buat main sendirian.

Untungnya Fabio nempatin kamar Luna jauh dari kamarnya. Jadi, Luna gak akan bisa tahu dan dengar orang tuanya— papanya yang lagi disakiti.

Iya, kayak gitu kehidupannya selama hidup bersama Nathan.

Fabio harus kuat demi Luna.

Hubungan Nathan dan Luna juga asing seperti bukan ayah dan anak.

Mereka bertiga udah biasa.

Kalau ditanya, gimana hatinya sekarang?

Hatinya udah gak berbentuk,

hidupnya suram banget.

Kalau aja dirinya gak kuat dan tegar, mungkin sekarang Fabio ada di rumah sakit jiwa. Saking depresinya sama kelakuan Nathan.

Semua rasa sakitnya Fabio simpen sendiri. Dia gak punya keberanian buat ngelawan semua perbuatan Nathan.

Buat cerita ke orang tentang kejadian yang dialaminya pun dia gak berani.

Fabio terlalu takut sama dunia luar dan pandangan orang lain.

Rasa percaya diri dan keberaniannya hilang karena terlalu lama ditindas.

Hidupnya udah berubah.

Fabio udah gak bisa bedain perasaannya saat ini ke Nathan itu cinta atau benci.

Yang terpenting baginya Nathan masih ada sebagai suaminya, dan dia gak mau kehilangan suaminya.


Pasangan yang kejebak di toxic relationship itu susah lepas.

Mereka udah bergantung satu sama lain.

Aku gak jago ngejelasin. Kalau kalian pengen tahu hitung-hitung buat ngecegah dan ngehindarin dari itu, kalian bisa search dimana pun ttg toxic relationship.

Kalian bisa analisa sendiri.. kebanyakan kejadiannya hampir sama semua.

Pelaku gak akan pernah merasa bersalah, sekalinya bersalah mereka minta maaf tapi abis itu lupa, dan ngulang lagi kesalahannya.

Korban cuma bisa diem, nangis, ngerasa putus asa sama hidupnya yang gak berguna.

Korban gak punya keberanian buat speak up karena mereka ngerasa takut kalau nanti speak up, si pelaku bakal lebih parah nyakitinnya. Ini kejadian di aku.

Semakin lama mantan pacar aku yg abussive itu makin menjadi, dia berani nyebarin hal gak bener ttg aku.

Bayangin deh, aku dibilang udah gak perawan di depan semua teman aku. Wkwk 😂😭

Aku cuma bisa nangis.

Capek pgn udahan tapi gak bisa.

Aku cuma punya dia sebagai seseorang yg selalu ada di samping aku.

Jadi aku takut buat putus krn semua temen aku pada jauhin aku.

Oh iya. Aku cerita gini bukan untuk nakut2in kalian ya :( sama sekali bukan.

Buat kalian yg lagi atau mau memulai hubungan dengan orang lain, lebih baik cari tau dulu latar belakang mereka.

Cewe atau cowo bisa jadi pelakunya.

Dan toxic relationship gak hanya di dalam pacaran atau pernikahan aja.

Semoga kita bisa dapetin pasangan hidup yang baik nantinya, aamiin. ❤️

Tags : WARN! Kekerasan.

“Sshhh.. lepasin mas sakiittt.”

“Tolong jangan kayak gini, mas.”

“Sakiittt..”

“Maaf maaf maaf mas.”

“Jangan lagi.”

“Gak, mas. Aku mohon udah cukup.”

“Arggh.. sakit. Jangan di sana, lukanya masih basah.”

“Mmmphh— ampunn..”

Suara jeritan, tangisan, dan meminta ampun dari Fabio bergema di dalam ruangan.

“Tolonngh..”

DUGH!

Kepalanya Nathan hantam ke arah tembok.

“Sakit ini, mas. Aku minta maaf.. maaff.. mas.”

Srekk!

“Mas Nathan ma—mau ngapain?” Kesadaran yang tadi sudah setengah mendadak kembali sewaktu suaminya mulai merobek paksa pakaian atas yang Fabio pakai.

Panik.

Fabio panik setengah mati.

“Ja—jangan, mas. Ya Tuhan jangan.”

Tangisanya kembali pecah.

“Jangan, mas. Aku minta maaf.. aku takut...”

“A..aku minta maaf..” rambut belakangnya Nathan jambak, lelehan air mata berlomba-lomba keluar dari kedua sisi mata Fabio.

Demi Tuhan, Fabio takut. Mas Nathan yang dia lihat sekarang bukan suaminya.

Semua hukuman yang suaminya kasih lebih-lebih menyakitkan dibanding dulu.

Perutnya ditonjok, pipinya ditampar berulang kali, kakinya diinjak keras, paha dan bahunya dipukul, dan juga Nathan mendorongnya ke arah tangga.

Beruntung tangganya tersedia pegangan jadi dia gak sampai jatuh.

“ARGGH SAKIITT— AMPUN MAS!!!”

Kulit putih mulusnya dicakar sampai berdarah.

Kesadarannya kembali diambang batas.

Rasa ngilu dan perih mendominasi. Fabio berkali-kali minta tolong tapi gak ada satu pun orang yang datang.

“Mmhhh..”

Sekarang mulutnya disumpal sapu tangan. Kesempatan buat minta tolongnya semakin sedikit.

Sementara Nathan terus menjalankan aksinya menghukum suami mungilnya yang sudah gak berdaya.

“Terima hukuman lo!”

“Gak usah sok merasa paling tersakiti.”

“Lo berani ngacauin aktivitas gue.”

Nathan marah. Waktu berduaannya dengan Jihan dipergoki Fabio yang datang ke rumah tanpa dia tahu.

Rencana having sexnya gagal padahal nafsu birahinya sudah tinggi.

Jihan kabur dan cuma ada Fabio di sini.

Nafsunya masih tinggi. Dia mau lampiasin ke suaminya itu. Tangannya berusaha melepas semua kain yang ada di tubuh Fabio, gak peduli seberapa kuat Fabio melawan, Nathan tetap paling kuat di sini.

“BANGSAT! LEPASIN FABIO!!”

Seseorang datang mendobrak pintu kamar yang kekunci.

Nathan berjengit kaget, dia segera pura-pura membelai Fabio dengan lembut.

Bahkan dia memeluk Fabio seolah gak terjadi apa-apa.

“Apa-apaan ini?”

“Lo siapa hah beraninya dateng?”

“HARUSNYA GUE YANG TANYA LO SIAPA BERANINYA PERLAKUIN FABIO KAYAK GINI!” Calvin berteriak marah.

BUGH!

Nathan tersungkur, punggungnya ngehantam pinggiran meja dengan keras.

Tiga orang polisi datang membawa sembari nodongin senjata ke arahnya.

“Biar kami yang urus.” Satu polisi angkat bicara.

Calvin ngangguk dan segera ngehampirin Fabio yang terkulai lemas.

“Fabio, liat gue.”

“Fabio tolong liat gue!”

“Jangan. Lo harus sadar, harus sadar.”

“Ada gue di sini. Lo harus sadar.” Suara Calvin bergetar liat pemandangan Fabio yang memprihatinkan.

Bercak darah di mana-mana, luka di tangannya yang masih basah berdarah, dan—

gak sanggup.

Calvin gak sanggup liat ini semua.

Tanganya nepuk pelan pipi Fabio yang memerah, “Fabio. Ada gue di sini.”

Tangisannya berusaha ditahan.

Fabio masih sadar tapi dia gak merespon ucapan Calvin.

“Maaf gue dateng terlambat.”

“Sekarang lo aman.”

“Ada gue di sini..” Tubuh rapuh Fabio dipeluk erat.

“Sekarang kita ke rumah sakit, hm? Lo harus kuat.”

“Gu—gue cari kunci mobil dulu. Tahan sebentar..” dengan hati-hati Calvin letakin Fabio di kasur.

Dia bangkit keliling ruangan di sekitarnya nyari kunci mobil.

Dan begitu liat kunci mobil di atas gantungan, Calvin langsung bergegas gendong Fabio.

Gak lupa mengunci rumahnya karena tadi Nathan sudah dibawa polisi.


🥲

Aku nulis ini terlalu jelas gak buat bagian kekerasannya? Karena jujur ini udah aku filter berkali-kali.

Hmm.. gimana ya?

Jujur aku pernah ngalamin yang Fabio alamin sekarang. Rasanya serem banget. Terlebih gak ada yang mau nolong aku satu pun.

Jadi.. bisa dibilang.. ini au berdasarkan kisah nyata dari authornya langsung 😂

Mungkin ada yg udah tau kalau aku pernah kejebak toxic relationship. Ada yg inget? Aku pernah cerita dibikin thread gituuu.. udah lama ceritanya.

Tiga tahun aku kejebak.

Sampe sekarang masih trauma, aku nulis gini jadi ketrigger 😂😂😂

Beruntung aku masih inget Tuhan. Kalau enggak.. mungkin udah tinggal nama. Serius.

Dan untuk pertanyaan “kenapa Fabio gak ceraiin Nathan?” Haduu.. itu susah hey. Susah banget lepas dari toxic relationship.

Nanti aku ceritain di the next chapter.

Jangan lupa feedbacknya yaa!~

See youuuu tomorrow.

Calvin terus dapet panggilan di tengah sesi pembelajaran kuliahnya.

+628577766193 is calling..

Layar ponsel yang lagi-lagi menyala buat kesekian kali berhasil ngedistraksi fokus Calvin yang lagi merhatiin dosen.

Alisnya bertaut karena nomor itu gak dia simpen bahkan asing, dia gak tau orang itu dapet nomor Calvin darimana.

Matanya bulak-balik lihat layar ponsel dan dosen di depannya.

Mau jawab tapi dosen lagi ngejelasin materi.

Kalau gak jawab dia penasaran.

Akhirnya setelah pergulatan batin selama 15 menit Calvin milih buat telepon balik nomor itu.


Kalau ada kejadian aneh di hidupnya pasti ada sangkut-pautnya sama Fabio atau gak Luna.

Buktinya sekarang, tanpa alesan yang jelas guru TKnya Luna nyuruh Calvin buat jemput Luna di sekolahnya.

“Daddynya Luna?”

“Seriusan?”

“Wah masih muda ternyata.”

“Kayak anak kuliah ya, bu?”

“Cakep banget. Kalau aja jomblo, bisa ibu jodohin sama anak ibu.”

“Anaknya cantik gitu bibitnya gak main-main.”

Sepanjang perjalanan ke kelasnya Luna, kedua telinganya kerasa panas dan merah denger ibu-ibu ngomongin dirinya.

“Permisi..”

“Eh, daddnya Luna, ya?”

Calvin terpaksa ngangguk karena gak mau berada lebih lama di tempat ini.

“Daddy toyibbbbbbb..”

“Papa mana?”

“Gak ikut jemput Luna?”

Jangan tanya gimana ekspresi Calvin waktu Luna teriak dari kejauhan nyebut dirinya dengan sebutan anehnya lagi.

Nahan greget pengen masukin anak berkuncir dua yang lari ke arahnya ke dalem karung, terus di lempar ke sungai. Beres.

“Kok daddy kamu dipanggil gitu?” Temennya Luna nanya.

“Soalnya jarang pulang.”

“Oh..”

“Gimana? Ganteng kan daddy akuu..” tangan kecil ngegelayut manja ngelingkar di paha Calvin.

“Gantengan juga daddy aku.”

Luna manyun setelah denger temennya nyebut Calvin kalah ganteng.

Calvin nunduk dan ngedapetin Luna lagi natap dirinya dengan pandangan sinis, “ngapain itu mata disipit-sipitin!”

“Payah.”

“Gue payah??” Calvin ngegeram kesel apalagi saat Luna ngelengos gitu aja ninggalin dirinya.

“Woy! Mau kemana?”

“Daddy payah.”

“Jalannya lama, kalah sama Luna.”

Luna berhenti jalan, dia nengok ke belakang, “payah!” Seraya ngangkat jempolnya yang ngarah ke bawah.


“Daddy toyib kemana aja?”

“Luna nungguin lamaaaa banget.”

“Kirain tadi sama papa.”

“Eh itu ada bus warna biru kayak tayo.”

“Woooww banyak banget busnya.”

“Daddy jualan bus tayo sekarang? Kenapa gak jualan seblak lagi?”

ASDFGHJKL

Tangan Calvin gatel pengen nyumpel mulut cerewet Luna.

Wajar banyak bus. Sekarang dia lagi berhenti di deket terminal karena jalanan macet.

“Iya, ini daddy Luna.”

Nah kan.

Ngapain lagi sekarang?

Matanya ngelirik spion, merhatiin si anak kucrit yang lagi bertingkah.

Luna asik ngobrol dengan anak laki-laki di dalem mobil yang kacanya kebuka.

“Dulu kerjanya jualan seblak tapi sekarang jadi jualan bus.”

😭

Serius.

Untung Calvin gak punya penyakit darah tinggi.

Yang punya penyakit darah rendah bisa nih temuin Luna, dijamin darahnya jadi naik 😭😭

Biasanya Calvin seneng setiap berhenti di lampu merah karena dia bisa regangin tangannya yang pegel megang stir atau dia bisa nyanyi-nyanyi.

Tapi kali ini beda..

Dia jadi benci lampu merah.

Udah cukup disebut tukang seblak, sekarang disebut tukang jualan bus.

“Daddy kamu jualan pesawat?”

“Ayah aku pilot bukan jualan pesawat.” Sanggah anak laki-laki tersebut.

“Oohh..”

Begitu lampu berubah hijau, Calvin langsung tancap gas.


Calvin kira guru TKnya Luna salah kasih alamat. Di sekelilingnya sekarang cuma ada rumah tinggi, besar, dan bagus semua persis perumahan artis.

“Dah. Nyampe.”

Luna masih diem di tempat, anak itu sama sekali gak turun malah meluk erat pinggangnya.

“Heh!”

“Gak mau.”

“Turun.”

“Gak mau.”

“Gak turun gue buang lo ke sungai.”

“Jangan galak. Nanti digigit nyamuk.”

Cih, nyamuk doang.

“Nyamuk amazon yang segede gajah.”

Ppfftt, mana ada.

Dari spion, Calvin bisa liat Luna turun dan jalan masuk ke dalem halaman rumah.

Di sana cuma kelihatan satu mobil yang terparkir. Calvin tebak pasti Fabio ada di dalem.

Hatinya pengen banget masuk.

Calvin pengen liat Fabio, pengen mastiin Fabio baik-baik aja atau gak.

Harusnya tadi dia nanya ke Luna tapi rasa gengsinya terlalu gede buat nanyain hal itu.

Pandangannya pindah ke depan, bersiap jalanin vespanya.

“Mau sama daddy!”

“Luna gak mau masuk.”

“Takut.”

Itu Luna yang tiba-tiba lari nyamperin dirinya lagi.

“Kenapa?”

“Takut. Luna gak mau masuk.” Wajah yang biasanya keliatan ceria dan ngeselin berubah jadi ketakutan.

“Hhh, ayo gue anterin.”

“Gak mau.”

Apa sih?

Apa yang ditakutin?

“Buruan!”

“Gak mau takuuuttt.”

Akhirnya Calvin masuk ke halaman rumah Fabio, mastiin apa yang ditakutin sama Luna.

Begitu masuk Calvin dikagetin dengan seorang perempuan yang baru aja keluar dari pintu.

Perempuan berpakaian minim, jalan teburu-buru, dan nabrak dirinya.

“Jihan?”

Bibirnya bengkak, rambutnya acak-acakan, juga make up nya yang keliatan berantakan.

“Lo— lo ngapain di sini?”

“Woy!” Calvin berhasil narik Jihan yang mau kabur.

“Lo ngapain di sini?”

“Lepas.”

“Jawab gue! Ngapain lo di rumah Fabio?”

“Lebih baik lo cek sendiri daripada nanya pertanyaan gak berguna ini ke gue.”

Calvin diem. Tangannya nyengkram erat baju Jihan.

“Lepasin sialan!”

“Gak nyangka gue, Ji.”

“Ternyata kecurigaan gue selama ini bener.”

“Lo berani-beraninya main sama orang yang udah bersuami.”

“Apa peduli lo?” Tantang Jihan.

“Gue gak peduli.”

Jihan berusaha buat kabur tapi Calvin belum juga lepasin cengkraman bajunya.

“Lepasin anjing!”

“Lo narik tali bra gue sampe mau putus, bangsat!”

Bra?

CTAKK!

Calvin langsung lepasin tarikannya.

“Ahh.. sshh. Sialan!” Jihan kabur begitu Calvin udah gak nyegah dia lagi.


Hihskakiqgekahbskshsisjbakajgs

Gak tau ini sepanjang apa, takut kalian bosen bacanya.

Semuanya bakal aku ungkap dengan jelas di the next chapter wkwk.

“Atas nama Calvin.”

“Lo kerja di sini?”

“Satu bungkus roll cake varian tiramisu, satu cup americano, dan satu cup vanilla latte. Semuanya 85 ribu rupiah.”

Calvin kesel pertanyaannya gak dijawab, malah cowo mungil dihadapannya itu sama sekali gak natap dirinya.

“Lo kerja di sini?” Tanya Calvin sekali lagi.

“Uangnya pas. Ini struknya.”

“Fabio..”

“Tolong jangan bikin antrian. Silahkan keluar.”

Apa-apaan?

Calvin baru aja diusir tadi?

Matanya ngerjap berkali-kali buat mastiin apa yang diliatnya itu bener si Fabio, papanya si kucrit Luna.

Masa sih Fabio gak ngenalin dirinya?

Fabio punya penyakit pikun?

Gak mungkin. Orang masih muda.

“Cal, ayo!” Jihan narik tangannya keluar dari toko kue tersebut.

“Lo liatin siapa?”

“Fabio siapa?”

“Bukan siapa-siapa.” Jawab Calvin singkat.

Malem ini gantian Calvin yang ngebonceng Ken. Udara malem di Bandung makin dingin, tapi itu gak bikin Calvin ngerasa dingin malah dia sengaja ngebut.

“Cal.”

Please ya Cal gak gini caranya kalau lo bosen hidup.”

“Cal..”

“Gue gak tau apa yang terjadi sama lo seharian ini.”

“Cal..”

“Lo diem kayak gini nyeremin.”

“Lebih baik jadi Calvin yang banyak bacot dan petakilan aja deh.”

“Cal..”

“Lo tuh punya kepribadian ganda apa gimana? Perasaan pas awal tadi biasa aja, kenapa sekarang jadi diem gini?”

“Cal, sumpah demi Tuhan gue takut.”

“Takut kalau ini bukan lo, gimana dong nasib gue nanti.”

Calvin diem gak ngejawab semua ocehan Ken. Perasaan di hatinya masih ngegumul panas perkara tadi.

Gak tau kenapa rasanya masih kesel aja kalau diinget.

Calvin gak yakin tapi dia ngerasa yakin.

Nathan, suami Fabio itu.. dia gak suka.

Serius, dia gak suka. Calvin jadi punya feeling kalau Nathan bukan orang baik.

Di lain sisi Ken nelepon ibunya,

“Halo, bu.. ini Ken. Bu, doain Ken selamat sampe rumah. Ken takut diculik.”

“Iya, bu.”

“Gak tau ini si Calvin daritadi diem aja.”

“Diajak ngomong diem.”

“Bu, Calvin gak kesurupan hantu apa gitu, kan?”

“Iya Ken udah babacaan juga.”

“Bu, maafin Ken. Nyesel keluyuran tengah malem, kapok... Hiks.”

“Gak akan lagi keluar malem. Takut diculik.”

“Iya, bu. Minta doanya aja.”

“Ken sayang ibu ayah.”

“Doain Ken selamat, ya.”

“Iya iya Ken matiin.”

Selama perjalanan matanya merem, dia sama sekali gak berani buka mata. Gak peduli kalau nanti pas buka mata dia udah ada di dunia lain.

Calvin masih diem, kecepatan motornya pun masih sama yaitu 90km/jam.

Jalan raya makin sepi.

“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..” Ken refleks inget Tuhan waktu motornya goyang.

Surpriseeee.. buka mata lo.” Kata Calvin yang masang muka datar.

“Hah gue di rumah?”

Ken buru-buru masuk rumah.

“Ini ibunya Ken?” Dia ngegoyang-goyangin tubuh ibunya.

“Beneran manusia kan bukan alien?”

Sementara ibunya cuma bisa garuk kepala liat tingkah Ken, “duh, maaf ya nak Calvin. Ken suka berlebihan anaknya.”

“BAPAK MANA BAPAK???”

Kemudian Ken ngelengos menuju kamar, “BAPAK..”

“Bapak ini Keeennn.. Kenn pulang dengan selamat..” Dia ngehambur ke pelukan ayahnya yang lagi duduk baca buku hidayah sambil nyeruput teh.

“Gak usah lebay kamu teh aa. Udah gede tapi kelakuan gak berubah!”

TAK!

Kepala Ken dipukul remot sama ayahnya sendiri.

“Biasanya juga manggil ayah, kenapa sekarang jadi bapak?”

“Yang ada kamu yang kesurupan bukan Calvin.”

“Lo ngapain sih anjir.”

“Kalau gini jadinya ngapain ngajak nongki, tau gitu mending tidur aja di kamar lo.”

Calvin misuh-misuh gak suka, pasalnya waktu baru aja selesai nyanyi Ken langsung narik dirinya. Masih mending kalau gak banyak pengunjung atau nariknya pelan.

Dan lagi Calvin sama sekali gak tau apa maksud Ken ngelakuin itu, bilangnya ada Fabio di sana sama suaminya, terus kata Ken, dia mandangin terus Fabio padahal ada suaminya.

Hh, Calvin pengen ngamuk aja. Tau ada Fabio di sana aja enggak, pengunjung di sana bukan satu atau dua orang. Jadi, gak mungkin Calvin bisa mudahnya nemuin Fabio apalagi penerangan di sana cuma ngandelin dari lampu yang cahayanya remang-remang, ngebuat pandangan jadi gak begitu jelas.

Mereka berdua lagi di parkiran sekarang. Ken sibuk ngerogoh saku, nyari kunci motor punya ayahnya yang dia pinjem buat nongki.

“Gue ke toilet bentar.”

“Jangan lama, Cal.”

“Bacot.”

Selesai ngebenerin resleting juga celananya, Calvin ngebuka pintu toilet. Dirinya sempet kaget ngeliat siluet hitam.

Matanya memicing mastiin apa yang diliatnya gak salah.

“Anjing!”

Calvin lari ke arah parkiran nemuin si Ken, “lo tadi bilang ada Fabio?”

“Iya.”

“Sama suaminya?”

“Hooh tapi gue liat suaminya kayak izin pergi gitu ke belakang.”

“Anjing! Tolol!” Kedua tangannya mengepal nahan rasa marah yang memuncak di dadanya.

“Kenapa?” Ken turun dari jok.

“WOY CALVIN! MAU KEMANA?”

“Tunggu aja di sana. Gue cuma bentar.” Seru Calvin dari kejauhan.


Di angkringan ini cuma disediain toilet umum, jadi gak ada pemisahan antara toilet laki-laki dan toilet perempuan.

Sebenernya Calvin sendiri belum yakin sama apa yang diliatnya, tapi kalau itu beneran..

Dia gak akan tinggal diem gitu aja.

Dia sama sekali gak terima kalau Fabio diselingkuhin sama suaminya. Bisa-bisanya suaminya asik ciuman sama perempuan lain di saat ada Fabio yang lagi nunggu. Terlebih posisi mereka yang intim kayak mau ngelakuin hal yang lebih dari ciuman.

Calvin balik ke tempat angkringan tadi, kepalanya noleh kanan kiri nemuin sosok Fabio.

Hatinya panas dan greget sendiri. Harusnya tadi nanya Ken baju apa yang dipake Fabio jadi dia bisa nemuin Fabio dengan cepet.

“Calvin?”

“Kenapa?”

Itu Fabio, dateng dengan sendirinya karena daritadi dia ngeliat Calvin kayak orang bingung.

Nafasnya ngos-ngosan, banyak keringet di dahi sampe rambutnya acak-acakan dan basah.

“Kamu ngapain?”

“Suami lo mana?”

Fabio ngerutin dahinya, “maksudnya?”

“SUAMI LO MANA?”

Mata sipitnya ngerjap kaget denger suara Calvin yang sedikit ngebentak dirinya.

“A—ada di sana lagi beli bakso.” Tangannya nunjuk ke belakang.

Bener, suami Fabio ada di sana lagi ngantri beli bakso.

“Kenapa nanyain Mas Nathan?”

Calvin diem. Nafasnya masih gak beraturan.

“Kenapa Cal?”

Cowo tinggi itu mandang Fabio lemah, “enggak.”

“Serius?”

“Iya. Kayaknya gue salah liat.”

“O-oke.”

“Sayang, udah nih baksonya. Ayo pulang.” Nathan dateng yang mana itu sukses ngagetin mereka berdua.

Nathan noleh natap Calvin, “kamu yang di warung ketoprak itu, kan? Ngapain di sini?”

“Ngapain di sini ngobrol sama Fabio?”

“Udah kali, Mas. Kita cuma gak sengaja ketemu kok.”

Nathan dan Calvin sama-sama ngasih tatapan gak suka. Fabio bingung sendiri harus gimana, takut kalau suaminya nanti salah paham.

“Udah, yuk. Kita pulang.”

“Kasian Luna takutnya nanti dia bangun nyariin aku.”

“Ayo, Maaas.” Tangan Nathan ditarik menjauh dari Calvin.


😬

Aroma seblak yang ditambah daun jeruk berhasil ngebuat Calvin jadi ngiler.

Dia pengen coba tapi gak mau masuk kelubang yang sama lagi, alias dia gak mau harus bulak-balik kamar mandi kayak waktu dulu.

Akhirnya dia tahan keinginan buat nyicipin seblak. Ibunya Ken selesau ngebungkus pesenan seblak buat si kucrit. Calvin buru-buru ngambil bungkus plastiknya, lalu nyalain motor, bersiap nganterin seblak ke rumahnya.

Di perjalanan Calvin jadi keinget momen kemarin, itu momen yang mungkin bakal terjadi satu kali dihidupnya. Mau-mau aja diminta anter ke pasar sama orang lain.

Fabio yang nangis karena gak sengaja dia tinggalin,

Fabio yang kesel waktu berusaha nolak dia beliin mainan buat Luna,

Dan yang terakhir, dia dan Fabio yang sama-sama emosi karena salah denger sewaktu lagi perjalanan pulang.

Tanpa sadar Calvin senyum, dia berusaha nahan ketawa nginget kejadian konyolnya itu.

Ada-ada aja.

Lima menit kemudian Calvin nyampe di tempat tujuannya.

Dia turun dari jok motor vespanya, tangannya nyambar bungkus plastik seblak yang digantung.

“Permisi, seblak..”

Bibirnya digigit kuat, ngerasa bodoh udah ngucapin kata itu. Dia cuma nganterin seblak bukan tukang paket.

Calvin kira Luna atau Fabio yang keluar rumah buat ngambil pesenannya, ternyata seorang perempuan yang Calvin yakini itu ibunya Fabio.

“Siapa?”

“Saya Calvin mau nganterin seblak pesenan Luna.” Katanya sedikit gugup.

“Oh. Berapa?”

“Mm.. 12 ribu.”

“Sebentar saya ambil dulu uangnya.”

Calvin ngangguk. Matanya ngelirik ke sana-sini, heran gak ada tanda-tanda keberadaan Luna atau Fabio.

Biasanya si kucrit yang paling semangat kalau berhubungan sama dirinya, tapi ini kok gak ada?

“Ini uangnya pas.” Ibu Neti, ibunya Fabio datang sambil ngasih uangnya.

“Makasih, bu.”

“Iya sama-sama.”

“Oh iya, bu. Luna sama Fabionya mana?”

Calvin kaget sama ucapannya sendiri. Bisa-bisanya dia ngucapin kalimat itu. Tangannya ngeremat saku celana.

“Luna tidur, Fabio lagi sama suaminya. Kenapa?”

“Eh— enggak, bu. Kalau gitu saya izin pulang. Makasih udah pesen seblak.”

Bego anjir, lo ngapain Calvin.

Ngapain nanyain mereka.

Tolol.

Calvin gak henti-hentinya ngutuk kebodohannya sendiri.

Udah pasti Fabio sama suaminya. Memangnya siapa lagi?


Hayoloh hayoloh

😭😂