Uhavecrushoncy

Ini adalah kontrol terakhirnya sebelum menikah.

Chanyeol yang ingin supaya saat mereka mengadakan acara pernikahan nanti kandungan Hani tidak bermasalah.

Setelah mengantar Hani pulang ia kembali ke kantor untuk bekerja lalu mengurus sisa-sisa urusan pernikahannya.

Sejauh ini tidak ada masalah, tegolong lancar malah. Persiapannya pun sudah 98% tinggal menunggu acaranya dalam waktu 10 hari lagi.

Chanyeol mengendarai mobil dengan santai dan tidak pernah terpikirkan akan melihat Baekhyun yang duduk sendiri di sebuah coffee shop.

Sudah lama tidak bertemu membuat Chanyeol meras pangling melihat penampilan Baekhyun sekarang.

Mobilnya ia putar balik, mencari tempat parkir lalu menghampiri Baekhyun.

Kedua ujungnya bibirnya terangkat, “Baekhyun..”

Yang dipanggil mendongakkan kepalanya.

“Selama ini kemana? Saya nyariin.”

“Kebetulan waktu itu emm— eh saya mau kasih ini. “

Baekhyun keheranan dengan tingkah Chanyeol yang mengobrak-abrik isi paper bag.

Pantas tidak ketemu karena mainan untuk Devlin kan hilang.

“Tunggu di sini. Saya pasti ke sini lagi, tunggu di sini ya jangan kemana-mana. Sebentar kok.” Ucap Chanyeol terburu-buru lantas berlari meninggalkan Baekhyun dengan tatapan aneh.

Kecepatan mobilnya ia naikkan. Matanya melirik kanan kiri berharap ada toko mainan di pinggir jalan.

Segera ia keluar dari mobil setelah melihat ada sebuah toko mainan dan memilih beberapa yang sekiranya Devlin akan suka.

Senyumnya masih bertahan, membayangkan bagaimana ekspresi Devlin saat tahu bahwa Daddynya memberikannya mainan.

Sudah dibilang, ia rindu pada anaknya bukan? Sayang sekali Baekhyun tidak bersama Devlin tadi.

Mobilnya kembali ia parkirkan. Chanyeol tidak sabar. Sungguh.

Ia pandangi terus kotak hadiah berukuran sedang yang dijinjing.

Semoga Dev suka sama mainannya.

Daddy kangen sama Dev.

Pandangannya terangkat dan seketika senyumnya luntur diganti dengan hati yang bergumul panas.

Tinggal 5 langkah lagi ia sudah sampai di hadapan Baekhyun tapi kini ia melihat seorang pria menjemputnya.

Mereka terlibat percakapan sebentar lalu yang lebih dominan membawakan belanjaannya, diikuti Baekhyun yang memasuki mobil pria tersebut.

Lagi?

Apa Baekhyun lupa tadi Chanyeol memintanya untuk menunggu?

Kenapa Baekhyun lebih memilih pria itu ketimbang dirinya?

Apa ucapannya memang tidak jelas jadi Baekhyun tidak mengerti?

Kenapa Baekhyun tega?

Ada hubungan apa Baekhyun dengan pria yang selalu bersamanya itu?

Kenapa Baekhyun meninggalkannya?

Baekhyun yang ia kenal tidak pernah begini. Baekhyun selalu menurut padanya, jika Chanyeol memintanya untuk menunggu pasti akan menunggu. Tapi kenapa jadi seperti ini?

Matanya memerah. Chanyeol tidak mengerti kenapa rasanya jadi kesal, dan ingin marah.

Amarahnya ia lampiaskan dengan memukul-mukul kemudi dan menendang pedal gas.

“Joo Hyuk sialan.”

Berita buruk.

Tumornya membesar dan dikhawatirkan akar-akarnya menyebarluas ke setiap jaringan otak. Hal itulah yang membuat Devlin sering mengalami pusing hebat dan mengerang kesakitan, seperti sekarang contohnya.

“Dev kangen Daddy.”

“Papa.. hiks Dev mau ketemu Daddy.”

“Kepala Dev pusing.. hiks— sakit, Dev mau ketemu Dad—ddy hiks.”

Devlin menangis keras, kedua tangannya menarik-narik rambutnya sendiri sampai banyak sekali rontokan rambut di atas bantal, kasur, dan selimut.

“Sayang tangannya lepas, ya? Dilepas yaa..” Baekhyun mencoba melepaskan cengkraman Devlin pada rambutnya.

Nihil, cengkramannya terlalu kuat. Sekali terlepas pasti langsung dicengkram lagi.

“Dev kalau gini tambah pusing sama sakit. Nurut sama Papa, dilepas ya sayang.”

“Pusing.. sakit..”

“Papa ajak Daddy main sama Dev ke sini.” Meski kesakitan Devlin tidak pernah lupa mengucapkan kata “Daddy”.

Sebegitu inginnya Devlin bertemu Daddy-nya?

Apa harus Baekhyun membawa Chanyeol ke sini?

“Pusing.. hiks, sakit.. Gak kuat.” Baekhyun semakin panik, ia langsung memencet tombol darurat yang ada di dinding.

Suster memegangi tangan kecilnya agar tidak banyak bergerak, sementara Dokter Kim menyuntikkan obat peredang nyeri.

“Usahain Devlinnya dibikin tenang supaya nanti waktu operasi gak ada masalah di tekanan darahnya.” Setelahnya mereka berdua pamit undur diri.

Syukurnya Devlin menjadi sedikit tenang meski masih menangis kecil.

Ia merapikan rambut anaknya yang berantakan. Sesekali tersenyum getir melihat rambut Devlin yang semakin tipis setiap harinya, bahkan di beberapa bagian ada yang botak.

Untungnya perkerjaanya minggu ini tidak padat dan model lain ada. Sehingga hari ini ia bisa fokus pada operasi Devlin yang dijadwalkan pukul 5 sore.

“Mau ketemu Daddy..”

Masih saja.

“Daddy suruh ke sini, Pa.”

“Dev gak takut lagi sekarang,”

“tapi bilang sama Daddy jangan marah-marah kayak waktu itu.”

Tentang permintaannya.. Baekhyun akan memikirkannya lagi nanti.

Devlin kejang.

Dokter beserta suster segera datang memeriksa tubuh kecil tersebut.

Lampu peringatan yang biasa terpasang di setiap ruang rawat inap menyala menunjukan warna merah, tanda keadaan sedang genting.

Baekhyun menangis dipelukan Luhan sementara Kai mengawasi dokter yang sedang melakukan tugasnya melalui pintu yang terdapat celah kaca transparan.

“Maaf gue telat.” Sehun datang dengan nafas yang tak beraturan.

“Dev pasti sembuh kan, Lu? Dia gak kenapa-kenapa kan?”

“Padahal tadi dia baik-baik aja. Kenapa bisa kejang?”

Semua orang di sana menunduk diam, tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut Baekhyun.

Baekhyun berdiri mendekati pintu untuk mengintip kondisi anaknya sekarang.

“Anak Papa kuat, ya. Kemarin kita udah berdoa sama Tuhan. Dev harus kuat.”

“B tenang.” Luhan menepuk pundak sempitnya.

Pintu terbuka menunjukkan para suster yang silih berganti memasuki kamar.

30 menit kemudian dokter keluar dan meminta Baekhyun mengikutinya ke ruangan dokter.

“Saya menyarankan Devlin untuk dirawat di sini supaya kita lebih mudah mengontrolnya jika terjadi apa-apa seperti tadi,”

“Dan saya sudah meminta suster membawa Devlin ke ruangan lain untuk melakukan pengecekan tumornya lagi. Seperti biasa hasil labnya minggu depan tapi saya usahakan secepatnya,” Dokter Kim tampak berpikir keras sebelum melanjutkan kalimatnya.

Sang Dokter menarik nafas dalam-dalam, “jika hasilnya buruk terpaksa harus dioperasi dan kembali melanjutkan kemoterapi.”

Pikiran Baekhyun kosong.

Menangis pun rasanya percuma, air matanya sudah habis. Kini yang bisa ia lakukan hanya mengangguk pasrah.

“Dev mau berdoa apa sama Tuhan?”

“Dev pengen mandi.” Baekhyun terkekeh sedikit mendengar permintaan anaknya yang ingin mandi.

“Dokter bilang Dev harus sembuh dulu baru boleh mandi.” Ia menahan sekuat mungkin agar tidak menangis.

Sorot mata Devlin beradu pandang dengan Baekhyun, “Dev pengen papa gak nangis lagi,”

“soalnya Dev suka sedih jadi pengen ikutan nangis.” Lanjutnya

“Papa bilang Dev harus kuat tapi Papa sendiri suka nangis.”

“Tuhan jangan bikin Papa nangis lagi.”

Lidahnya kelu, tidak tahu harus beraksi seperti apa. Ia berbalik memunggungi Devlin, menarik kuat nafasnya dan menghapus air mata yang jatuh secepat kilat.

“Dev juga pengen ketemu Daddy,”

Jantungnya berhenti berdetak beberapa saat. Ia lantas berbalik, kembali memandang anaknya yang terpejam dan kedua tangan mungilnya yang saling bertaut.

“tapi Dev takut.”

“Tuhan jangan bikin Daddy marahin Papa lagi. Amin.”

Anaknya, buah hatinya, dan harta satu-satunya yang paling berharga bagi Baekhyun.

Usianya masih 4 tahun tapi darimana Devlin bisa berdoa seperti itu. Bahkan anaknya tidak berdoa untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kedua orang tuanya.

“Dev jangan lupa minta sama Tuhan supaya Dev cepet sembuh.” Tangisnya yang sedaritadi ia tahan hancur

B-baek.

Baekhyun terdiam sebentar, mencerna intonasi Luhan saat memanggil namanya.

“Iya, Lu. Dimana?” Seolah mengerti dengan apa yang sedang terjadi Baekhyun langsung menanyakan keberadaan Luhan.

Rumah sakit biasa, di bagian ICU.

Lagi ditanganin dokter. Lo santai aja jangan buru-buru.

Bagaimana bisa ia bersikap santai sementara anaknya sedang berjuang melawan sakit.

Di sini ada Kai juga.

Dev pasti gak apa-apa. Devlin kuat kayak Papanya.

Senyuman tipis terpatri, ia merasa bersyukur ada Luhan yang selalu menguatkan dirinya.

“Kak Joo..” Suaranya bergetar.

“Kenapa? Dimana? Ayo buruan ke sana saya anterin.” Joo Hyuk langsung berlari meminta izin kepada direktur lalu kembali lagi.

“Baek, maaf. Kayaknya kamu harus pergi sendiri. Direktur cuma izinin satu orang.” Pria tinggi itu merasa bersalah padahal tadi dirinya sudah percaya diri akan mengantar Baekhyun.

Baekhyun mengangguk mengerti, ia menghampiri direktur untuk berpamitan.

Kai menyambar jas dan kunci mobil. Ia mengambil langkah lebar menuju basement.

Dalam hati mengucap banyak doa kepada Tuhan agar Devlin tidak apa-apa.

Pintu lift terbuka, Kai berpapasan dengan Chanyeol dan Hani.

“Kemana?” Tanya Chanyeol menghentikan Kai.

Kai menoleh lalu menatap tajam nan sinis mereka berdua.

“Kemana? Ini belum waktu makan siang.”

Ia menepis tangan Chanyeol yang mencengkram lengannya. “Apa urusan lo?”

“Halo?”

Kai, please lo dimana? Devlin makin-makin.” Mode pengeras suara tak sengaja Kai aktifkan.

“Udah di mobil, Lu. Tunggu sebentar lagi.”

“Ada apa sama anak gue?” Suara Chanyeol mengeras mendengar nama anaknya disebut.

Lo sama Chanyeol di sana?” Pertanyaan Luhan tidak Kai jawab, ia lebih memilih mematikan sambungan teleponnya.

Chanyeol masih bertahan menunggu jawaban dari Kai.

“JAWAB KAI!!”

Hani menciut menyadari ada aura tak mengenakan yang menguar di antara kedua pria tersebut. “Apa peduli lo?”

“Devlin udah bukan urusan lo lagi sekarang.” Kai melayangkan sebuah senyuman sinis kepada Hani yang daritadi menatapnya.

Dan Chanyeol ingin mengejar Kai tapi Hani terus menerus menahannya.

“Udah, Yeol. Biarin aja.”

Perkara hadiah mainan untuk Devlin saja Chanyeol sampai segininya.

Hari ini seharusnya ia lembur di kantor tapi demi menemukan mainan ia rela mengunjungi rumah Hani di waktu yang hampir tengah malam.

“Pasti ada di sana.”

“Bisa-bisanya kebawa.”

Khawatir. Takut Hani berpikiran macam-macam mengingat wanita itu sering curiga terhadapmya.

Chanyeol memasuki pekarangan rumah Hani. Ia mengernyit lampu ruang tamu terlihat masih menyala.

Pintu diketuk 3 kali dan seseorang memunculkan wajahnya di balik pintu.

“Kris?” Rahang Chanyeol mengeras.

Ada apa malam-malam begini Kris ada di rumah Hani?

“Siapa, Kris?” Hani mengintip dan langsung terkejut melihat Chanyeol yang menatap tajam ke arahnya.

“Maaf Yeol, lo pasti bingung. Malka abis main di rumah gue dan ini baru nganterin dia pulang.” Jelas Kris.

Ekspresi Chanyeol melunak mendengar penuturan Kris.

Tidak apa-apa. Baginya ia tidak perlu marah karena ini, ia tidak punya hak melarang Kris bermain dengan Malka, toh Kris adalah ayah kandungnya.

“Malka, Daddy pulang dulu, ya? Jangan nakal sama Mommy.” Kris berpamitan dan langsung pergi mengendarai mobilnya.

“Kok kamu gak bilang?”

“Gak bilang gimana sih, Yeol? Mana sempet aku bilang. Dari pagi gak ada mood main hp gara-gara ini.” Telunjuknya mengarah ke perut buncitnya.

Benar juga, semakin ke sini mood Hani semakin tidak karuan akibat bawaan hamil.

Paper bag lain ada kebawa di sini gak?”

Hani diam-diam berdecih mendengar kata paper bag.

Demi anak kandung sampe kayak gitu.

Anak kandungnya sendiri aja mana peduli.

“Hani?”

“Kalau ada udah aku kasih tau. Lagian paper bag apa? Penting banget sampe dicari segitunya? Jatoh kali atau kamu lupa nyimpen.”

“Mommy baju Daddy Kris ketinggalan.”

Bukannya tadi Kris pakai baju?

Kok bisa sampe ketinggalan?

Chanyeol mengusap wajahnya lalu menuju dapur dan mengambil air minum. Berusaha mengusir pikiran negatifnya.

“Kayaknya tadi Daddy Kris gak sengaja ninggalin baju. Bajunya juga kotor ini.” Hani meneliti baju milik Kris.

“Daddy Yeol tadi aku main kasir-kasiran sama Daddy Kris.” Malka bergelut manja dipelukan Chanyeol.

“Seru?”

“Seru dong.”

“Lebih seru mana main sama Daddy Yeol?”

“Mmm.. Daddy Yeol nomor satu, hehehe.”

Sudah tiga kali Chanyeol bulak-balik berkunjung ke rumah Baekhyun tapi hasilnya nihil.

Baekhyun dan Devlin selalu tidak ada di rumah.

Ia bertanya pada Luhan, Kai, atau Sehun tapi malah mendapatkan amukan yang Chanyeol sendiri tidak mengerti apa kesalahannya sehingga mereka seperti itu.

Baekhyun juga masih belum mengangkat telepon dan membalas pesan darinya.

Jika dihitung sekarang ini sudah ke empat kalinya Chanyeol di sini, di depan rumah Baekhyun dengan menjinjing paper bag yang berisi mainan untuk Devlin.

Apabila ia pulang sekarang takutnya Baekhyun sedang dalam perjalanan pulang. Jadi Chanyeol tetap menunggunya.

Jujur, Chanyeol merindukan Devlin.

Berminggu-minggu tidak bertemu membuatnya rindu pada anak kandungnya itu. Padahal dulu ia tidak pernah peduli dan merindukan Devlin.

Mengingat pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan membuatnya jadi tambah rindu.

Sayang sekali saat itu Devlin jatuh tertidur, entah apa yang terjadi. Jika saja Devlin bangun mungkin ia akan mengucapkan permintaan maaf karena membuatnya takut.

Pukul 8 malam.

Sebenarnya kemana sih mereka itu?

Chanyeol berdiri menuju mobilnya yang terparkir meninggalkan paper bag di atas kursi teras.

Mulai besok dan entah sampai kapan dirinya akan sibuk mengurus persoalan tentang pernikahannya dengan Hani.

Iya, mereka akan menikah karena usia kandungan Hani sudah memasuki 3 bulan dan perut buncitnya sudah semakin kelihatan.

Jadi, ini kesempatan terakhirnya memiliki waktu luang.

Chanyeol kembali mengambil paper bagnya takut-takut ada yang mengambil. Kan itu mainan untuk Devlin, pikirnya.

Lebih baik memberikannya langsung sekalian ingin mengucapkan maaf pada Devlin.

Chanyeol pulang ke rumahnya. Semoga saja nanti ada sedikit waktu luang atau ia akan berpapasan dengan Baekhyun dan Devlin di jalan. Meski harapannya sangat kecil.

Daddy kangen sama Dev.

Maafin Daddy, sayang.

Hatinya terus mengulang kalimat tersebut.

“Udah? Ada lagi?” Tanya Chanyeol pada Malka yang daritadi membawa kotak besar mainan ke sana kemari.

Pertanyaannya tak dijawab. Chanyeol maklumi karena sampai saat ini Malka kelihatan masih kebingungan.

Ia memilih untuk duduk di kursi sembari memperhatikan dari kejauhan dan sesekali memainkan ponselnya.

Merasa bosan pandangannya bergulir ke sebelah kanan tepat dimana mainan anak laki-laki berada.

Jika diingat-ingat Chanyeol belum memberikan hadiah untuk Devlin saat ulang tahunnya.

Anaknya itu lebih memilih dirinya sebagai hadiah ulang tahun tapi sayang Chanyeol tidak bisa datang karena harus menghadiri pentas ballet Malka.

Sebagai gantinya ia dan Baekhyun sepakat bertemu setiap hari Jumat untuk bermain bersama Devlin.

Chanyeol menunduk, kembali menyesali perbuatannya yang tidak bisa menahan emosi sehingga membuat jadwal main setiap hari Jumat itu tidak ada lagi sekarang.

Lebih parahnya anak kandungnya itu selalu ketakutan dan memalingkan wajah ketika melihat dirinya.

“Daddy Yeol sebentar lagi, ya. Aku masih bingung.”

“Iya, Daddy Yeol tunggu.”

Diam-diam merasa senang karena memiliki waktu memilih mainan untuk diberikan kepada Devlin.

“Daddy Yeol ke sebelah sini kalau udah samperin aja.” Chanyeol berdiri menuju mainan anak laki-laki.

Mainan mobil, hewan, atau robot?

Chanyeol bingung, ia tidak tahu apa yang disukai Devlin.

“Daddy Yeol aku udah.”

“Loh, udah lagi?”

“Itu buat siapa?” Tanya Malka menunjuk tiga set mainan yang berbeda di tangan Chanyeol.

“Ini buat anak—”

“Tuh kan! Pasti buat anak itu ya. Udah Malka bilang kalau Daddy Yeol cuma punya Malka. Daddy Yeol gak boleh beliin, simpen lagi!” Malka merebutnya lalu menyimpannya secara asal.

“Bukan, sayang. Ini buat anaknya temen Daddy Yeol besok ulang tahun.” Chanyeol mengambil mainannya kembali.

“Bener?”

“Beneran.”

Chanyeol meringis melihat Malka yang posesif seperti Hani. Untung saja dirinya pintar berbohong.

“Kok banyak-banyak ngasihnya?”

“Anaknya ada tiga. Yuk, ke kasir.” Ia mengatakan kebohongan lagi.

Mainannya akan diberikan pada Devlin hari ini. Barangkali Devlin tidak takut lagi padanya jika sudah disogok mainan.

Ya, semoga saja.

“Daddy Yeol cuma punya aku, inget janjinya.”

“Iya cuma punya Malka..”

“Malka sayang Daddy Yeol.”

“Daddy Yeol juga.”

Baekhyun dan Devlin tinggal di rumah Luhan untuk sementara karena jaraknya dengan rumah sakit dekat.

Selama Baekhyun bekerja Luhan akan menjaga Devlin begitu juga sebaliknya.

Seminggu yang lalu Devlin menjalani kemoterapi untuk yang pertama.

Sebenarnya ada 2 cara pengobatan, radioterapi dan kemoterapi tapi dokter menyarankan kemoterapi karena hasilnya lebih maksimal dibanding dengan radioterapi.

Uang gajinya tinggal sedikit dan tidak akan cukup untuk kebutuhan Devlin nanti.

Itu artinya Baekhyun harus bekerja lebih keras mencari pekerjaan part time yang mau menerimanya. Tidak masalah jika itu hanya sebatas cleaning service selama uangnya bisa didapat dan dikumpulkan.

Baekhyun merasa kecewa pada dirinya sendiri dan merasa gagal apalagi. Bisa-bisanya tidak menyadari ada benjolan yang tumbuh di samping kiri kepala anaknya.

“Papa, Dev mau mandi.”

“Kata dokter jangan dulu mandi, sayang. Gak papa, ya?”

“Tapi lengket.” Bibir mungil Devlin melengkung ke bawah.

“Lengket darimana, hm? Sini Papa pegang.” Baekhyun mengusap pelan setiap permukaan kulit halus Devlin.

“Ih gak ada tuh. Malah Papa cium-cium di sini wangi. Wangi stroberi. Tuh sini Papa cium lagi.” Baekhyun mengendus perpotongan leher, dada, dan berakhir ke perut yang sukses membuat Devlin tertawa kegelian.

“Geli.” Devlin mencoba menghentikan Baekhyun.

Baekhyun lupa bagaimana rasanya hidup tenang semenjak Devlin divonis tumor otak. Beruntung tingkahnya tadi berhasil membuat anaknya tertawa meski masih terdengar lemah.

“Papa lap sedikit aja, ya?” Baekhyun mengambil washlap basah yang sudah dicelupkan ke air hangat.

Selesai membersihkan tubuh Devlin ia menyisir rambutnya agar terlihat lebih segar.

Manik matanya terkejut bercampur lirih melihat helaian rambut yang rontok.

Efek samping kemoterapi.

Hatinya berdenyut sakit. Ini baru rambut yang rontok, belum lagi nanti efek samping lainnya..

“Papa udah selesai sisirnya?” Untungnya Devlin tidak menoleh dan fokus menonton kartun kesukaannya di tv.

Baekhyun buru-buru menghapus air matanya dan menyembunyikan helaian rambut tadi dibawah tisu.

Harus kuat demi Devlin. Jangan nangis Baekhyun.” Ucapnya dalam hati.

Dua minggu lagi anaknya harus kembali ke rumah sakit menjalani kemoterapi yang kedua.

Tungkainya beranjak membereskan peralatan yang dipakai tadi dan membuang tisu berisi rambut.

Hidupnya sekarang terlalu sibuk mengurus Devlin sampai tidak pernah mengecek banyak notifikasi yang masuk ke ponselnya.