Uhavecrushoncy

Calvin turun dari vespa birunya. Ia kemudian berjalan santai menuju warung ketoprak pinggir jalan.

Ketoprak Bu Ani memang selalu menjadi favoritnya setelah menyandang status sebagai anak kost. Rasanya tidak kalah jauh dari masakan Mamanya, ya hitung-hitung mengganti rasa rindunya akan masakan Mama.

Rokok elektrik dan botol kecil berisi cairan liquid ia masukkan ke dalam sakunya. Tak lupa rambutnya ia sisir ke arah belakang.

Tebar pesona.

Seperti yang ia bilang pada Ken. Hari ini ia bertekad ingin mencari pacar, bosan menjomblo terus.

Dari kejauhan ia bisa lihat warung ketoprak sedang ramai-ramainya, maklum mungkin masih pagi jadi banyak orang yang mampir untuk sarapan.

Calvin mengambil tempat duduk dekat Bu Ani. Lalu tangannya buru-buru menyuapkan sesendok ketoprak ke dalam mulutnya.

Mata terpejam dalam kenikmatan tiada tara dari ketoprak yang ia makan.

“Heleh. Dramatis.” Bahunya ditepuk oleh Bu Ani yang sudah menjadi ceesnya.

Calvin terkekeh, “juara! Tumben hari ini rame banget, Bu.”

“Iya alhamdulilah ini. Baru juga jam 8 udah mau abis.”

Chanyeol turun dari vespa birunya. Ia kemudian berjalan santai menuju warung ketoprak pinggir jalan.

Ketoprak Bu Ani memang selalu menjadi favoritnya setelah menyandang status sebagai anak kost. Rasanya tidak kalah jauh dari masakan Mamanya, ya hitung-hitung mengganti rasa rindunya akan masakan Mama.

Rokok elektrik dan botol kecil berisi cairan liquid ia masukkan ke dalam sakunya. Tak lupa rambutnya ia sisir ke arah belakang.

Tebar pesona.

Seperti yang ia bilang pada Ken. Hari ini ia bertekad ingin mencari pacar, bosan menjomblo terus.

Dari kejauhan ia bisa lihat warung ketoprak sedang ramai-ramainya, maklum mungkin masih pagi jadi banyak orang yang mampir untuk sarapan.

Chanyeol mengambil tempat duduk dekat Bu Ani. Lalu tangannya buru-buru menyuapkan sesendok ketoprak ke dalam mulutnya.

Mata terpejam dalam kenikmatan tiada tara dari ketoprak yang ia makan.

“Heleh. Dramatis.” Bahunya ditepuk oleh Bu Ani yang sudah menjadi ceesnya.

Chanyeol terkekeh, “juara! Tumben hari ini rame banget, Bu.”

“Iya alhamdulilah ini. Baru juga jam 8 udah mau abis.”

Dua hari berlalu dengan Kai yang masih saja bungkam tentang keberadaan Chanyeol di sini.

Kyungsoo sendiri tidak ia beritahu, apapun masalahnya ia hanya bercerita pada Luhan. Bukan apa, hanya Luhan yang lebih paham dan tahu kondisi Baekhyun.

Sedari kemarin hatinya dongkol juga merasa iba disaat yang bersamaan.

Kai tidak pernah membayangkan keadaannya menjadi semakin rumit.

Devlin, Baekhyun, dan Chanyeol sama-sama jatuh sakit dalam kondisi yang berbeda.

Mau menyalahkan Chanyeol.. tapi ia sadar ini tidak sepenuhnya salah Chanyeol.

Pagi ini Kai mengajak Devlin berjalan-jalan santai mengelilingi taman ruman sakit. Tentunya dengan Devlin yang menggunakan kursi roda.

Matanya mendelik sebal jika teringat Chanyeol yang sok kuat ingin bertemu Devlin dengan keadaan tubuh penuh luka.

Seperti saat ini contohnya, saat ia baru saja keluar dari toilet lalu disuguhkan dengan pemandangan Chanyeol yang menarik tiang gantungan infus.

Tubuhnya ia senderkan pada daun pintu. Kali ini ia membiarkan Chanyeol menghampiri Devlin. Mau melihat sejauh mana si brengsek Chanyeol berjuang demi sang anak.

Devlin belum menyadari keberadaan Chanyeol disampingnya karena anak itu fokus mengutak-atik mainan rubik.

Tangan kanannya terulur ragu, namun buru-buru Chanyeol tarik sebelum menyentuh kepala Devlin.

Belah bibirnya terbuka, dari kejauhan Kai bisa melihat bahwa bibirnya gemetar saat akan mengucapkan nama Devlin.

“De—”

Masing-masing kedua matanya bertemu.

Mata sebening kristal itu mengerjap menatap postur tinggi dihadapannya.

Hal itu membuat sudut bibir Chanyeol tersenyum sumringah. Chanyeol langsung berlutut, mensejajarkan tingginya dengan sang anak.

“Anak Daddy, hm?” Ia mengenggam tangan kecil Devlin yang sama-sama terinfus jarum suntik lalu mengusapnya pelan.

“Anak Daddy ulang tahun hari ini.”

“Daddy dateng ke sini.”

“Maaf bikin Dev nunggu lama.”

“De—”

“Siapa?” Pertanyaan polos keluar, tak ayal membuat Chanyeol sendiri kebingungan dengan pertanyaannya.

“Hm?”

Uncle siapa?

Apa maksudnya? Uncle? Chanyeol ini Daddynya, bukan?

“Kenapa banyak plester sama perban di sini?” Devlin menunjuk bagian-bagian luka yang berada di tubuhnya.

“Sakit?” Devlin berekspresi sedih melihat kondisi Chanyeol.

Uncle harus nurut sama Papa biar cepet sembuh.”

Pandangannya bertubrukan kembali. Chanyeol menyelam, menelusuri tatapan polos nan kosong yang Devlin berikan padanya.

Tidak mungkin jika ia salah orang.

Dihadapannya sudah jelas Devlin, Chanyeol masih ingat rupa anaknya.

Uncle kenapa?”

Kepalanya menggeleng tidak percaya, tubuhnya bangkit sembari terus bersitatap dengan mata si pemilik mata sebening kristal.

“Kenapa?”

“I-ini Daddy!”

“Dev, anak Daddy.. ini Daddy bukan uncle.”

“Dev gak mungkin lupa sama Daddy.”

“Daddy di sini temenin Dev yang lagi ulang tahun.”

Chanyeol kembali bersimpuh. Air matanya bercucuran bersamaan dengan setiap kata yang ia ucapkan.

“Maaf.”

“Maaf bikin Dev nunggu lama.”

“Dev marah sama Daddy, hm?”

“Maaf.”

Dirinya ingin sekali membawa tubuh Devlin kedekapannya, namun ia terlalu takut.

“Jangan marah lagi sama Daddy.”

“Daddy di sini sama Dev sekarang.”

“Udahan ya marahnya? Daddy minta maaf.”

“Dev lagi bercanda ka— uhuk uhuk.” Chanyeol terbatuk karena berbicara terlalu cepat.

“Daddy siapa? Dev gak tau.”

Sakit.

Hatinya tersayat.

Lukanya bertambah berkali-kali lipat.

Batinnya berteriak sekeras mungkin. Dadanya sesak mengetahui sang anak yang tidak mengenali dirinya.

Uncle gak boleh nangis.”

“Kata Papa anak laki-laki harus kuat.”

“Dev gak pernah nangis.”

Melihat interaksi memilukan itu Kai langsung bergegas menghampiri mereka.

“Yeol.” Serunya.

“Kai.” Chanyeol berbalik menghadap Kai.

“Kenapa?”

“Dev kenapa?”

“Kenapa Dev ma-manggil gue uncle?”

“Yeol.. tenang. Lo berdiri jangan gini.” Kai membantu Chanyeol untuk bangun dari posisi berlutut.

Ia meminta Devlin untuk kembali fokus bermain rubik sementara dirinya akan berbicara dengan Chanyeol.

Kai memilih serta menyuruh Chanyeol duduk di bangku taman. Setelahnya ia mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Devlin.

Selama Kai menjelaskan mata bulat Chanyeol tidak pernah lepas memandangi sang anak.

“Di kasus Dev tumor otaknya itu berpengaruh ke daya ingat. Dan hasil CT scan kemarin tumornya udah mulai nyebar ke saraf-saraf otak. Jadi, udah gak memungkinkan buat dioperasi lagi karena bisa ngebahayain Dev.”

Sorry Yeol.”

“Gue gak nyangka bakal separah ini.”

Uncle itu apa?” Seruan Devlin terdengar. Chanyeol langsung bangkit menghampiri anaknya.

“Ini apa?”

Lirikannya turun mengikuti arah telunjuk Devlin yang menunjuk plastik yang Chanyeol jinjing daritadi.

“Mobil?”

“Mainan mobil polisi tapi udah rusak.”

“Kenapa?”

“Jatuh, Dad— uncle gak sengaja jatuhin.” Nafasnya tercekat saat harus menyebut dirinya sendiri uncle.

“Ini buat Dev?”

“Iya, hadiah ulang tahun Dev dirusak sama uncle.”

“Gak apa-apa..” Devlin meraih plastiknya dari tangan Chanyeol, lalu membukanya.

Chanyeol diam.

Ia tidak sanggup untuk berkata. Lukanya semakin menganga lebar jika ia berbicara.

“Nanti Dev minta Daddy benerin.”

Ucapan Devlin lantas membuatnya terkejut. Seperti ada kupu-kupu berterbangan yang menggelitik hatinya.

“Daddy Joo nanti benerin buat Dev.”

Baru saja Chanyeol mau berharap.

Kenyataan pahit lagi-lagi menghantam hatinya.

Uncle jangan dulu pergi.”

“Di sini main sama Dev sambil nunggu Daddy sama Papa. Daddy lagi anterin Papa terapi.”

Sekarang apa lagi?

Baekhyun terapi?

Supir truk yang menabraknya kabur.

Kedua matanya ia pejamkan.

Rasa panas dan sakit yang ia rasakan semakin menyengat tubuhnya.

Maunya ia menyerah saja karena tidak tahan sebab harus merasakan kesakitan untuk yang ke dua kali.

Saat itu ia tertembak sampai koma, dan sekarang ia tertabrak sampai terpental. Jaraknya hanya terjadi dalam 3 bulan, bukan?

Tubuhnya masih bergeming. Membiarkan orang-orang semakin ribut mengerumuni dirinya yang mengenaskan.

Chanyeol menggeram lemah. Belahan bibirnya ia tarik ke dalam, lalu digigit kuat untuk menahan rasa sakitnya.

Payah.

Park Chanyeol payah.

Kesakitan yang sekarang dirinya rasakan tidak berarti apa-apa dengan kesakitan yang anak dan Baekhyunnya rasakan.

Bodoh.

Ini bukan waktunya untuk menyerah.

Lagipula jika Chanyeol menyerah memang siapa yang akan menolongnya? Tidak ada.

Ia tidak punya siapa-siapa.

Tentu. Ia masih ingat bahwa dirinya harus berjuang.

Devlin pasti menunggunya,

maka dari itu matanya terbuka perlahan, sinar matahari menyorot terlalu dalam hingga matanya menyipit.

Tubuhnya dipaksa untuk bangkit padahal wajah, kepala bagian belakang, serta tangan dan kaki kirinya terluka parah.

Bola matanya bergerak mencari backpack dan tas jinjingan yang tadi ia bawa.

Chanyeol menatap perih tas jinjing yang berkali-kali dilindas kendaraan.

Hadiahnya remuk.

Sedangkan backpacknya selamat sebab posisinya ada di bahu jalan raya.

Chanyeol meringis sakit ketika akan berjongkok untuk mengumpulkan sisa-sisa remukan ke dalam jinjingan.

Maaf Dev hadiahnya rusak.

Maaf..

Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Chanyeol segera mengusapnya cepat, ia tidak ingin terlihat menyedihkan.

Chanyeol menyetop taksi dengan baju yang kotor dan penuh darah.

Telinganya seakan tuli. Ia mengacuhkan orang-orang yang berteriak memanggil dirinya agar diam karena akan ada mobil ambulans yang datang.

Sang supir taksi sempat terkejut melihat kondisi Chanyeol, namun ia tidak berani banyak bertanya karena tugasnya hanya mengantarkan penumpang ke tempat tujuan.

Sesampainya di rumah sakit Chanyeol langsung memasuki lobby. Mencari informasi di mana anaknya itu dirawat.

Devlin. His name is Devlin Park. He underwent treatment for a brain tumor and was treated here. He's my son..

Sir, you should be treated first because you are seriously injured.

I just want to meet my son. I don't care about my condition.

I understand but you should be treated first. So that it doesn't get worse.

Please don't make it difficult. Once again, I just want to meet my son. He's been waiting me for so long.” Ucapnya mutlak.

Lima menit berdiskusi petugas pun mengantarkan Chanyeol ke tempat di mana Devlin berada.

Bukan tanpa alasan, dua petugas hanya berjaga-jaga jika nanti takut terjadi sesuatu pada Chanyeol.

Chanyeol mengeratkan genggamannya pada tas jinjing.

Perasaanya campur aduk. Tidak percaya jika pertemuan dirinya dengan Devlin akan terjadi beberapa menit lagi.

Ia mengeluarkan sehelai baju dari backpacknya untuk menahan darah yang terus keluar dari kepalanya.

Ia juga mengelap bagian luka di wajahnya yang penuh darah dengan perlengkapan seadanya. Hal ini ia lakukan agar ia terlihat baik-baik saja saat Devlin melihatnya, padahal sebenernya tidak demikian. Mau seberapa ia mencoba mengelap tetap saja lukanya belum sembuh.

Selama perjalanan langkahnya beberapa kali berhenti bahkan sempat terjatuh akibat tidak tahan akan rasa sakit di tubuhnya.

Petugas mencoba membantu tapi Chanyeol menepis halus, “it's okay. I'm fine.. I can do it alone.” Tangannya bertopang pada dinding lalu perlahan bangkit kembali.

Pendiriannya masih tinggi.

Kalimat tentang anaknya yang kuat seperti dirinya berhasil menjadi motivasi tersendiri.

Chanyeol melanjutkan langkahnya dengan membiarkan rasa pusing disertai nyeri yang kembali menyerang.


Kemarin ada salah, harusnya pake bahasa Inggris tapi malah pake bahasa Indonesia pas bagian dialog orang lain bilang “Hey minggir.” Wkwk.

Gak apa-apa kan banyak narasi hehe.

Bagian ini berkali-kali aku revisi makanya lama update 😂

Kalimatnya gak enak dibaca.

Alurnya kurang pas.

Dll.

Maaf kalau Bahasa Inggriskuuuu salah dan jelekk 😫👎

Makasih yang udah nungguin ❤️

Minta feedbacknya boleh ya? 🥺👉👈

Layar ponsel menunjukkan panggilan tidak lagi terhubung.

Chanyeol tidak tahu apa yang terjadi. Seingatnya tadi ia hanya menyebut nama Baekhyun lalu terdengar suara seperti barang yang dilempar keras.

Ia membenarkan posisi backpack besar yang disangkut di bahu kirinya. Matanya melirik ke sana kemari mencari plang arah rumah sakit di mana anaknya berada.

Semua informasi mengenai Baekhyun dan Devlin ia dapatkan meski harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar seorang pelacak.

Harusnya hari ini Chanyeol mencari tempat untuk beristirahat dulu tapi menurutnya itu terlalu buang-buang waktu. Ia ingin segera menemui anaknya.

“Demi Devlin.” Ucapnya dalam hati. Kaki jenjangnya mengayun menyeberangi zebra cross menuju halte tempat pemberhentian bus atau taksi.

Binar kebahagiaan terpancar di matanya. Hari yang Chanyeol tunggu tiba karena lusa sudah memasuki hari ulang tahun Devlin. Chanyeol tidak sabar untuk itu, ia juga sudah menyiapkan hadiah untuk Devlin di dalam totebag yang ia jinjing.

Daddy besok ke sini lagi, main sama Dev.

Ucapan Devlin terlintas dipikirannya. Chanyeol tahu ia sangat terlambat dan tidak menepati janjinya.

Besok Daddy ke sini? Dev tunggu!

Beberapa detik kemudian Chanyeol menggertakan giginya kesal. Lagi-lagi teringat ucapan Devlin pada Joo Hyuk.

Chanyeol tidak akan membiarkan Joo Hyuk mengambil alih posisinya.

Ya, harus.

Kali ini ia akan berjuang membahagiakan Devlin.

Tidak ada lagi Chanyeol yang menyia-nyiakan waktu, tidak ada lagi Chanyeol yang acuh, dan tidak ada lagi Chanyeol yang memprioritaskan hal lain selain anaknya.

Dev gak apa-apa Daddy.” Kedua sudut bibirnya tertarik. Chanyeol yakin Devlin baik-baik saja saat ini sebab anaknya itu kuat seperti dirinya.

TINN!! TINN!!

“Hey, minggir!!” Seseorang berteriak dari arah depan.

Belum sempat Chanyeol mencari arah suara, tubuhnya sudah terpental jauh dari jalan yang ia sebrangi tadi.

BRAKK!

Tubuh bagian kirinya terhantam mobil truk.

Barang bawaannya terlepas dari tubuhnya.

Kepala bagian belakang beberapa kali menghantam benda tajam, tubuhnya berguling dua kali ke bahu jalan, dan berakhir dengan wajah yang menggesek jalanan beraspal.

Suara teriakan orang-orang berdengung keras di telinganya.

Binar mata yang memancar kebahagiaan tadi mengerjap, ia memperhatikan langit Singapore yang sedang cerah-cerahnya hari ini.

Nafasnya berhembus pelan menyambangi rasa sakit yang mendera.

“Arghh.”

Rasanya sangat pusing.

Pandangannya mengabur sehingga tidak bisa melihat dengan jelas orang-orang yang mulai mengerumuninya.

“Halo, Kak Joo..”

“Baekhyun.”

”...”

Selama 5 detik panggilan berlangsung hanya terdengar deru nafas tidak beraturan di sana.

Hatinya bergemuruh hebat.

Baekhyun tahu pemilik suara berat tersebut.

Park Chanyeol.

Seseorang yang banyak menoreh luka di hidupnya sampai ia memiliki trauma.

Ponselnya ia lempar keras ke lantai sampai Kyungsoo juga Kai yang berada di luar terkejut dan langsung memasuki kamar rawat.

Kyungsoo segera membawa tubuh Devlin ke pelukannya, melindungi Devlin dari Baekhyun yang sedang dalam mode histerisnya.

“Papa..”

“Soo pegang Devlin kuat-kuat.” Perintah Kai.

Baekhyun berteriak histeris. Semua benda di sekitar menjadi sasarannya karena sang anak tidak bisa ia raih.

“Papa..” tangisan Devlin menguar menyebut Papanya.

“Papa kenapa hiks..”

“Sssttt... Sayang gak apa-apa. Papa Baekhyun baik-baik aja.” Kyungsoo menutupi kedua telinga Devlin.

“Dev tutup mata sama telinga, ya.” Ucapnya sembari berbisik.

“Tolong!”

“Lepasin!”

“Enggak! Jangan. Jangan!”

“Devlin, Papa di sini!”

“Lepasin jangan ambil Devlin.”

“Tolong jangan ambil Devlin!”

“Tolong!”

“Enggak! Gak mau. Gak mau.”

“Lepasin, sakittttt!”

“Dev anak Papa!!”

“Anak Papa..”

“Pijit tombol darurat, cepet!” Sentak Kai sedikit berteriak sebab Kai mulai kewalahan menahan tubuh Baekhhun yang berusaha keras melepaskan diri.

“Lepasin, tolong lepasin!” Pergelangan tangannya memerah akibat dari perlawanannya sendiri.

Pikirannya kacau.

Bayangan-bayangan menakutkan beberapa bulan lalu memenuhi otaknya.

“Jangan sakitin Dev!”

“Jangan tembak lagi. Jangan!”

Dokter beserta dua orang suster datang membawa peralatan medisnya.

Tubuh Baekhyun terkunci dengan keadaanya yang masih menangis. Tenaganya sudah habis terbuang sehingga tidak bisa menepis cengkraman kuat di lengan bagian kanannya.

“Papa!”

“Papa lagi diobatin dokter sayang. Dev jangan nangis.”

“Anak baik, jagoan Papa gak boleh nangis.” Ibu jari Kyungsoo menyeka pelan air mata yang berjatuhan di kedua sudut mata Devlin.

“Takut.”

“Papa lagi kaget tadi. Tuh Papa sekarang tidur. Dev juga tidur, yuk?”

“Iya.”

“Ini Papa?”

“Iya ini Papa, Dev..”

“Ini Daddy?”

Baekhyun melirik Joo Hyuk sebentar lalu mengangguk ragu.

“Iya ini Daddy.”

“Kemarin Dev minta bawain Iron Man. Ini Iron Man-nya.. janji ya harus cepet sembuh, hm?” Robot Iron Man yang masih terbungkus kemasan Joo Hyuk buka perlahan.

“Dev gak minta.”

“Hm?”

“Gak minta mainan.”

“Iya, Dev gak minta.. ini ngasih kok.” Joo Hyuk menanggapi ucapannya dengan lembut dan tidak memaksakan Devlin untuk mengingatnya.

“Dev suka gak sayang?”

“Mainannya bagus jadi Dev suka. Makasih Daddy!” Iron Man-nya dipeluk erat.

Baekhyun mundur membiarkan Joo Hyuk bermain dengan Devlin. Ia menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan anaknya yang tertawa memainkan robot dengan gerakan menyerang.

“Iron Man kuat. Dor! Dor!”

“Jangan nyerang Dev.”

“Ninu! Ninu! Ninu! Mobil pemadam kebakaran datemg bantuin..”

“Iron Man-nya cape katanya, Daddy jangan nyerang dulu. Kasian.”

Bayangan Chanyeol dan masa lalu menghantui pikirannyaa.

Baekhyun selalu merasa tidak aman tiap kali mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Chanyeol.

Jantung berdebar kencang, keringat dingin bermunculan di dahi juga pelipisnya, tidak peduli meski sudah diseka tisu pasti selalu kembali muncul.

Kenapa dari sekian banyak mainan harus Iron Man terus yang Dev katakan? Bukankah ingatan anaknya itu terganggu tapi kenapa tidak bisa melupakan Iron Man?

“Hhh.”

“Kenapa, Baek?” Hembusan nafas Baekhyun yang lumayan keras membuat Joo Hyuk mendekatkan diri.

Matanya meneliti setiap gerak-gerik Baekhyun.

“Udah minum obat?”

Baekhyun menggeleng.

Pantas.

“Air minus abis? Saya beli dulu ke luar. Tunggu sebentar.”


“Eh mau ke mana?” Kyungsoo mencegat Joo Hyuk yang baru saja keluar dari kamar rawat.

“Oh ini mau beli air minum, udah abis.”

“Kambuh lagi?”

“Kayaknya iya, dia keliatan gak tenang daritadi.”

“Kai! Bangun deh jangan tidur terus, Baekhyun kambuh.” Dengan sekuat tenaga Kyungsoo menggeplak mulut Kai yang terbuka lebar, kebiasaannya saat sedang tidur.

Kai terlonjak dan buru-buru merapikan rambut serta mengusap wajahnya.

Sedangkan Joo Hyuk meringis, sedikit merasa kasihan melihat Kyungsoo membangunkan Kai dengan cara seperti itu.

Sedang enak tidur diganggu, pasti itu menyebalkan.

“Huh? Mana? Di mana? Di mana hantunya?”

Lah.

“Ngaco! Beliin air minum sana gih!”

“Eh gak apa-apa, biar saya aja. Lagian Baekhyun cuma keringet dingin gitu dia gak histeris atau semacamnya.”

“Beneran?” Kyungsoo tidak yakin sebab ia tidak bisa melihat Baekhyun dengan jelas dari luar.

Sekarang Baekhyun selalu melarang siapapun untuk masuk terkecuali Joo Hyuk. Aneh.

Syukurnya Baekhyun dikelilingi orang-orang yang baik. Semua temannya mengerti dan tidak akan memaksa jika belum mendapat izin dari Baekhyun.

Kepindahan Devlin ke Singapore pun bukan tanpa alasan. Setelah sadar dari operasi pengangkatan peluru di bahunya, Baekhyun langsung menangis histeris.

Dokter bilang Baekhyun mengalami trauma berat, selain itu banyak masalah yang terjadi sehingga membuat pikiran dan kesehatan mentalnya tidak stabil.

Menurut Kai, semua ini gara-gara si tolol Park Chanyeol.

Jadi, Kai mengusulkan membawa pergi Baekhyun dan Devlin menjauhi semua hal yang bisa membuat kondisi keduanya semakin buruk.

Juga rumah sakit di Singapore lebih lengkap dan kualitasnya terjamin bagus untuk pengobatan tumor.

“Iya. Tenang aja saya jagain.”

“O-oke, nanti sore temenin gue anter Baekhyun terapi. Jaga-jaga takutnya Baekhyun histeris.”

“Iya. Saya beli dulu air minum. Permisi.”

Kyungsoo memandang kepergian Joo Hyuk lalu melihat Kai yang tanpa sadar sudah kembali jatuh tertidur.

“Sok-sokan bilang mau jaga Baekhyun tapi kenyataan tidur mulu.” Protesnya.

Kemudian dirinya berjinjit mengecek Baekhyun tetapi yang terlihat hanya Devlin yang sedang sibuk memainkan mainannya.

Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang membuat Baekhyun seperti ini. Padahal tidak ada keberadaan Chanyeol di sini.

Kali ini Chanyeol harus mengorbankan rasa gengsinya yang tinggi. Keinginannya bertemu sang anak sangatlah besar. Jadi ia pergi menemui Jo Hyuk di gedung NNG Ent. untuk mencari informasi tentang Baekhyun.

Beruntung ia menemukan sosok yang ia cari di basement sedang berdiri menunggu lift yang terbuka.

Besok Daddy ke sini? Dev tunggu!

Daddy?

Daddy siapa?

Bukankah Daddynya itu seorang Park Chanyeol?

Kenapa Devlin memanggil orang lain dengan sebutan Daddy?

Devlin miliknya. Tidak boleh ada seorang pun yang menggeser posisinya sebagai Daddy.

Baekhyun menikah lagi?

Jangan tanya bagaimana perasaan Chanyeol sekarang. Hatinya bergejolak panas.

Bisa-bisanya orang lain lebih tahu tentang anaknya dibanding dirinya.

Bisa-bisanya pula Baekhyun menikah lagi saat Devlin sedang sakit parah.

Menjijikan.

Wajah yang memerah nan menyeramkan, kedua alis menyatu, kedua tangannya saling terkepal dan merasa gatal ingin menghajar Joo Hyuk.

Daddy cepetan ke sini nanti main bareng sama Dev. Main robot Hulk!

“Iron Man sayang..”

Hulk.

“Anjing!” Chanyeol mengumpat.

Harusnya itu dirinya bukan Joo Hyuk.

Devlin selalu menunggunya bukan Joo Hyuk.

Kenapa?

Chanyeol dibuat tidak mengerti, rasanya ingin mengembalikan waktu pada saat ia berjanji pada Devlin akan menjenguknya tapi ia malah memilih membereskan urusannya dulu bersama Hani.

“*Kak Joo safe flight, ya.. maaf aku ngerepotin*”

Emosinya buyar seketika saat mendengar suara lembut Baekhyun.

Baekhyun baik-baik saja.

“Ok. Jangan lupa minum obat, Baek. Eh? Oh.. udah mati.”

Suasananya lumayan sepi dan juga ini tempat tertutup sehingga telinganya bisa mendengar jelas percakapan yang menyebalkan tadi.

Chanyeol mengernyit tidak suka. Sudah perhatian kepada Devlin sekarang perhatian juga kepada Baekhyun. Amarah perlahan mulai menguasi tubuhnya.

“Sampah.” Kakinya maju beberapa langkah mendekati Joo Hyuk yang membelakangi dirinya.

BUGH!

“Woy!” Joo Hyuk jatuh terkejut mendapatkan tinjuan yang tiba-tiba.

Ia bangkit lalu membalas apa yang Chanyeol lakukan tadi.

BUGH!

Mereka sama-sama pria dominan yang memiliki ego tinggi.

Masing-masing merasa tersinggung.

Chanyeol yang tidak terima,

Joo Hyuk yang merasa harga dirinya diinjak karena diperlakukan seperti itu.

“Dimana Devlin?”

“Jawab anjing! Dimana Devlin?”

Sorry?

Chanyeol tipikal orang yang tidak suka basa-basi, ia menarik kerah kemaja yang dikenakan Joo Hyuk lalu menghajarnya habis-habisan.

“DIMANA ANAK GUE?” Tanyanya sekali lagi sembari menatap Joo Hyuk yang menyeka darah yang timbul di sudut bibirnya.

Lawannya tersenyum meremehkan.

“BISU LO SIALAN!” ​

“Tch.”

Rupanya image Joo Hyuk yang sopan saat terakhir kali bertemu sudah hilang.

“Buat apa?”

“AP—”

“Lo kemana dulu waktu Devlin nunggu?”

“Sekarang lo pengen temuin dia. Ck. Percuma.”

Tubuh ringkih Joo Hyuk dipaksa bangun oleh Chanyeol, “lo cuma orang lain. Gak usah ikut campur!”

BUGH!

Satu tinjuan keras Chanyeol beri untuk yang terakhir sampai targetnya mengaduh kesakitan kali ini.

“Singapore.”

”...”

“Apa? Udah gue kasih tau Singapore.”

“LEBIH JELAS LAGI!”

“Lo cuma nanya di mana bukan rumah sakit mana. So, cari tau sendiri.”


Emm... Gimana?

Di nomor 254 ada lirik yang salah. Harusnya You'll tapi aku malah nulis You're 😃

Aku udah balik ke rumah dari kemarin.. cuma gak tau aja jadi males update 😭😭😭

Hilang inspirasi dan mendadak insecure.

Semenjak pemeran Hani dipenjara jadi sepi gitu lohh jadi beda vibes (( apa sih?? ))

Jadii gak greget lagi gitchuu.

Ngerasa gak seru aja sksksksk.

Soal kondisi Baekhyun nanti aku kasih tau penjelasannya hehe tenang.

Makasih buat readers yang setia nungguin aku update, huhu. Terharuu 😭😭😭❤️

Makasih juga yang selalu qrt setiap aku update.. percayalahh ituu bikin aku semangat ^^

Makasih juga semuanyaaa yang udah baca AU-ku ❤️

Jika Kai bilang “Urusan gampang” itu berarti benar-benar urusan gampang.

Sebab ia tahu siapa orang yang bisa membuat Baekhyun tenang.

“Besok Daddy ke sini? Dev tunggu!” Ada anak kecil bersorak senang di sana.

Tubuhnya masih banyak ditempel peralatan medis, selang oksigen berganti dengan nebulizer sebagai alat bantu pernapasannya.

“Iya besok ke sana.”

“Dev mau dibawain apa?”

“Robot Iron Man!”

“Ada lagi?”

Yang ditanya sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia mau.

“Mmm.. gak ada.”

“Ok! Nanti dibawain. Dev harus nurut sama Papa di sana, ya?”

“Papa? Siapa?”

“Papa Baekhyun.”

“Oh iyaa, Dev nurut terus sama Papa.” Mata puppy turunan Papanya mengerling.

“Daddy cepetan ke sini nanti main bareng sama Dev. Main robot Hulk!”

“Robot Iron Man sayang..”

“Hulk.”

“Iron Man loh.. tadi mintanya robot itu bukan Hulk.”

“Robot Hulk, Dad..” suaranya mulai merengek, kekeh dengan sebutan Hulk bukan Iron Man.

“Iya iya robot Hulk.. sekarang Dev tidur, ya? Daddy mau ngobrol sama Papa.”

“Iya, Papa.. ini Daddy..”

Seseorang mengambil alih ponsel lalu berpindah tempat menjauhi posisi Devlin.

“Maaf Kak Joo.”

“Gak apa-apa, Baek. Saya ngerti.”

Selama percakapan Devlin dengan Joo Hyuk tadi, Baekhyun terus mengigit bibirnya lantaran merasa tidak enak sekaligus canggung Devlin menyebut Joo Hyuk dengan panggilan Daddy.

“Mmm.. iya, Kak.”

Video callnya matiin, Baek. Devlin keliatan ngantuk tadi takutnya saya ganggu dia.”

Baekhyun mengangguk, “Kak Joo safe flight, ya.. maaf aku ngerepotin.” Setelahnya layar ponsel menghitam tanda sambungan sudah terputus.

“Papa..”

“Papa?”

“Papa Baekhyun.”

“Iya sayang Papa di sini.”

“Daddy namanya siapa?”

“Dev udah nanya berkali-kali loh..”

“Daddy Jae? Do? Joo?”

“Joo.. Joo Hyuk namanya. Tidur, ya? Papa usapin punggung Dev.”

Netranya menatap lekat wajah sang anak yang mulai terpejam, mulutnya terbuka mengalunkan lullaby dengan suara yang merdu dan menenangkan.

“You're my sunshine..”

“My only sunshine..”

“You make me happy, when skies are gray.”

“You're never know dear, how much i love you.”

“Please don't take my sunshine away..”

Baekhyun terlalu takut membayangkan hari esok.

Fase itu sudah datang..

Tumor otak membuat Devlin kehilangan ingatannya, meski tidak sepenuhnya hilang tapi itu sudah membuat hati Baekhyun sesak.

Ia tidak menyalahkan takdir.

Ia menerimanya dengan ikhlas, namun hanya satu yang tidak bisa diterima,

Tidak apa-apa jika Devlin melupakan banyak ingatan asalkan jangan melupakan dirinya sebagai Papanya.

Mau marah tapi tidak bisa.

Setiap detik Baekhyun harus menerima pertanyaan menyakitkan ketika Devlin mulai bertanya siapa dirinya.

“Please.. don't take my sunshine..” satu kata terakhir dari lirik lagunya hilang termakan isak tangis.

“Away..”

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.

Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan.

Chanyeol membanting ponselnya ke atas ranjang dengan perasaan kesal.

Sudah seminggu berlalu ia mencoba menghubungi semuanya namun selalu seperti itu. Sekalinya aktif tidak ada yang mengangkat.

Keinginannya sederhana, ingin bertemu sang anak—

juga Baekhyun, tetapi kenapa semua orang selalu mempersulitnya?

Hari ini tanggal 12 April, berarti 12 hari lagi ulang tahun Devlin yang ke-5.

Chanyeol ingin bertemu sebelum hari ulang tahunnya.

Chanyeol ingin datang lalu bermain bersama Devlin saat hari ulangtahunnya.

Rasanya menyesakkan.

“Maaf sayang.”

“Maaf dulu gak pernah ada waktu buat main sama Dev.”

Sudah salah juga bodoh.

Dulu ia menyia-nyiakan waktu yang ada, mengabaikan permintaan Devlin, meninggalkan Devlin di tempat umum seorang diri, bahkan ia telat mengetahui Devlin sakit.

Waktunya selalu dihabiskan bersama Hani, memberi banyak perhatian dan kasih sayang kepada Malka, serta menuruti semua kemauan ibu dan anak tersebut.

Sekarang ketika semua kebusukan Hani terbongkar Chanyeol menyesal. Sekedar ingin bertemu dan mengobrol pun susah. Ada Kai yang selalu menghalanginya, ada Baekhyun yang saat itu hanya memberinya waktu 15 menit, ada pihak rumah sakit yang menolak memberi tahu detail riwayat penyakit Devlin, lalu nanti apa?

Ia memandang lirih seraya mengusap layar ponsel yang menunjukkan wajah Devlin sebagai wallpapernya.

“Dev sama Papa baik-baik aja, kan?”

“Dev sekarang ada di mana? Daddy nyariin di sini.”

Chanyeol terdiam.

Otaknya berpikir keras harus dengan apa lagi ia mencari cara. Mendatangi setiap rumah sakit terdekat sudah, hasilnya nihil. Mendatangi setiap rumah teman Baekhyun pun sudah, hasilnya tetap nihil.

Jika Baekhyun masih bekerja di NNG Entertainment mungkin akan sedikit lebih mudah mencari informasi.

Tidak adil rasanya. Kenapa semua orang berusaha menjauhkan dirinya dengan anaknya sendiri?