Uhavecrushoncy

Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby. Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby.

Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby.

Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby.

Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby.

Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby. Chanyeol menatap sekeliling kamar.

Awalnya Chanyeol pikir ia salah memasuki kamar atau mungkin salah mendatangi rumah sakit, tetapi ketika melihat denah tata letak ruangan di rumah sakit itu sudah benar.

Cleveland Hospital, Lantai 3, Paviliun D, Nomor 132.

Semua lokasi seperti lemari, tempat sampah, juga toilet ia cek untuk memastikan, namun semuanya kosong juga bersih.

“Mungkin pindah kamar.” Batinnya.

Perkiraannya pasti seperti itu, kan? Memangnya apalagi selain pindah kamar?Selama 3 bulan ia koma membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi Devlin, lalu seingatnya penyakit yang diderita Devlin itu parah dan tidak akan secepat itu untuk disembuhkan.

Langkah terakhirnya bertanya pada suster di meja informasi.

“Permisi, pasien di kamar no 132 pindah ke kamar mana?” Katanya sembari membungkuk sopan.

“Oh, sebentar saya cek dulu, Pak.”

Ucapan susternya hanya Chanyeol angguki. Seperti anak hilang kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, takut-takut ada Devlin atau Baekhyun yang melewati dirinya.

Jemarinya diketuk berulang kali diatas meja menunggu jawaban dari suster berkacamata yang sedang sibuk membuka buku halaman.

“Masih lama, sus?”

“Sebentar ya, Pak.”

Chanyeol resah.

Rasa rindu yang membuncah tak bisa lagi dibendung. Setiap hari tidak pernah terlewatkan memikirkan nasib Devlin dan Baekhyun.

Devlin pasti menunggunya sangat lama.

Baekhyun? Chanyeol tidak tahu. Ia hanya ingat saat detik-detik akan pingsan ia melihat Baekhyun yang jatuh ambruk.

“Gimana, sus?”

“Pasien atas nama Devlin yang nempatin kamar 132 udah keluar dari Rumah Sakit 3 bulan yang lalu, Pak.”

“Maksudnya? Udah sembuh? Atau dokter ngerujuk ke rumah sakit lain?”

Si suster menggeleng, “mohon maaf, Pak. Buat detailnya saya gak tau karena tugas saya cuma mencatat pasien yang keluar atau masuk ke Paviliun D.”

“Kalau ngecek data riwayat pasien saya harus ke mana?”

“Untuk itu setiap rumah sakit punya kebijakan melarang orang lain mengecek data riwayat pasien.”

“Tapi saya ayahnya!”

“Maaf, Pak saya gak bisa bantu.”

Nafasnya tidak beraturan.

Chanyeol berlari menuju meja informasi utama di lobby. Ia bersikeras mencari tahu tapi jawabannya tetap sama, pihak rumah sakit tidak bisa membiarkan sembarangan orang mengeceknya.

Ia menunjukan file pdf akta kelahiran Devlin, kartu keluarga, kartu tanda pengenalnya, dan segala yang berhubungan dengan bukti bahwa Park Chanyeol ayah kandung Devlin.

“Demi Tuhan, saya ayahnya.”

“Saya ayah kandungnya.”

“Saya punya buktinya, saya gak bohong.”

“Saya cuma mau tau gimana kondisi anak saya.”

Tingkahnya yang membuat kegaduhan kembali mendatangkan petugas keamanan rumah sakit seperti dulu. Tubuhnya ditarik dengan kedua lengan yang dipegang petugas lalu sedikit didorong ke depan setelah sampai di luar lobby.

“Mommy, Malka kangen.” Anak perempuan yang memakai dress cerah bercorak bunga itu meraung-raung memanggil Mommy-nya.

“Kapan Mommy bisa keluar?”

“Malka pengen tidur lagi sama Mommy.”

“Malka pengen kayak dulu lagi.” Kedua tangannya mencengkram pagar pembatas antara ruang tahanan dan ruang pengunjung.

“Hani,” suara lain terdengar. “Malka nanya.”

“Kenapa Mommy gak jawab Malka?” Malka menoleh pada seseorang di belakangnya.

“Malka kangen sama mommy.. sama adek juga.”

“Daddy Yeol juga kangen.”

“Iya kan Dad?”

Chanyeol bungkam.

Yang disebut Daddy Yeol pun tidak menjawab. Matanya melirik Chanyeol dan Hani bergantian, mencerna situasi membingungkan bagi anak seusianya.

“Kenapa Mommy sama Daddy Yeol gak jawab?”

“Malka daritadi nanya.”

Lagi-lagi hanya diisi keheningan.

“Daddy Yeol mau ke mana?”

“Chanyeol.” Nada penuh penekanan berdengung di telinga Chanyeol namun itu tidak menghentikan langkahnya yang semakin menjauh.

Lengan kecil melingkar di kedua kakinya yang tinggi, cuitan pilu dengan nada memohon sukses membuatnya berhenti.

“Daddy Yeol jangan pergi.”

“Udah lama gak main bertiga.”

“Ada Daddy Kris di luar.” Jawab Chanyeol datar.

“Tapi—”

“Chanyeol.”

Ia mendengus kasar mendengar namanya kembali disebut. Chanyeol benci berada di situasi memuakkan. Jika bukan karena Kris yang memohon-mohon padanya sampai berlutut ia tidak akan sudi menemani Malka menemui Hani.

Lagipula kenapa Malka terus ingin bersama dirinya padahal sudah jelas ada Kris, ayah kandungnya sendiri.

Chanyeol meminta Malka untuk pergi keluar menemui Kris sementara dirinya akan terlibat pembicaraan omong kosong dengan Hani di sini.

“Maaf.”

“Aku gak bermaksud nembak kamu.”

“Aku minta maaf.”

“Maaf Yeol.”

Air mata buaya. Chanyeol tidak akan terpengaruh dengan semua yang Hani ucapkan kali ini.

“Aku minta maaf.”

Satu kakinya disilangkan, sedangkan kedua tangannya dilipat sebatas dada. Chanyeol duduk santai dengan menyender pada bantalan kursi yang empuk.

Masih dengan mendengarkan omong kosong yang Hani utarakan,

“sumpah Demi Tuhan. Aku minta maaf.”

“Aku.. aku cuma mau Baekhyun tau diri. Dia udah ngerusak hubungan kita, dia gak tau diri, dia bego banget kan? Kita mau nikah tapi batal gara-gara dia.”

“Aku nembak dia di bahunya padahal target aku kena dada.”

“Kamu lindungin dia. Kamu lebih mihak dia daripada aku tunangan kamu.”

“Baekhyun cuma masa lalu.”

“Dia jahat.”

“Aku harap dia mati.”

“Baekhyun gila—”

PRANGGG!

Gelas kaca yang disediakan petugas sel Chanyeol pecahkan.

“Psikopat!” Bentak Chanyeol lantang.

Agaknya Hani sudah benar-benar tidak waras. Yang dibutuhkannya bukan penjara melainkan rumah sakit jiwa.

Psikisnya terganggu akan obsesi memiliki Chanyeol.

Chanyeol merasa iba dengan bayi yang masih berada dikandungan Hani. Jika tahu ibunya seperti ini mungkin bayi itu akan menolak untuk lahir nanti.

“Harusnya dulu gue gak kepincut sama lo.”

“Harusnya gue pertahanin Baekhyun bukannya iyain permintaan cewe gila.”

“Semoga lo busuk di penjara.”

Chanyeol pergi meninggalkan Hani yang meraung-raung memanggil namanya dengan isak tangis.

“Daddy Yeol mau ke mana lagi?”

“Gue bukan Daddy lo.”

“Berhenti manggil gue dengan sebutan Daddy.”

Tubuhnya ia bawa mendekati Kris, “didik anak lo jangan sampe kayak ibunya.”

“Urusan gue selesai.”

Bayangan-bayangan kebahagiaan akan hari ini musnah karena harusnya Chanyeol pergi menemui Devlin dan Baekhyun sekarang.

Iya harusnya.

Moodnya terlanjur hancur, ia tidak ingin bertemu Devlin dengan keadaan suasana hati yang buruk.

Mungkin Chanyeol akan mencobanya sore nanti atau besok mungkin?

“Maaf hari ini Daddy belum bisa ketemu Dev.”

“Maaf ngelanggar janji lagi.”

“Maafin Daddy..”


“Mommy, Malka kangen.” Anak perempuan yang memakai dress cerah bercorak bunga itu meraung-raung memanggil Mommy-nya.

“Kapan Mommy bisa keluar?”

“Malka pengen tidur lagi sama Mommy.”

“Malka pengen kayak dulu lagi.” Kedua tangannya mencengkram pagar pembatas antara ruang tahanan dan ruang pengunjung.

“Hani,” suara lain terdengar. “Malka nanya.”

“Kenapa Mommy gak jawab Malka?” Malka menoleh pada seseorang di belakangnya.

“Malka kangen sama mommy.. sama adek juga.”

“Daddy Yeol juga kangen.”

“Iya kan Dad?”

Chanyeol bungkam.

Yang disebut Daddy Yeol pun tidak menjawab. Matanya melirik Chanyeol dan Hani bergantian, mencerna situasi membingungkan bagi anak seusianya.

“Kenapa Mommy sama Daddy Yeol gak jawab?”

“Malka daritadi nanya.”

Lagi-lagi hanya diisi keheningan.

Sejak mengetahui orang yang sering ia jenguki itu Park Chanyeol, CEO Enoxyma Group yang ditembak oleh tunangannya sendiri, Minhyun jadi lebih sering menonton TV untuk mengikuti perkembangan kasus CEO Park.

Kasusnya sudah 3 bulan berlalu tapi sampai saat ini masih hangat dibicarakan.

Di sampingnya ada Park Chanyeol yang masih dalam keadaan koma. Sesekali ia melirik wajah tenang yang tertidur itu.

Minhyun murni ingin menjenguk karena merasa kasihan melihatnya seorang diri. Berjuang bertahan hidup dalam kehampaan pasti sulit.

Si penembak Choi Hani, Minhyun harap wanita itu sadar akan kesalahannya. Bermain-main dengan nyawa seseorang hanya karena masalah percintaan itu tidak baik.

Minhyun lihat dari portal berita di sosial media polisi langsung memenjarakan Choi Hani tanpa melihat status dirinya yang sedang mengandung.

Sedangkan Model Byun yang hakim sebutkan dia tersangka kedua setelah Choi Hani statusnya masih menghilang.

“Gila emang. Udah tau dia korban malah diseret jadi tersangka.

“Kak Chanyeol harus cepet sadar kasih tau media. Gue yakin kalau Baekhyun itu bukan tersangka.” Ibu jarinya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.

“Ke—kenapa Baek—hyun tersangka?”

“Tau tuh yang buat berita. Gak guna banget.”

“Lah udah sadar?”

“Kak Chanyeol udah sadar? Tunggu sebentar mau panggil dokter dulu.”


Minhyun memandang Chanyeol tidak mengerti.

Baru sadar dari koma harusnya masih lemah tidak bertenaga tapi yang ia lihat sekarang Chanyeol yang sibuk membaca tulisan di ponsel miliknya yang Minhyun pinjamkan.

“Sekarang ta—tanggal bera—berapa?”

“Hng?”

“Tanggal... Be—rapa?”

“Oohh 28 Maret, Kak.”

Chanyeol mengangguk lalu memberikan ponselnya pada Minhyun.

Minhyun berdeham izin pamit untuk pergi ke kamar rawat ibunya. Dirinya merasa Chanyeol butuh waktu untuk sendiri.

Setelah kepergian Minhyun, Park Chanyeol hanya terdiam memandang langit-langit kamar. Luka dipunggung masih terasa sakit, diam-diam dirinya mengucap rasa syukur sebab ia bisa bertahan hidup.

Selama 3 bulan ia sendirian di sini. Mau sendirian atau tidak ia tidak akan peduli, ia sudah biasa diabaikan sejak menikah dengan Byun Baekhyun.

Iya. Kedua orang tua Chanyeol tidak setuju jika anaknya menikah dengan seseorang yang sebatang kara, mengingat kedua orang tua Baekhyun lebih dulu meninggal sebelum mereka menikah. Selain itu, mereka berpikir Baekhyun tidak akan punya masa depan dan tidak akan bisa membangun rumah tangga dengan baik.

Baekhyun 5 tahun lalu belum bekerja karena Chanyeol yang melarangnya.

Orang tuanya ingin Chanyeol menikah dengan seorang wanita bukan lelaki. Wanita karir yang sukses, cantik, juga mandiri seperti mantan Chanyeol dulu, Hani.

Orang tuanya hanya akan menganggap Chanyeol sebagai anak lagi jika ia menikahi Hani.

Pemikiran yang kolot memang.


31 Maret.

Chanyeol sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Kepulangannya dijadwalkan satu minggu lagi jika tidak ada masalah serius.

Ia mengambil ponsel miliknya sendiri di meja. Jarinya terketuk mencari berita terbaru mengenai dirinya, Hani, juga Baekhyun.

Berita-berita yang tersebar membuatnya pening sendiri. Ia harus segera memberi pernyataan yang benar kepada media.

“Gue lebih dukung Hani daripada Baekhyun.”

“Statusnya udah mantan suami tapi kok berani ngerusak hubungan orang.”

“Hani ngelakuin itu juga pasti karena dia stress gara-gara si Baekhyun ikut campur.”

“Sumpah, si Baekhyun kemana sih? Udah salah kok ngilang?”

“Baekhyun model nng ent tuh punya anak kan? Gila sih anjir gak mikir ke anaknya apa?”

“Udah jadi model kok bisa kerja di club? Gak sekalian jadi jalang?”

“Yang harusnya dipenjara si Baekhyun. Terus anaknya dikucilin deh.”

Chanyeol geram membaca komentar-komentar bodoh yang semuanya menyudutkan Baekhyun bahkan anaknya Devlin pun ikut dikomentari.

Semuanya salah dirinya.

Yang memulai semuanya itu dirinya.

Andai dulu Chanyeol tidak terpincut oleh Hani. Pasti saat ini Chanyeol hidup bahagia bersama Baekhyun dan Devlin.


7 April.

Perusahaan Enoxyma Group belum sah dipindahtangankan jika tidak ada kehadiran Chanyeol. Jadi hari ini ia pergi ke kantornya setelah keluar dari rumah sakit padahal dokter sudah mewanti-wanti dirinya harus istirahat di rumah.

Ia harus mengadakan konferensi pers terkait semua masalahnya sekaligus mengesahkan kepindahtanganan perusahaan Enoxyma Group.

Selama konferensi pers berlangsung Chanyeol terlihat mati-matian menahan rasa sakit yang kembali terasa.

Semua jurnalis yang datang dengan seksama mendengarkan setiap kata yang Chanyeol ucapkan.

“Semoga penulis berita tidak lagi menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Saya Park Chanyeol memohon maaf sebesar-besarnya kepada banyak pihak yang dirugikan. Setelah ini saya akan berpikir dua kali sebelum bertindak dan saya akan menjadikan masalah ini sebagai pembelajaran ke depannya. Dengan demikian konferensi pers hari ini selesai, perusahaan Enoxyma Group resmi diambil alih Osano Group. Terimakasih.”

Seperti yang diucapkan tadi, Enoxyma Group resmi diambil alih perusahaan orang tuanya. Chanyeol tidak peduli, ia masih memiliki banyak uang juga harta untuk kehidupannya di masa depan.

Chanyeol juga membayar satu pengacara ternama untuk menyelesaikan masalah dengan hakim yang menyebut Baekhyun sebagai tersangka.

Awalnya setelah selesai konferensi pers ia ingin pergi menemui Devlin. Namun terpaksa ia urungkan karena punggung juga perut bagian atasnya mulai kembali terasa sakit.

“Besok Daddy ke sana.”

“Dev masih tunggu Daddy kan?”

“Maaf bikin Dev nunggu lama.”


KARMANYA MANA HEEE? Ini kurang.

Iya tau 🙃

Terakhir kalinya.

Hani tersenyum sinis. Chanyeol salah jika berpikiran Hani akan menurut.

Tapi jika dipikir-pikir mungkin benar, ini yang terakhir kalinya.

Terakhir kali Hani membalaskan dendamnya pada Baekhyun karena nanti lelaki itu hanya tinggal nama.

Sebut saja dirinya gila.

Hani menyadari itu. Tidak apa-apa menjadi gila asalkan itu bisa mendapatkan kebahagiaannya kembali, hidup bersama Park Chanyeol.

Tanpa ada Byun Baekhyun dan Devlin di dunia ini.

Setelah memastikan efek samping obat tidur itu bekerja ia langsung pergi menemui Baekhyun di club kemarin.

Beruntung waktu itu Kris datang ke kantor polisi dan bisa menebus uang jaminan agar ia tidak ditahan.

Jika saja beberapa jam yang lalu Chanyeol tidak menelepon seseorang dan membawa-bawa nama Baekhyun mungkin rencananya lain lagi.

Matanya menatap lekat lelaki berperawakan mungil namun masih lebih tinggi darinya yang memakai masker juga topi.

Berjalan menyusuri setiap sudut club untuk mengambil sisa botol alkohol, kemasan rokok yang kosong, dan lain sebagainya.

Sesekali lelaki itu berjongok untuk mengepel lantai menggunakan pel kain, lalu bangkit membersihkan kotoran-kotoran kecil dengan sapu.

Selesai menjalankan tugasnya ia terduduk di sudut. Aktivitasnya sekarang hanya fokus pada ponsel yang dipegang.

“Ck. Lama.” Ucap Hani malas.

“Model apa yang kerja sampingannya tukang sampah.”

“Caper.”

“Cocoknya nge-BO.”

15 menit kemudian lelaki yang bername tag Baekhyun berdiri dan akan mulai membuang sampah yang tadi ia kumpulkan.

Hani cepat-cepat keluar menuju pintu belakang club. Baekhyun terlihat masih santai, itu artinya ia belum menyadari ada Hani.

Baekhyun memasukkan sampah ke dalam beberapa tempat berdasarkan kategori sampah.

“Mati. Mati.” Hani berucap gemas.

Dor!

Peluru menusuk bahu kanan Baekhyun sampai tubuhnya terjatuh.

Baekhyun meringis kesakitan sembari memegang bahunya sendiri. Darah segar memenuhi telapak tangan dan baju putihnya.

“Ha—hani?”

Baekhyun terkejut bukan main. Tidak percaya Hani akan melakukan ini. Ia mencoba bangkit untuk berlari menjauhi Hani yang mulai mendekati dirinya.

Langkahnya linglung. Sakit di bahunya semakin terasa tapi Baekhyun harus berusaha menyelamatkan dirinya karena saat ini Hani kembali menodongkan pistol ke arahnya.

“Mati.”

“Jangan pernah berpikir bisa rebut Chanyeol.”

“Lo cuma sampah yang gak berguna.”

“Cuma bagian dari masa lalu yang gak pantes bahagia.”

Pelatuk pistol Hani tekan.

Dor!

“Arrgghh..”

Yang ditembak mengerang kesakitan, dirinya berusaha bangkit namun kembali terjatuh. Alhasilnya hanya bisa berjalan merangkak.

Pupil mata Hani melebar dengan yang barusan dilihat.

Jika tadi peluru menusuk bahu sekarang peluru menusuk bahkan sampai menembus tepat di punggung.

“Baekhh— lari!”

“Ce—cepet pergi!!”

Di sisa-sisa kekuatannya Chanyeol berteriak menyuruh Baekhyun untuk pergi menjauh.

Beruntung dirinya datang tepat waktu. Jadi Baekhyun tidak tertembak lagi.

Namun Baekhyun bergeming. Mungkin syok melihat dirinya tertembak oleh Hani di depan matanya langsung.

Sungguh. Kalau saja dirinya bisa berdiri pasti ia akan langsung membawa pergi Baekhyun.

“Sekali ini. Tolong nurut sama saya. Pergi sekarang, Baekh—” Chanyeol muntah darah sebelum menyelesaikan kalimatnya.

Keduanya saling menatap.

Mulai saat ini Chanyeol menjadi sangat benci.

Benci melihat mata puppy itu menangis.

Entah apa yang Baekhyun tangisi.

Jika itu tentang dirinya.. sebaiknya jangan.

“Arghh..” Chanyeol berteriak kesakitan.

Ia tidak tahan lagi. Sakitnya menjalar keseluruh tubuh padahal hanya tertembak di punggung.

Baekhyun masih bergeming menatap dirinya. Sementara Hani datang mengangkat kepala Chanyeol di atas pahanya.

“Chanyeol maaf. Maaf. Aku gak sengaja. Aku.. aku cuma mau nembak Baekhyun bukan kamu.”

“Maaf sayang. Chanyeol maaf. Chanyeol!”

“Chan tolong tetep sadar. Aku aku cari bantuan sekarang.”

“Chanyeol tahan sebentar.”

Tapi Chanyeol tak mendengarkan Hani. Ia setia melihat Baekhyun yang juga tengah kesakitan.

Darah kembali dimuntahkan.

Terlalu sakit. Ia tidak bisa menahannya lagi.

“Baekhyun pergi.” Katanya lemah.

Pandangannya memburam. Wajah cantik Baekhyun yang menangis tidak dapat terlihat jelas. Chanyeol mengedipkan matanya berkali-kali berusaha tetap menjaga kesadarannya.

“Maaf. Maaf da—dateng terlambat.”

Meski buram yang terpenting Chanyeol masih bisa melihat refleksi Baekhyun.

Tubuh rapuh Baekhyun jatuh bersamaan dengan pandangannya yang perlahan menggelap.

Detik itu juga Chanyeol tidak tahu harus apa.

Dipikirannya hanya ada Baekhyun dan Devlin.

“Maaf.”

Rasa sakit yang diderita mengambil alih kesadarannya.

Park Chanyeol tetaplah si bodoh yang naif.

“Anjing!” Chanyeol mengumpat keras setelah membaca pesan yang suruhannya kirim. Juga ada deretan pesan dari Kai yang mengatai-ngatainya.

Jantungnya berdebar kencang saat membaca pesan terakhir.

Tujuannya mendatangi rumah Hani hanya untuk mengakhiri urusannya dengan wanita itu agar tidak ada lagi yang membuat masalah. Selain itu, Hani juga berjanji padanya kalau ini untuk yang terakhir kali.

Tapi ternyata rencananya untuk mengakhiri ini semua malah berbuntut panjang.

Hani membajak ponselnya saat Chanyeol tidur.

Dan Chanyeol kira Hani hanya membajak pesan saja.

Usahanya menutupi fakta kehamilan Hani dari publik berujung gagal akibat tweetan sampah yang wanita sialan itu buat.

Padahal kenyataanya tidak seperti itu. Selama ia bersama Hani wajahnya selalu menampilkan ekspresi datar dan ia melakukan itu atas dasar paksaan.

Belum selesai masalah terkait perusahaanya yang gagal mendapatkan investor kemarin, kini masalah lain berdatangan.

Citra Enoxyma Group dan dirinya pasti semakin down.

Percaya apa yang Hani katakan adalah kebodohan terbesarnya.

Sialnya Chanyeol baru menyadari jika beberapa jam yang lalu ia sempat menerima minuman dari Hani yang sepertinya diberi bubuk obat tidur.

Sekarang dirinya paham. Hani membuat rencana juga.

Chanyeol beranjak, merogoh saku celana untuk mencari kunci mobil. Ia harus segera datang ke tempat itu sekarang.

Takut Hani akan melakukan hal berbahaya.

Takut jika nanti semuanya tambah besar.

Takut, takut itu akan berimbas kepada Baekhyun dan Devlin.

Dahi dan pelipisnya dipenuhi keringat yang mengalir. Tetap pada rencana awalnya, ia harus mengakhiri hari ini.

Ia ingin terbebas dari Hani dan segala hal tentangnya agar bisa bertemu anaknya dengan tenang.


Gimana?

Siapa yang kemarin suudzon sama daddy? 😡 Siapa juga yang kemarin percaya kalau daddy gak ngelakuin ituuuuu? ☺️

Kemudian baru sadar..

Kenapa genrenya jadi kayak action? 🤔 Padahal dulu bikin AU ini tuh udah kesetting alurnya angst dan ya santai-santai aja gitu 😭 taunya zonk.

Eh— mau cerita juga. Kalau bikin bagian ttg Chanyeol ide ngalir gitu ajaa.. tapi kalau Baekhyun loading, nguras pikiran banget kadang sampe satu hari gak mood ngapa-ngapain soalnya mikirin nanti gimana aja nih adegannya supaya readers tertarik baca dan nguras emosi jugaaa. 🥴

Makanya kadang suka sedih sekaligus overthinking kalau yabg qrt sedikit. Apa jelek ya? Apa gak nyambung ya? Apa gak jelas ya? Apa cringe ya?

Dah segini dulu nanti dilanjut.