Uhavecrushoncy

“Dev tidur ya? Udah mau sore loh ini tapi Dev belum tidur siang.”

Anak kecil di hadapan Luhan masih setia memasang ekspresi murung sejak pagi.

Ditawari makanan, minuman, atau bahkan mainan baru pun tidak mempan. Luhan sampai kebingungan harus melakukan apa agar mood Devlin membaik, setidaknya mau diajak tidur siang.

Uncle Lu mau nanya sama Dev.” Ia merendahkan tubuhnya. Kedua tangannya terulur memegang bahu kecil milik Devlin.

“Dev ngerasain sakit lagi, hm? Bilang sama Uncle Lu apa yang sakit.”

“Gak ada sakit.”

“Dev mau ketemu Daddy.”

“Daddy janji mau ke sini tapi Dev tunggu gak ada terus.”

“Daddy? Daddy siapa?” Mungkin pertanyaan Luhan terdengar bodoh tapi kenyataannya memang begitu. Takutnya ia salah dengar dengan perkataan Devlin barusan karena Chanyeol tidak mungkin berjanji sepeti itu, malah diizinkan untuk bertemu saja tidak boleh.

“Daddynya Dev, Park. Chanyeol.” Devlin sedikit menekankan nama lengkap Daddynya.

“Padahal Dev udah siapin robot buat main bareng sama Daddy.”

“Daddy gak dateng terus.”

“Mungkin Daddy gak mau ketemu soalnya kemarin Dev nakal, ya?”

“Dev nakal rusakin mobil polisinya.” Devlin menangis kembali dengan suara tangisannya yang menyayat hati bagi setiap orang yang mendengarnya.

“Dev cuma mau main sama Daddy.”

“Pengen disuapin makan, sama dinyanyiin lagu waktu mau tidur Uncle Lu..”

“Anterin Dev ke rumah Dad-dy.”

“Iron Man juga nunggu Daddy.”

“Iya kan Iron Man? Daddy kemana gak kesini terus?” Devlin berbicara pada robot Iron Man dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya.

Luhan mengirim Baekhyun pesan, menanyai apa Chanyeol datang menemui Devlin kemarin-kemarin karena sudah 3 hari ini keponakannya itu selalu dalam mood yang tidak bagus.

Robot Iron Man yang sedang dipeluknya tidak pernah terlepas barang sedetik pun, mau itu saat sedang makan, menonton film, tidur, dan pergi ke toilet.

Iya, Mas Chanyeol dateng.

Mas Chanyeol diem-diem masuk ke kamar waktu kita lagi di toilet.

Mas Chanyeol nyuruh Kai ngurusin kerjaan di kantor makanya Mas Chanyeol bisa masuk.

Matanya melirik Devlin yang masih menangis sembari berbicara sendiri pada mainannya. Lalu kembali fokus pada ponselnya dan mulai membalas pesan dari Baekhyun.

“Dad— ah sakiiittt.” Ia terkejut dengan erangan kesakitan Devlin.

“Sakiitt..”

“Sa—sakit.”

“Dev! Sayang? Liat Uncle Lu sayang, liat ke sini!”

Aliran darah banyak keluar dari hidungnya saat Devlin mengangkat wajahnya.

Tubuh kecil nan rapuh itu mengejang berkali-kali, Luhan membiarkannya tetap seperti itu karena jika dipeluk atau dipegang takut terjadi apa-apa.

Segera ia menekan tombol darurat.

“Dev sayang tunggu sebentar..”

“Dev tunggu dokter dateng sebentar lagi.” Tangannya bergetar hebat melihat dari dekat Devlin yang kejang-kejang.

Luhan mengambil banyak tisu untuk menyeka setiap tetesan darah yang mengotori selimut dan sprei.

“De—dev sebentar la—lagi dokter dateng sayang, tunggu sebentar.”

Tapi sudah 2 menit berlalu belum juga ada yang datang. Luhan bangkit, atensinya menatap pintu lalu pindah menatap Devlin.

Berbekal perasaan takut ia berlari menuju meja informasi, meninggalkan Devlin yang masih kejang dan tanpa Luhan ketahui nafas Devlin tersendat-sendat.

Mulutnya terbuka, matanya memutih, darah dari hidung mengalir ke mana-mana, dan kepalanya mendongak ke atas.

“Dad—ddy..”

Robot Iron Man yang dipeluknya terjatuh, membentur permukaan lantai dengan keras sampai pecah beberapa bagian.

Kesadarannya lenyap.

Baekhyun memberi Chanyeol waktu 15 menit lagi. Waktu yang singkat itu ia gunakan sebaik mungkin bersama Devlin.

Di sela-sela makan siangnya hidung Devlin mengeluarkan darah. Chanyeol kelimpungan mencari bantuan karena ia belum pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini.

“Dev sakit?”

“Ada sakit? Di mana? Kasih tau Daddy.”

“Bentar bentar Daddy cari tisu dulu.”

“Dev gak apa-apa Daddy.” Anaknya terkekeh geli melihat Daddynya yang panik.

Baju, sprei, selimut, dan tangan Devlin menjadi kotor akibat darah yang keluar semakin banyak.

10 lembar tisu pun tidak cukup. Chanyeol memanggil suster karena Baekhyun tidak ada di kamar.

“Ini Devlinnya coba dibaringin aja.”

“Tapi tetep aja keluar, Sus.”

Kemudian aliran darah berhenti dan Chanyeol mulai tenang. Lalu makan siang yang tertunda dilanjutkan kembali.

9 menit lagi.

Chanyeol menyeka bulir-bulir keringat dipelipisnya. Waktunya terbuang sia-sia akibat Devlin yang mimisan.

Seperti tahu apa yang sedang Chanyeol pikirkan Devlin angkat bicara, “Daddy di sini terus sama Dev.”

“Main Iron Man.”

“Jangan pergi terus.. Dev masih mau sama Daddy.”

Maunya Chanyeol juga begitu tapi Baekhyun sudah mutlak memberi waktu sedikit. Itu pun ia merasa sangat berterimakasih pada Baekhyun meski sebentar.

“Daddy besok ke sini lagi main sama Dev.”

“Janji?”

“Janji!”

“Sekarang minum obat dulu, yuk. Biar Dev cepet sembuh.”

“Iya Daddy.”

Kali ini Kai kecolongan.

Chanyeol memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar rawat Devlin.

Awalnya hanya ingin sekedar mengintip keadaan Devlin tapi Chanyeol tidak menemukan siapa-siapa di sana.

Dev tau gak kenapa rambut Dev gak ada?

Samar-samar terdengar suara dari kamar mandi. Ia segera mendekati pintu, mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan.

Itu karena Tuhan ambil dulu rambut Dev—

Tuhan jahat!

Enggak sayang, ssttt.. Tuhan baik, baikk banget. Dev suka ngerasa kepanasan kan? Tapi dokter belum izinin Dev mandi. Jadi Tuhan ambil rambut Dev supaya Dev gak kepanasan.

Terus— terus kapan dibalikinnya?

Nanti kalau Dev udah sembuh.

Kapan?

”...”

Chanyeol menjauhi pintu kamar mandi. Udara di sekitar perlahan membuatnya sesak, nafasnya jadi tidak beraturan.

Mendengar pembicaraan Baekhyun dan Devlin menyakiti hatinya.

Matanya menatap lurus pada tempat sampah di pojok pintu kamar. Ada banyak gulungan tisu di sana, gulungan tisu yang dipenuhi dengan warna merah segar seperti darah.

“Anak Daddy..” Chanyeol bersimpuh di dekat tempat sampah. Melihat gulungan tisu dengan seksama.

“Maaf Daddy gak pernah peduli sama Dev.”

“Maaf Daddy suka sibuk.”

“Maaf—”

“Daddy!!” Ia menoleh ke belakang. Ada Baekhyun yang terdiam dan Devlin yang berada dipelukannya. Buru-buru ia berdiri menghampiri mereka.

Jika saat itu kondisi Devlin di matanya sudah buruk, kali ini kondisinya semakin buruk.

Hidungnya yang memerah seperti bekas noda darah, wajahnya yang membengkak, kulit bibir yang semakin pucat, jarum infus yang masih terpasang, serta perban di kepala anaknya yang belum juga terlepas. Jangan lupakan tubuh mungil anaknya yang semakin kurus.

“Daddy dateng!” Devlin merentangkan kedua tangannya, mengisyaratkan untuk digendong Chanyeol tapi Baekhyun langsung mendekapnya dan membelakangi Chanyeol.

Bisa ia lihat Baekhyun segera mengambil ponselnya di saku celana dan menelepon seseorang.

“Kai udah saya minta buat urusin kerjaan di kantor.” Ucapnya karena ia sudah yakin Baekhyun akan menghubungi Kai yang belum juga kembali ke kamar.

“Tadi saya liat Luhan balik lagi naik taksi, kayaknya ada urusan mendadak juga.”

Baekhyun masih tetap pada posisinya membelakangi Chanyeol. Sedangkan Devlin sedaritadi memanggil-manggil nama Daddnya dan meminta Baekhyun untuk melepaskannya.

“Daddy lepasin Dev dari Papa.”

“Papa hiks mau ke Daddy!”

“Daddy jangan pergi lagi hiks.”

“Dev mau sama Daddy, Pa.”

Mendengar Devlin yang memohon sambil menangis seperti itu membuat Chanyeol sedikit emosi karena Baekhyun tidak kunjung bereaksi.

“Baekhyun biarin Dev sama saya di sini.”

“Saya gak akan bawa dia kemana-mana.”

“Cuma di sini.” Kakinya ia bawa ke depan menghadap Baekhyun.

Bukannya Baekhyun egois hanya saja ia tidak ingin kejadian buruk menimpanya lagi.

Tahu sendiri setiap bertemu Chanyeol dirinya selalu sial. Belum lagi kemarin Hani yang tiba-tiba datang dan mengamuk padanya.

Dekapannya mengerat.

“Mas Chanyeol pergi.” Kata Baekhyun datar.

“Gak mau! Jangan pergi Daddy!” Devlin semakin meronta-ronta membuatnya sedikit kewalahan, takut terjatuh.

“Mas Chanyeol ada apa ke sini?”

“Saya mau ketemu anak saya, mau jengukin anak saya.”

'Anak saya' rasanya Baekhyun ingin tertawa. Dulu saja mantan suaminya itu tidak pernah sedikitpun peduli tapi lihat sekarang?

Memakai embel-embel 'anak saya' sebagai tujuannya kemari. Devlin hanya anaknya seorang diri. Dia tidak punya Daddy.

Dan juga apa Chanyeol tidak menyadari banyak luka di wajahnya? Apa Chanyeol tidak tahu kemarin Hani mengamuk padanya?

“Daddy ke sini hiks..”

Meski hanya sebatas dengan keyakinannya Chanyeol mencoba mengambil alih tubuh Devlin.

Matanya masih bertemu pandang dengan Baekhyun yang bergeming, “izinin saya sebentar.”

Seperti mimpi Devlin berada dipelukannya sekarang, “Dev kangen sama Daddy.”

Hatinya menghangat.

Rasanya masih sama seperti dulu. Sekian tahun menghilang kini ia rasakan kembali.

“Daddy juga kangen sama Dev.” Satu tetes air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya.

“Daddy jangan nangis.”

“Papa liat! Daddy nangis ngikutin kayak Papa suka nangis.”

Baekhyun tersenyum tipis, ia keluar dari kamar rawat karena rasanya canggung berada di rungan kecil bersama Chanyeol ditambah ada Devlin.


Chanyeol memperhatikan Devlin yang sibuk bermain dengan robot Iron Man pemberiannya.

Sesekali menimpali celotehan Devlin,

“Daddy ada monster di situ! Iron Man nya kalah.”

“Daddy bantu pake mobil polisi supaya menang.”

Wajah anaknya terlihat berkali-kali lebih bengkak dari yang ia lihat tadi. Chanyeol tidak bodoh untuk menyadari itu efek samping dari kemoterapi.

Baekhyun kembali berbohong padanya.

Anak mereka sedang tidak baik-baik saja. Devlin menderita penyakit serius.

“Dev ada sakit?”

“Di kepala suka pusing.”

Tangannya mengusap-usap pelan kepala Devlin, “Daddy usir pusingnya supaya Dev gak sakit.”

“Tapi Dev gak punya rambut.”

“Iya Dev gak punya.”

“Jadi jelek.”

“Siapa bilang, hm? Dev lucu. Ngingetin Daddy waktu Dev masih bayi.. belum punya rambut.” Chanyeol terkekeh karena tiba-tiba teringat itu.

Di belakang mereka ada Baekhyun yang memperhatikan. Awalnya ingin masuk ke kamar untuk mengambil ponsel tapi ia malah berdiam diri di sofa.

“Dev mau punya rambut atau enggak tetep lucu. Rambut bisa tumbuh lagi sayang.”

Devlin hanya mengangguk-ngangguk. Saat akan bergeser Devlin tidak sengaja menjatuhkan mainan mobil polisi dan Chanyeol segera mengambilnya.

“Rusak. Mobil polisinya gak bisa nyala.” Devlin menangisi mainannya.

“Sini Daddy benerin.”

Chanyeol mengutak-atik mainn dengan peralatan seadanya tapi tetap tidak membuahkan hasil.

“Rusak ya Daddy. Maaf Dev ngerusakin. Dev nakal, maaf..”

Baekhyun mendekat untuk menenangkan Devlin yang menangis semakin keras.

“Gak rusak ini. Mobil polisinya lagi istirahat dulu, katanya ngantuk jadi gak nyala besok-besok pasti nyala lagi. Dev jangan nangis terus sayang.”

“Tuh bener kata Papa, mobil polisinya lagi tidur.” Chanyeol menyeka air matanya sementara mobil mainan tadi ia simpan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang dan membelikan Devlin mobil mainan yang baru.

Syuting iklan untuk produk skincare terbaru yang dibintangi Baekhyun mendadak batal di tengah jalan.

Awalnya semua tampak berjalan mulus bahkan sutradara sendiri banyak memuji kemampuan Baekhyun.

Sebelum semuanya dikacaukan oleh seseorang yang tiba-tiba datang ke studio.

“BAEKHYUN!”

Baekhyun gagal menghindar dari serangan sehingga pelipis dan pipi bagian kanannya tersayat benda tajam.

Seorang stylist berusaha menarik Baekhyun dari serangan yang belum juga berhenti.

“JALANG!”

Satu tamparan keras dilayangkan kepada Baekhyun.

Baekhyun yang tidak tahu apa-apa kebingungan dengan apa yang dilakukan Hani.

“Lo apain Chanyeol sampe-sampe dia nurut terus sama lo?”

“JAWAB!”

“Berkat lo gue gagal nikah,”

“dan Chanyeol gak mau tanggung jawab sama anak yang gue kandung.”

Hani mengamuk di tengah-tengah studio, peralatan syuting jadi sasarannya. Semuanya berserakan dimana-mana.

Tiga orang staff mencoba menghentikan Hani sedangkan sutradara langsung memanggil polisi.

Properti tajam juga berat Hani lempar ke arah Baekhyun. Meski tubuhnya sudah ditahan tenaganya terlalu kuat hingga Hani berkali-kali bisa lepas dan mengejar Baekhyun.

Kedatangan Hani ke studio bukan tanpa alasan. Ia dendam, sangat dendam pada Baekhyun.

Beruntung Seulgi memberitahunya saat melihat Baekhyun memasuki gedung NNG Entertainment jadi ia bisa langsung mendatangi Baekhyun seorang diri.

Sebelumnya Hani tidak terima diseret keluar oleh Chanyeol saat ia mendatangi kantornya, belum lagi banyak orang yang melihat membuatnya semakin marah.

Semuanya karena Baekhyun.

Impiannya menikah dengan Chanyeol batal. Impiannya hidup bersama orang yang ia cintai musnah.

Pikiran sempitnya tetap menyalahkan Baekhyun dan anaknya sebagai penyebab Chanyeol berpaling padanya.

“Gue gak terima hidup gue hancur gara-gara lo jalang!”

“Selamanya Chanyeol bakal jadi milik gue.”

“Gue doain sekalinya lo berani ikut campur tentang hubungan gue sama Chanyeol anak lo bakal mati!”

Jika tadi Baekhyun terima-terima saja diperlakukan sepeti itu oleh Hani, sekarang Baekhyun berani menampar Hani.

Perasaan emosinya langsung naik saat mendengar nama Devlin.

“Kamu boleh doain saya mati tapi jangan pernah sekali-kalinya doain anak saya mati.” Tangisnya tumpah tidak tertahan, orang tua mana yang terima anaknya didoakan seperti itu? Apalagi keadaan Devlin sedang tidak baik.

“Lo ngerebut semuanya dari gue, kan? Kenapa gue gak boleh doain anak lo mati?”

“Liat aja nanti! Gue gak akan pernah maafin lo. Chanyeol milik gue—”

Polisi datang dan langsung membawa Hani yang teriak kesetanan, wanita itu tidak henti-hentinya mengeluarkan sumpah serapah kepada Baekhyun.

Tubuh Baekhyun bergetar hebat dengan apa yang barusan terjadi.

Bukankah Hani yang merebut semuanya dari Baekhyun?

Chanyeol menceraikannya karena Hani datang kembali dan sekarang Hani mengamuk padanya karena berpikir ia merebut Chanyeol.

Berbincang dengan Chanyeol pun sudah tidak pernah. Ia benci pada mantan suaminya, bagaimana Hani bisa menganggapnya begitu?

Belum lagi ia jadi terpikir Devlin di rumah sakit. Seketika Baekhyun jadi ingin pulang menemui Devlin.

Keinginannya melindungi Devlin dari orang-orang jahat semakin besar. Anaknya tidak salah, kenapa Hani tega menyumpahinya mati?

“Baekhyun!”

“Maaf saya telat. Kita ke dokter, ya? Kamu banyak luka.” Seseorang datang membawa tubuh mungil yang gemetaran ke dalam pelukannya.

“Devlin.. aku mau ketemu anak aku sekarang.”

“Ke dokter dulu, ya? Kita obatin lukanya abis itu ke sana.”

“Enggak, aku mau ketemu Dev sekarang. Aku baik-baik aja, Kak Joo.”

“O-oke kita ke sana tapi kamu harus tenangin diri dulu. Semuanya udah aman, dia udah dibawa polisi.” Joo Hyuk terus mengutarakan kata-kata penenang untuk Baekhyun.

Dalam hatinya Joo Hyuk menyesal datang terlambat tapi setidaknya ia masih berada dalam gedung yang sama sehingga bisa langsung menemui Baekhyun.

Semua staff membereskan peralatan yang berantakan setelah kericuhan tadi dan sepertinya syuting terpaksa ditunda sampai sang model kembali siap melakukan syuting.

Demi keselamatan juga melihat kondisi Baekhyun yang begitu buruk sutradara mengizinkan Baekhyun untuk pulang.

Luhan datang tepat waktu sebelum Baekhyun benar-benar berangkat bekerja.

Maniknya menangkap sepucuk surat di atas meja.

“Udah keluar?”

Baekhyun mengangguk lalu mengambil suratnya.

“Hasilnya gi—gimana?” Luhan tampak gugup. Takut pertanyaan melukai perasaan Baekhyun jika itu hasilnya jauh dari ekspektasi mereka.

Baekhyun diam sebentar memandang surat yang ia pegang.

“Buruk.”

Pandangan Luhan langsung beralih pada Devlin yang tertidur, ia tidak mau menatap Baekhyun.

“Bu—buruk gimana maksudnya?” Luhan kembali bertanya, posisinya sekarang membelakangi Baekhyun.

“Tumornya jadi ganas. Akarnya semakin nyebar.”

“Devlin harus kemoterapi lagi minggu depan, terus tadi Dokter Kim bi—bilang..” ucapannya terputus isak tangis yang mati-matian Baekhyun tahan.

Mata Luhan terpejam erat, “Tuhan..” tangannya meremas kuat cardigan yang ia kenakan.

Setelah menarik nafas dalam Luhan memberanikan diri menatap Baekhyun.

“Apa?”

“Kalau tumornya udah nyebar ke saraf bisa bikin ingatan Devlin keganggu,” nafasnya tercekat untuk sekedar melanjutkan kalimatnya.

“dan itu yang terjadi sama Devlin sekarang.”

Luhan langsung memeluk Baekhyun. Membiarkan sahabatnya itu menangis dalam pelukannya.

Baekhyun itu orang baik.

Baekhyun itu taat sama Tuhan.

Baekhyun itu tidak pernah menyimpan dendam.

Baekhyun.. Baekhyun.. bagi Luhan Baekhyun itu tidak punya dosa, di matanya sahabatnya itu sangat sempurna.

Dari sekian banyak orang kenapa harus Baekhyun dan Devlin?

Kenapa harus orang baik seperti Baekhyun?

Luhan tahu takdir Tuhan tidak bisa diubah. Menawar beribu-ribu kali pun percuma jika Tuhan maunya seperti ini.

Doa terbesarnya saat ini adalah semoga Tuhan tidak mengambil Devlin dari hidup Baekhyun.

Bisa apa Baekhyun jika Devlin tidak ada? Membayangkannya saja tidak sanggup.

Tidak apa-apa jika harus seperti ini, asal jangan ambil Devlin.

Tuhan pasti tahu seberapa berharganya Devlin bagi Baekhyun.

Mulutnya ia tutup rapat.

Karena Luhan yakin saat ini Baekhyun hanya ingin didengar.

Pelukannya terlepas dan Baekhyun menyeka air matanya sendiri, “udah jam segini Baekhyun berangkat dulu. Titip Dev ya, Lu. Maaf sering ngerepotin.”

Chanyeol melangkah masuk Paviliun D dan segera mendekati suster yang berjaga di meja informasi.

“Sus, ini saya mau titipin.” Ia menyodorkan mainan dan dua buah jus yang baru saja dibeli tadi.

Dua suster yang di sana saling pandang dan Chanyeol tidak bodoh untuk menyadari apa maksudnya.

“Gimana?” Bisik suster berkacamata kepada temannya.

“Kasih tau aja?”

“Beneran kasih tau?”

“Ada apa?” Tanya Chanyeol.

“Mmh.. anu gini, Pak— emm..”

Dirasa terlalu lama suster lain mengambil alih. “Gini, Pak. Sebelumnya kami mohon maaf, makanan dan mainan yang Pak Chanyeol titip ke kami dari seminggu yang lalu gak pernah diambil.”

Chanyeol bergeming.

“Kak Baekhyun minta kami buat bagiin semuanya ke pasien anak yang ada di Paviliun D.” Mereka berdua menunduk, merasa bersalah dan tidak terlalu berani memandang wajah Chanyeol.

“Jadi begitu, Pak. Mohon maaf sekali lagi.”

Tangannya meremas kuat kantong plastik bawaannya. Merasa marah juga kecewa atas tindakan Baekhyun.

Ia memberi semuanya secara cuma-cuma untuk Devlin bukan untuk dibagikan kepada orang lain.

Ia ingin Devlin merasa senang Daddynya selalu memberi hal yang dia suka dan secara tidak langsung ia ingin rindunya Devlin kepadanya sedikit terobati.

Jadi selama seminggu ini Chanyeol hanya berkhayal tentang bagaimana bahagianya Devlin jika tahu Daddynya selalu memberikan perhatian meski tidak secara langsung.

Dan artinya selama seminggu ini pula Devlin tidak pernah tahu akan kehadirannya.

“Oh gitu. Makasih, Sus. Maaf saya ngerepotin.” Senyumnya ia paksakan dan kembali mengambil bawaannya.

Ia memandang miris pintu bernomor 132. Berharap ada Baekhyun yang keluar dari balik pintu itu.

“Kalau gak mau terima kenapa gak bilang langsung?”

“Udah saya gak diizinin buat ketemu Devlin sekarang saya ngasih pun gak diterima.”

“Segitu bencinya sama saya?”

Tubuh Chanyeol sedikit terdorong ke depan namun tidak sampai jatuh. Ia berbalik mencari tahu anak kecil yang mengaduh kesakitan di belakangnya.

“Maaf. Aku gak sengaja.”

“Tadi dikejar suster buat disuntik. Aku takut..” anak perempuan berkuncir satu berlindung di belakang tubuhnya.

“Hey sini, mau sembuh kan? Ayo disuntik dulu sebentar, ya?” Suster datang dari kejauhan.

Chanyeol merendahkan tubuhnya, mencoba membujuk anak perempuan itu agar mau disuntik.

Sempat heran kemana orang tuanya sampai anaknya bisa kabur begini. Chanyeol kewalahan karena anak tersebut jadi menangis keras sehingga banyak menyita perhatian orang.

Suster dengan suntikan kecil di tangan kanannya hanya memutar bola matanya malas.

Akhirnya setelah ± 10 menit Chanyeol berhasil membujuknya dengan diiming-imingi mainan dan jus yang ia bawa tadi untuk Devlin.

“Makasih om uncle. Daahh..” anak perempuan itu melambaikan tangannya dan suster membawanya pergi.

Chanyeol mendudukan diri di kursi. Pikirannya melanglang buana tentang ucapan suster tadi.

Ia tahu. Sangat tahu. Kesalahannya selama ini tidak bisa dimaafkan dengan mudah tapi Chanyeol masih merasa gengsi untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.

“Mungkin Daddy harus cari cara lain supaya bisa ketemu sama bikin Dev seneng.”

“Tunggu, ya. Devlin harus tunggu Daddy. Anak Daddy juga harus cepet sembuh.” Ia mengusap layar handphonenya yang menunjukkan foto Devlin saat terakhir kali mengajak anaknya itu pergi bermain.

“Pasti Dev sembuh, iya kan Baek?”

“Pasti sembuh. Dev cuma sakit biasa.” Ucapnya meyakinkan diri.

Kemudian lamunannya dibuyarkan dengan pesan beruntun yang tiba-tiba datang. Ia menatap jam dan baru saja ingat bahwa akan ada meeting hari ini.

Di sisi lain, Baekhyun yang sedaritadi sudah keluar dari ruangan dokter terdiam memperhatikan Chanyeol dari kejauhan.

Sengaja ia lakukan itu karena tidak ingin Chanyeol melihatnya dan berakhir memohon-mohon ingin bertemu Devlin.

Setelah Chanyeol pergi Baekhyun langsung berlari memasuki kamar rawat Devlin.

Chanyeol melangkah masuk Paviliun D dan segera mendekati suster yang berjaga di meja informasi.

“Sus, ini saya mau titipin.” Ia menyodorkan mainan dan dua buah jus yang baru saja dibeli tadi.

Dua suster yang di sana saling pandang dan Chanyeol tidak bodoh untuk menyadari apa maksudnya.

“Gimana?” Bisik suster berkacamata kepada temannya.

“Kasih tau aja?”

“Beneran kasih tau?”

“Ada apa?” Tanya Chanyeol.

“Mmh.. anu gini, Pak— emm..”

Dirasa terlalu lama suster lain mengambil alih. “Gini, Pak. Sebelumnya kami mohon maaf, makanan dan mainan yang Pak Chanyeol titip ke kami dari seminggu yang lalu gak pernah diambil.”

Chanyeol bergeming.

“Kak Baekhyun minta kami buat bagiin semuanya ke pasien anak yang ada di Paviliun D.” Mereka berdua menunduk, merasa bersalah dan tidak terlalu berani memandang wajah Chanyeol.

“Jadi begitu, Pak. Mohon maaf sekali lagi.”

Tangannya meremas kuat kantong plastik bawaannya. Merasa marah juga kecewa atas tindakan Baekhyun.

Ia memberi semuanya secara cuma-cuma untuk Devlin bukan untuk dibagikan kepada orang lain.

Ia ingin Devlin merasa senang Daddynya selalu memberi hal yang dia suka dan secara tidak langsung ia ingin rindunya Devlin kepadanya sedikit terobati.

Berarti selama seminggu ini Chanyeol hanya berkhayal tentang betapa bahagianya Devlin jika tahu Daddynya selalu memberikan perhatian meski tidak secara langsung.

“Oh gitu. Makasih, Sus. Maaf saya ngerepotin.” Senyumnya ia paksakan dan kembali mengambil bawaannya.

Ia memandang miris pintu bernomor 132

Pagi ini sebelum pergi ke kantor Chanyeol menyempatkan diri pergi ke rumah sakit.

Seperti biasa ia akan membeli makanan dan mainan agar Devlin senang dan tidak bosan.

Chanyeol selesai memakai sepatunya dan bersiap diri menuju mobil.

“Yeol..”

“Astaghfirullah.”

Pria tinggi itu mengusap dadanya kaget. Pasalnya Hani kembali datang padanya setelah kemarin wanita itu datang ke kantornya.

“Daddy Yeol.. kenapa gak pernah nginep lagi?”

Hani membawa Malka.

Untuk apa?

Hani pikir membawa Malka akan membuatnya luluh?

“Daddy Yeoool.” Malka mengguncang-guncangkan tangannya yang tadi menyerebot menggenggan tangan besar Chanyeol.

Chanyeol setia menatap tajam Hani, menuntut penjelasan tentang kedatangannya kemari tapi Hani pura-pura bodoh malah membalasnya dengan senyuman manis.

“Malka kangen sama kamu tuh.”

“Iya kan sayang?”

“Iya. Daddy Yeol gak pernah nginep lagi Malka jadi gak ada temen main.”

“Emang Daddy Kris gak pernah ke sana?” Chanyeol merendahkan tubuhnya.

“Sering malah sampe malem,”

Senyuman Hani menghilang, raut wajahnya terlihat sedikit ketakutan.

“Tapi Malka maunya sama Daddy Yeol.”

“Kenapa gak mau sama Daddy Kris?”

“Gak asik. Daddy Kris sama Mommy terus.”

Skakmat!

Chanyeol tersenyum puas.

Awalnya ia hanya sekedar bertanya, tidak menyangka kalimat seperti itu keluar dari ucapan Malka.

Kemudian ia berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Malka yang terlihat keanehan akan sikapnya sedangkan Hani yang diam-diam merasa kesal juga malu.

“Daddy Yeol mau kemana?”

“Mau ketemu anak Daddy Yeol.”

“Siapa? Anak Daddy Yeol kan cuma aku!”

“Kata siapa? Daddy Yeol punya anak namanya Devlin.”

Setelahnya Chanyeol menekan pedal gas dan mobil mulai melaju.

“Kita udah selesai, Hani!”

“Enggak, Yeol.”

“Sekarang lo pergi dari sini.”

“Gak mau!”

“Lo mau apa lagi?” Chanyeol mengurut keningnya pusing.

“Aku minta maaf. Aku gak mau kita selesai.”

Kedatangan Hani di kantor saja sudah membuat keadaan kantor ricuh karena tingkahnya dan sekarang Chanyeol harus dihadapkan dengan tangisan Hani.

“Kita gak akan pernah selesai. Iya, kan baby?” Wanita itu bangkit dari duduknya di sofa dan beralih pada pangkuan Chanyeol.

Tapi Chanyeol buru-buru mendorongnya.

“Tolong jangan bikin gue tambah jijik.”

“Aku sama Kris gak ada apa-apa!”

“Gue gak bego ngeartiin ciuman kalian yang penuh nafsu,”

“dan bisa-bisanya lo pergi ke club padahal keadaan lagi hamil.”

Chanyeol tidak habis pikir dengan tingkah Hani kali ini.

Dulu ia kerap kali memakai pakaian longgar, besar, dan tebal untuk menyembunyikan kehamilannya.

Tapi lihat sekarang! Memakai dress pendek dan ketat hingga perut buncitnya terlihat.

Saat memasuki kantor pun semua orang langsung memberikan tatapan tidak percaya terhadapnya.

“Tolong pergi dari sini sebelum gue sendiri yang seret lo keluar!” Usir Chanyeol.

Suara keras dan tegas Chanyeol dari ruangannya mengundang banyak perhatian karyawan yang kepo.

Karena tidak biasanya CEO mereka dan kekasihnya bertengkar seperti ini. Apalagi Chanyeol memakai kata lo-gue.

Mau tidak mau Kai yang berada di sana langsung mengusir karyawan yang berkumpul di luar ruangan Chanyeol.

“Aku berani sumpah ini anak kamu!”

“Gak, itu bukan anak gue.”

“Aku gak pernah berhubungan seks selain sama kamu.”

Hhhh, Hani tetap kekeuh pada pendiriannya.

“Udah gue bilang tunggu sampe anak itu lahir baru gue lakuin tes DNA buat mastiin.”

“Ini beneran anak kamu Chanyeol! Aku harus gimana lagi sih supaya kamu percaya? Aku gak pernah bohong!” Hani balas meninggikan suaranya.

Mendengar penuturan Hani membuat Chanyeol berang.

Tidak pernah bohong katanya?

Tai lediq

Pergi ke club dan berciuman dengan Kris itu apa namanya?

Ia merasa tidak berguna.

Devlin anaknya, kan? Tapi dirinya tidak bisa berperilaku selayaknya Daddy yang baik.

Untuk sekedar melihat bagaimana rupa anaknya pun tidak bisa. Ranjang tempat anaknya tidur selalu tertutup gorden.

Baekhyun yang kerap kali berbicara ketus atau bahkan tidak mau berbicara saat ia tanyakan kondisi Devlin.

Chanyeol rindu Devlin.

Ingin sekali memeluk putra semata wayangnya, ingin menghiburnya saat Devlin merasa bosan, ingin menyanyikannya sebuah lullaby saat Devlin hendak tertidur, dan ingin bermain bersama mainan Iron Man yang dulu pernah ia beri seperti yang Devlin harapkan.

“Tunggu Daddy ya anak baik.” Jarinya menyentuh kaca kecil di pintu kamar bernomor 132.

Matanya menatap sendu gorden putih yang setia menjadi pemandangannya.

Pendengarannya masih cukup baik untuk mendengar suara Devlin yang tertawa saat Kai menemaninya bermain. Chanyeol iri.

Berandai-andai kapan saatnya ia akan begitu?

Selain suara tawa Chanyeol juga sering mendapati Devlin yang menangis seperti sekarang,

“Ssttt.. Dev jangan nangis.”

“Jangan nangis sayang, ada Papa di sini. Kenapa, hm?”

“Bosen, ya? Dev bosen diem di sini terus?”

“Anak Papa hebat. Sini Papa temenin lagi main Iron Man, ya?”

Selalu Iron Man. Chanyeol tersenyum mendengarnya.

“Gak mau!”

“Dev mau main sama Daddy. Gak mau main lagi sama Papa, Uncle Kai, atau Uncle Lu.”

“Dev mau Daddy hiks.”

“Dev kangen sama Daddy.”

“Papa.. hiks— ajak Daddy main sama Dev di sini.”

“Dev mau Daddy..”

Lelehan air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya, tangisan pilu anaknya membuat hati Chanyeol sakit.

Chanyeol dan Devlin saling merindukan.

“Daddy setiap hari di sini sayang.”

“Nunggu Papa izinin Daddy ketemu Dev.”

“Sabar sebentar lagi. Nanti Daddy pasti temenin Dev.”

Matanya menatap langit-langit, tak mau membiarkan air matanya kembali keluar, ia harus tampak baik-baik saja.

Chanyeol mendekati meja informasi. Diam-diam menitipkan sebuah makanan atau mainan baru kepada suster.

Setiap hari ia selalu begitu. Berharap rasa rindu anaknya yang ingin bertemu tersalurkan.

“Buat sekarang lewat suster dulu, besok-besok Daddy yang kasih langsung.”

“Daddy mau kerja dulu. Nanti ke sini lagi liat Dev.”

Chanyeol berpamitan di pintu kamar lalu segera pergi.