Uhavecrushoncy

Ia merasa tidak berguna.

Devlin anaknya, kan? Tapi dirinya tidak bisa berperilaku selayaknya Daddy yang baik.

Untuk sekedar melihat bagaimana rupa anaknya pun tidak bisa. Ranjang tempat anaknya tidur selalu tertutup gorden.

Baekhyun yang kerap kali berbicara ketus atau bahkan tidak mau berbicara saat ia tanyakan kondisi Devlin.

Chanyeol rindu Devlin.

Ingin sekali memeluk putra semata wayangnya, ingin menghiburnya saat Devlin merasa bosan, ingin menyanyikannya sebuah lullaby saat Devlin hendak tertidur, dan ingin bermain bersama mainan Iron Man yang dulu pernah ia beri seperti yang Devlin harapkan.

“Tunggu Daddy ya anak baik.” Jarinya menyentuh kaca kecil di pintu kamar bernomor 132.

Matanya menatap sendu gorden putih yang setia menjadi pemandangannya.

Pendengarannya masih cukup baik untuk mendengar suara Devlin yang tertawa saat Kai menemaninya bermain. Chanyeol iri.

Berandai-andai kapan saatnya ia akan begitu?

Selain suara tawa Chanyeol juga sering mendapati Devlin yang menangis seperti sekarang,

“Ssttt.. Dev jangan nangis.”

“Jangan nangis sayang, ada Papa di sini. Kenapa, hm?”

“Bosen, ya? Dev bosen diem di sini terus?”

“Anak Papa hebat. Sini Papa temenin lagi main Iron Man, ya?”

Selalu Iron Man. Chanyeol tersenyum mendengarnya.

“Gak mau!”

“Dev mau main sama Daddy. Gak mau main lagi sama Papa, Uncle Kai, atau Uncle Lu.”

“Dev mau Daddy hiks.”

“Dev kangen sama Daddy.”

“Papa.. hiks— ajak Daddy main sama Dev di sini.”

“Dev mau Daddy..”

Lelehan air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya, tangisan pilu anaknya membuat hati Chanyeol sakit.

Chanyeol dan Devlin saling merindukan.

“Daddy setiap hari di sini sayang.”

“Nunggu Papa izinin Daddy ketemu Dev.”

“Sabar sebentar lagi. Nanti Daddy pasti temenin Dev.”

Matanya menatap langit-langit, tak mau membiarkan air matanya kembali keluar, ia harus tampak baik-baik saja.

Chanyeol mendekati meja informasi. Diam-diam menitipkan sebuah makanan atau mainan baru kepada suster.

Setiap hari ia selalu begitu. Berharap rasa rindu anaknya yang ingin bertemu tersalurkan.

“Buat sekarang lewat suster dulu, besok-besok Daddy yang kasih langsung.”

“Daddy mau kerja dulu. Nanti ke sini lagi liat Dev.”

Chanyeol berpamitan di pintu kamar lalu segera pergi.

“Kenapa Baekhyun?”

“Kenapa gak bilang sama saya kalau Devlin sakit?”

Chanyeol memaksa Baekhyun masuk ke dalam mobil. Beberapa pertanyaan terlontar tapi tak satu pun dijawab oleh Baekhyun.

Baekhyun memalingkan wajahnya. Enggan memberitahu.

“Baekhyun liat saya!” Chanyeol memegang pundaknya agar bisa berhadapan.

“Mas mau apa?” Manik matanya membalas tatapan tajam yang Chanyeol berikan.

“Saya masih ayahnya..”

“Ya terus?”

“Baekhyun anak saya juga. Kenapa sembunyiin ini dari saya?”

Baekhyun melepas kedua tangan Chanyeol yang memegang pundaknya, “kalau aku kasih tau emangnya Mas Chanyeol mau apa?”

“Mas Chanyeol gak pernah peduli sama Devlin. Buat apa aku kasih tau?”

“Mas Chanyeol juga mau nikah, mau punya kehidupan baru dengan orang yang pasti bakal Mas Chanyeol prioritasin.”

Chanyeol memandang Baekhyun tidak mengerti. Apa belum jelas ucapannya tadi kepada Hani tentang pernikahannya yang batal?

Kenapa Baekhyun selalu berpikir seperti itu?

“Udah? Aku mau turun.”

“Enggak. Saya anterin.” Ia menahan tangan Baekhyun yang hendak membuka pintu mobil.

Lelaki mungil dihadapannya menggeleng, “enggak, Mas. Aku bisa sendiri.”

“Di luar hujan, Baekhyun.”

“Aku ada payung. Aku bisa naik bus atau pesen taksi.”

“Di sini gak ada halte bus, sinyal juga susah.”

Baekhyun jengkel mendengarnya.

“Aku udah dewasa!!”

“Tapi ini udah malem.” Ucap Chanyeol tidak mau kalah.

“Saya anterin. Sekali ini aja.” Mesin mobil dinyalakan.

“Jalan Mangrove.”

“Apa?”

“Turunin di sana.”

Bisa apa lagi Chanyeol selain menuruti permintaan Baekhyun? Ia mengangguk, setidaknya lebih baik daripada mantan suaminya itu pulang sendiri di tengah hujan deras.

Keheningan menyelimuti perjalanan mereka berdua.

Baekhyun dengan pikirannya yang kembali bercabang, tentang Devlin, pertanyaan Chanyeol, dan pertemuannya dengan Hani dan Kris tadi.

Sementara Chanyeol yang harus menelan pil pahit atas kejadian hari ini. Terlalu banyak kejadian membuatnya pening, pernikahan yang ia urus sendiri mendadak batal karena Hani.

Jika itu bukan tentang Hani yang kembali menjalin hubungan dengan Kris di belakangnya mungkin akan lain lagi.

Tentu hal itu sangat menyakiti harga dirinya. Prinsip Chanyeol; kesalahan apapun ia maafkan kecuali perselingkuhan.

Lalu tentang bayi yang Hani kandung.. Chanyeol menjadi ragu. Ia merasa tuduhannya kepada Hani itu benar.

Sakit untuk yang kesekian kali. Padahal ia sudah menaruh banyak cinta dan harapan pada calon bayinya.

Dan untuk Devlin.. Chanyeol masih akan berusaha agar ia bisa bertemu anaknya.

Karena ternyata mau sejauh apapun Chanyeol melangkah ia akan tetap kembali. Kembali pada prioritasnya dulu.

“Dev baik-baik aja, kan?”

“Ya.”

Meski singkat itu sudah sedikit mengobati rasa khawatirnya, ia masih belum tahu penyakit apa yang menimpa anaknya.

“Bukan penyakit serius, kan?”

Tidak ada jawaban.

Saat Chanyeol akan mengajukan kembali pertanyaan Baekhyun sudah lebih dulu membuka mulutnya,

“turunin di sini.”

Di pinggir jalan terdapat mobil hitam yang pernah Chanyeol lihat.

Juga seorang lelaki yang sedang berdiri menunggu seseorang.

“Kak Joo!”

Joo Hyuk yang menjemputnya.

Matanya saling beradu pandang.

Pikiran Chanyeol mendadak kosong.

Berusaha menolak fakta yang barusan ia lihat tadi.

Nafasnya memburu dan tangannya terkepal kuat mendekati dua orang yang saling berciuman penuh nafsu.

“Bangsat!”

Kepalan tangannya menonjok rahang bagian kiri berkali-kali. Yang ditonjok terjatuh akibat serangan yang tiba-tiba.

Seakan ada api yang membara di matanya, lelaki itu meringsut mundur. Namun Chanyeol segera menarik kerah kemejanya hingga dirinya berdiri.

“Kaget?” Chanyeol mengeluarkan smirk andalannya lalu mendorong keras lelaki tersebut sampai mengaduh kesakitan.


Chanyeol sengaja memilih tempat kosong di luar club agar tidak memancing perhatian orang lain.

Ia menonjok tembok, tidak peduli mau separah apa lukanya. Ia benar-benar emosi, ingin sekali melampiaskannya kepada orang tersebut tapi tidak bisa.

Tujuannya ke sini untuk mencari Baekhyun, ia ingin menuntut suatu penjelasan dari mantan suaminya.

Tapi sepertinya Tuhan sedang tidak mau berbaik hati. Jika tadi pagi ia mendapatkan fakta tentang kondisi Devlin, malam ini ia mendapatkan satu fakta lain lagi.

Seseorang dihadapannya menutup matanya takut, tidak berani melihat wajah Chanyeol yang penuh amarah.

“Gue selama ini sibuk usaha ngurus sana-sini buat pernikahan kita yang tinggal 3 hari lagi.”

“TAPI APA YANG GUE LIAT SEKARANG?!!!!!!” Bentakannya sukses membuatnya menangis sembari menunduk.

“Kris?”

“Jadi lo ngejalanin hubungan lagi sama dia?”

“JAWAB HANI!!”

Yang dibentak gelagapan.

“Awalnya ia gue maklumi Kris yang dateng dan meluk lo waktu Malka ke rumah sakit karena pasti lo panik dan takut.”

“Dan yang ke dua, gue juga masih maklumi Kris yang dateng ke rumah lo waktu mau tengah malem dengan alesan nganterin Malka pulang.”

Hani menangis hebat. Cara Chanyeol berbicara padanya sangat berbeda, bahkan tunangannya itu memanggilnya “Lo” bukan dengan nama atau panggilan sayang yang biasa Chanyeol katakan, “ma—maafin aku, Yeol. A-aaku—”

“Apa jangan-jangan bayi yang lo kandung itu anak Kris?”

Keterdiaman Hani membuat Chanyeol muak. Ia mencengkram rahangnya agar wanita itu mau menatapnya.

“Bu-bukan, ini anak kamu, Yeol. Aku gak bohong, ini anak kamu!”

“Yakin?”

Hani mengangguk ragu.

“Gue gak bego. Selama kita berhubungan seks gue gak pernah keluar di dalem. Malah gue hati-hati ngejaga supaya lo gak hamil.”

“Aku berani sumpah. Aku gak bohong, Yeol. Maafin aku, aku gak bohong.”

Hhh air mata buaya. Chanyeol tidak percaya semudah itu.

“Oke. Setelah bayi ini lahir kita perlu tes DNA.”

“Kamu hamil?” Kris datang dengan wajah babak belur hasil karya Chanyeol tadi.

“Kamu hamil, Hani?” Lelaki itu bertanya sekali lagi. Pasalnya Hani sama sekali tidak terlihat hamil di mata Kris. Sungguh.

Kris membuka resleting jaket oversize yang kerap Hani kenakan.

“Jadi ini alesan kamu selalu pake baju oversize, tebel, juga panjang? Buat nutupin kehamilan kamu?” Kris mendesaknya.

Chanyeol yang melihat interaksi mereka berdua berdecih jijik. Ia mundur beberapa langkah untuk menberi ruang pada Kris.

Saat menatap sekitar untuk memastikan tidak ada orang yang melihat mereka, Chanyeol melihat Baekhyun yang keluar dari pintu belakang club sambil membawa 3 kantong sampah berukuran besar.

“BAEKHYUN!”

Chanyeol menatapnya sebentar. Ia bisa lihat ada ekspresi kelelahan di sana, dan mata puppy Baekhyun tampak sayu.

Bajunya basah penuh keringat juga ada beberapa bercak seperti bercak makanan, kedua tangannya pun dibalut sarung tangan untuk cuci piring.

Ia meraih kantong berisi sampah. Membuangnya di tempat sampah terdekat lalu menarik tangan Baekhyun.

“Mas ngapain?”

“Mas Chanyeol lepas!”

Baekhyun terkejut ada Hani juga Kris di sini. Ia tidak mengerti apa yang membuat Chanyeol menariknya kemari.

“Tentang pernikahan gue batalin semuanya.” Ucap Chanyeol final.

Baekhyun semakin tidak mengerti. Hani yang menangis, Kris yang babak belur, dan Chanyeol yang terlihat marah.

“Enggak, Yeol. Aku mohon.. aku gak mau.”

“Jangan pergi, Yeol. Kamu salah paham.”

Chanyeol kembali menariknya dan berjalan menjauhi mereka. Baekhyun menoleh ke belakang melihat Hani yang menangis keras.

“Jangan liat ke belakang!” Titah Chanyeol.


Ini yang kalian tunggu-tunggu, kan? 😂

Gimana? 😭 Jujur aku jadi deg-degan, takut sama respon kalian aaaaaaaa.

Takut ngecewain,

Takut gak sesuai ekspektasi,

Takut gak dapet feelnya,

Takut semuanya 🙃

Perasaan kalut dan paniknya tadi pagi masih terasa hingga sekarang, namun kini perasaan marah lebih mendominasi.

Tangan mencengkeram kemudi mobil dengan kuat.

Demi Tuhan, ia sangat marah sekarang. Tidak habis pikir dengan apa yang terjadi.

Bounty Club adalah tujuannya. Tempat di mana Baekhyun berada.

Jika dipikir-pikir untuk apa Baekhyun ada di sana? Anaknya kan sedang sakit.

Tapi Baekhyun malah menitipkannya pada Kai dan Luhan. Bukankah Devlin adalah tanggung jawabnya?

Tidak becus.

Apa Baekhyun sedang jual diri?

Sekurang itu kah finansialnya sekarang sampai-sampai berani ke club untuk jual diri?

Chanyeol ingat Baekhyun sangat membenci club, bar, dan semacamnya.

“Dasar jalang.”

Ia berdecih jijik membayangkan perilaku Baekhyun yang sangat berubah drastis semenjak bekerja sebagai model.

Setelah menyogok penjaga dengan beberapa juta uang akhirnya Chanyeol berhasil masuk.

Hingar bingar nuansa club terdengar memuakkan di telinganya. Mata bulatnya menoleh ke sana ke mari mencari sosok mungil.

Chanyeol naik ke lantai 2.

Lantai 2 tidak sepenuh dan seberantakan lantai 1 sehingga memudahkannya mencari Baekhyun.

Chanyeol berjalan ke pojok kiri, tempat yang cukup gelap dan tertutup.

“Baekhyun pasti lagi ngelayanin.” Ucapnya percaya diri.

Bibirnya mengucapkan beberapa kali umpatan kasar dan sumpah serapah yang ditujukan untuk Baekhyun.

Dirinya diselimuti rasa dendam. Jika bertemu Baekhyun nanti ia tidak akan main-main menyakiti Baekhyun, tidak peduli sebanyak apa Baekhyun memohon padanya.

Ia tidak akan sudi memaafkan mantan suaminya itu.

Semuanya akan Chanyeol lakukan demi Devlin, anak kandungnya.

Hampir saja lupa.

Ia harus pergi untuk survei sekaligus mencoba makanan yang akan disajikan nanti saat acara resepsi.

Pikirannya berkecamuk, pernikahannya sebentar lagi tapi sekarang ia malah mendapatkan fakta bahwa anaknya sedang sakit.

Tidak mungkin untuk menunda acaranya.

Perasaanya pun masih belum baik-baik saja apalagi saat tidak mendapati Baekhyun di sana.

Pergi ke mana mantan suaminya itu?

Kenapa Baekhyun tega membohonginya?

Untuk itu Chanyeol kembali mengirim pesan.

Chanyeol menatap kepergian Kai.

Sungguh, Chanyeol tidak pernah mengira akan seperti ini.

Tenaganya terkuras habis meski tidak melakukan aktivitas fisik. Pria tinggi itu berjalan lemah, berusaha kembali ke lantai 3 tapi penjaga di sana terus menahannya.

Peluh keluar membasahi pelipis, tangannya yang mendadak tremor, nafasnya yang tidak beraturan sehingga membuatnya sesak, serta jantung yang masih berdegup kencang.

Chanyeol mencoba mengontrol dirinya sendiri. Berusaha bersikap dan berpikir rasional di tengah keadaan seperti ini.

10 menit kemudian ia merasa mulai tenang.

Ponselnya ia nyalakan, melihat pesan notifikasi yang terdengar.

Hari ini sampai besok adalah hari-hari tersibuknya mempersiapkan acara pernikahan yang tinggal 3 hari lagi.

Chanyeol mencuri-curi waktu untuk menyempatkan diri mendatangi rumah sakit yang orang suruhannya katakan.

Setiap langkah yang ia ambil membuat detak jantung berdegup kencang.

Pintu lift terbuka. Ia sudah sampai di lantai 3 dan waktunya mencari kamar bernomor 132.

129

130

131

Degup jantungnya semakin kencang. Tinggal satu kamar lagi.

132

Ia mengintip di balik pintu. Inginnya berpikir positif tapi dugaanya diperkuat saat bertemu Kai waktu itu.

Matanya menangkap sosok Luhan yang berdiri membelakangi pintu sehingga ia tidak bisa melihat siapa yang ada di ranjang, dan ada Kai juga di sana sedang duduk sembari mengaduk-aduk mangkuk berisi makanan.

Ia mendorong paksa pintu kamar.

“Daddy!”

Devlin, anak kandungnya— menyambutnya dengan sumringah sementara dirinya mendadak kaku dengan tungkai yang tiba-tiba lemas.

Wajah Devlin yang pucat, tangan kecilnya yang diinfus, selang oksigen yang terpasang di hidungnya, rambut yang dicukur habis sampai botak, serta perban dan plester yang tertempel hampir menutupi sebagian kulit kepalanya.

Ini adalah pemandangan paling buruk yang pernah Chanyeol lihat.

“Anak Daddy kenapa bisa gini?” Ucapannya bergetar hebat.

“Chanyeol lo pergi dari sini!” Kai menarik tubuh Chanyeol sampai keluar kamar.

Lihat! Untuk melawan pun ia tidak sanggup saking lemasnya.

Masih dengan tatapan yang mengarah pada Devlin yang sedang memanggil-manggil namanya dari dalam.

“Daddy mau ke mana?”

“Daddy!”

“Uncle Lu, Dev mau ke Daddy.”

“Daddy ke sini!”

“Dev mau turun, mau keluar sama Daddy!” Ia melihat Luhan yang sekuat tenaga menahan pergerakan Devlin.

“Pergi, Yeol!”

Matanya menatap nyalang kepada Kai, “anak gue sakit tapi bisa-bisanya kalian nutupin hal penting ini dari gue.”

“Lo gak ada hak buat tau.” Ucap Kai santai.

Emosinya tersulut. Tidak ada hak katanya? Statusnya masih sama yaitu ayah kandungnya dan selamanya akan tetap begitu.

“Gue ayah kandungnya kalau lo lupa.”

“Di mana Baekhyun?”

“Biarin gue masuk.”

Chanyeol memaksakan diri untuk masuk tapi tenaga Kai terlalu kuat. Semua orang di lorong terkejut dengan keributan yang dibuat.

“Gue bilang lo pergi sebelum suster manggil penjaga buat ngusir lo.” Ancam Kai.

“Anak gue di sana! Anak gue sakit! Gue Daddynya! apa yang salah sama kedatangan gue ke sini?” Suara Chanyeol meninggi membuat keadaan semakin ricuh.

“Daddy! Dev mau ke Daddy!”

“Uncle Lu bukain pintunya.”

“Daddy jangan pergi.”

“Daddy hiks.”

Suara Devlin yang bercampur dengan tangis membuat Chanyeol semakin kacau.

“Kai, gue mohon! Gue mau Devlin.”

Seorang suster yang melihat langsung menghubungi penjaga untuk membubarkan keributan.

1 lawan 2 tentu saja ia kalah. Kai dan penjaga menyeret Chanyeol sampai benar-benar menjauhi Paviliun D.

Kondisi anaknya perlahan membaik meski masih sering merasa kesakitan dan pusing tapi tidak separah dulu.

Dahinya Baekhyun cium.

“Papa nangis lagi.”

Anak kecil itu belum tertidur pulas ternyata.

Devlin meneliti setiap jengkal wajah Baekhyun.

“Enggak, kata siapa nangis?”

“Matanya merah.” Telunjuk kecilnya menyentuh dan membuat gerakan melingkar di area mata Baekhyun.

“Ini kena debu sayang.”

“Gak percaya.”

“Masa Papa nangis? Nih, liat Papa lagi seneng Dev mau makan banyak.” Ekspresi sok bahagianya dibuat-dibuat.

Berbanding terbalik dengan reaksi Baekhyun, Devlin malah mencebikkan bibir mungilnya.

“Papa pernah bilang gak boleh bohong.”

Baekhyun meringis, anaknya ini sangat peka juga pintar. Mau sebanyak apapun ia menutupinya Devlin pasti tahu.

“Dev masih nakal, ya?” Ekspresinya tiba-tiba murung.

“Kok Daddy gak pernah ke sini?”

“Dev bosen ketemu Daddy di mimpi terus.”

Pembahasan ini lagi.

Baekhyun sudah bosan mendengarnya. Bukan tidak mau tapi— ah sudahlah.. dijelaskan pun percuma, anak sekecil Dev tidak akan mengerti urusan orang dewasa.

“Nanti Daddy pasti dateng kalau Dev udah sembuh.” Alibinya.

“Beneran?”

“I—iyaaa.”

“Makasih Daddy.. Dev kangen.” Robot Iron Man pemberian Chanyeol ia cium lalu dipeluk erat.

Baekhyun merasa bersalah selalu menjanjikan hal yang sia-sia pada Devlin, apalagi semudah itu Devlin percaya akan kata-katanya.

“Iron Man nanti kita main bareng sama Daddy ya!”

Andai Devlin tahu bahwa Daddynya sedang berbahagia karena sebentar lagi akan menikah.

Dan itu artinya mereka akan semakin dilupakan.

Ngomong-ngomong soal operasi tumor Devlin sudah dilakukan seminggu yang lalu. Operasinya berjalan lancar dan sekarang sampai 2 minggu ke depan Devlin masih harus dirawat di rumah sakit untuk pemulihannya.

Selain itu Devlin perlu kembali diperiksa sehingga nantinya Dokter Kim bisa memutuskan apakah Devlin harus mengikuti kemoterapi lagi atau tidak.

Baekhyun pulang ke rumah hari ini dan Devlin dijaga oleh Luhan dan Sehun di sana, ia perlu mengambil beberapa pasang pakaian untuk salin Devlin selama di rumah sakit.

Tidak lupa juga mengambil beberapa mainan agar anaknya itu tidak bosan berdiam diri terus di atas ranjang.

Selesai berkemas Baekhyun memesan taksi secara online dan betapa terkejutnya ia mendapati Chanyeol di luar saat membuka pintu rumah.

“Mas Chanyeol? Ngapain?”

“Kemarin saya suruh tunggu sebentar, saya udah balik tapi kamu gak ada.”

Telinganya tidak salah dengar bukan? Nada bicara Chanyeol terdengar seperti orang yang sedang merajuk.

“Beruntung kamu lagi ada di rumah, saya sering bulak-balik ke sini tapi kamu tetep gak ada terus.”

“Saya beli mainan buat Devlin.” Pria tinggi itu menyodorkan kotak hadiah.

“Ambil.” Paksa Chanyeol dan Baekhyun langsung mengambilnya masih dengan ekspresi heran seperti kemarin saat bertemu.

“Devlin ke mana?”

Jantung Baekhyun berdetak cepat, sejujurnya ini yang Baekhyun takutkan. Takut Chanyeol bertanya dan mencari tahu tentang Devlin.

“Ke mana?”

Kenapa Chanyeol ingin sekali bertemu Devlin sih?

Sebenarnya mau Chanyeol itu apa? Mantan suaminya itu tidak pernah peduli pada anaknya bukan?

Kenapa Chanyeol tidak pernah puas menghancurkan hidupnya?

Masalah apalagi yang mau Chanyeol buat?

Baekhyun tidak mau kehidupannya terluka lagi. Cukup itu yang terakhir, Chanyeol yang mengamuk padanya sampai Devlin takut.

“Gak ada.”

“Maksudnya gak ada?”

“Dia aku titipin.”

“Ke day care?”

Sejenak Baekhyun tampak berpikir sampai akhirnya mengangguk.

Tin.. tin..

Taksi yang dipesan tadi sudah datang. Baekhyun membungkuk permisi.

“Tunggu!” Chanyeol menahan lengan kecil Baekhyun.

Baekhyun sudah bersungut kesal. Chanyeol maunya apa sih?

“Ini.”

Baekhyun merasa de javu pada keadaannya saat ini.

“Minggu depan saya sama Hani nikah. Dateng, ya?” Binar mata Chanyeol tampak berharap.

Baekhyun ingin sekali mengumpat, berteriak, dan menampar Chanyeol tapi ia urungkan.

Hatinya tiba-tiba sesak.

Devlin sedang sakit parah dan mantan suaminya akan menikah minggu depan.

Lagi-lagi Baekhyun merasa kecewa. Pertanyaan “Mau Chanyeol apa sih?” Berganti dengan “Tuhan maunya apa sih?”

Kenapa hidupnya tidak pernah jauh-jauh dari rasa sakit?

Tin.. tin..

Klakson mobil dibunyikan lagi. Sepertinya sang supir sudah tidak tahan menunggu.

Ia mengambil paksa kartu undangan pernikahan Hani dan Chanyeol dan berlari menuju mobil taksi.

“Saya tunggu kamu sama Devlin di sana.”

Baekhyun mendengus di dalam mobil. Ia merobek kartu undangan itu sampai tidak berbentuk.

“Cepetan, Pak!

Supir taksi melirik Baekhyun dari spion. Ingin bertanya apa yang membuat lelaki cantik itu menangis. Namun ia merasa tidak enak.

“I—iya..”

“Maaf kalau gak sopan tapi daritadi keliatannya gelisah gitu. Ada apa?”

“Ada yang ketinggalan?” Tanya Joo Hyuk memastikan.

Netranya bertemu pandang dengan milik Joo Hyuk lalu buru-buru Baekhyun alihkan menatap jalanan di depan.

“Keliatan gelisah, ya?”

“Hng?” Joo Hyuk menaikkan satu alisnya.

Baekhyun menghembuskan nafasnya perlahan,

“gak jadi. Bukan apa-apa, gak penting juga, Kak. Hehe.” Di akhir Baekhyun tersenyum manis sampai mata puppynya menyipit.

Dan pria di sebelahnya hanya mengangguk paham bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan.