Dua hari berlalu dengan Kai yang masih saja bungkam tentang keberadaan Chanyeol di sini.
Kyungsoo sendiri tidak ia beritahu, apapun masalahnya ia hanya bercerita pada Luhan. Bukan apa, hanya Luhan yang lebih paham dan tahu kondisi Baekhyun.
Sedari kemarin hatinya dongkol juga merasa iba disaat yang bersamaan.
Kai tidak pernah membayangkan keadaannya menjadi semakin rumit.
Devlin, Baekhyun, dan Chanyeol sama-sama jatuh sakit dalam kondisi yang berbeda.
Mau menyalahkan Chanyeol.. tapi ia sadar ini tidak sepenuhnya salah Chanyeol.
Pagi ini Kai mengajak Devlin berjalan-jalan santai mengelilingi taman ruman sakit. Tentunya dengan Devlin yang menggunakan kursi roda.
Matanya mendelik sebal jika teringat Chanyeol yang sok kuat ingin bertemu Devlin dengan keadaan tubuh penuh luka.
Seperti saat ini contohnya, saat ia baru saja keluar dari toilet lalu disuguhkan dengan pemandangan Chanyeol yang menarik tiang gantungan infus.
Tubuhnya ia senderkan pada daun pintu. Kali ini ia membiarkan Chanyeol menghampiri Devlin. Mau melihat sejauh mana si brengsek Chanyeol berjuang demi sang anak.
Devlin belum menyadari keberadaan Chanyeol disampingnya karena anak itu fokus mengutak-atik mainan rubik.
Tangan kanannya terulur ragu, namun buru-buru Chanyeol tarik sebelum menyentuh kepala Devlin.
Belah bibirnya terbuka, dari kejauhan Kai bisa melihat bahwa bibirnya gemetar saat akan mengucapkan nama Devlin.
“De—”
Masing-masing kedua matanya bertemu.
Mata sebening kristal itu mengerjap menatap postur tinggi dihadapannya.
Hal itu membuat sudut bibir Chanyeol tersenyum sumringah. Chanyeol langsung berlutut, mensejajarkan tingginya dengan sang anak.
“Anak Daddy, hm?” Ia mengenggam tangan kecil Devlin yang sama-sama terinfus jarum suntik lalu mengusapnya pelan.
“Anak Daddy ulang tahun hari ini.”
“Daddy dateng ke sini.”
“Maaf bikin Dev nunggu lama.”
“De—”
“Siapa?” Pertanyaan polos keluar, tak ayal membuat Chanyeol sendiri kebingungan dengan pertanyaannya.
“Hm?”
“Uncle siapa?“
Apa maksudnya? Uncle? Chanyeol ini Daddynya, bukan?
“Kenapa banyak plester sama perban di sini?” Devlin menunjuk bagian-bagian luka yang berada di tubuhnya.
“Sakit?” Devlin berekspresi sedih melihat kondisi Chanyeol.
“Uncle harus nurut sama Papa biar cepet sembuh.”
Pandangannya bertubrukan kembali. Chanyeol menyelam, menelusuri tatapan polos nan kosong yang Devlin berikan padanya.
Tidak mungkin jika ia salah orang.
Dihadapannya sudah jelas Devlin, Chanyeol masih ingat rupa anaknya.
“Uncle kenapa?”
Kepalanya menggeleng tidak percaya, tubuhnya bangkit sembari terus bersitatap dengan mata si pemilik mata sebening kristal.
“Kenapa?”
“I-ini Daddy!”
“Dev, anak Daddy.. ini Daddy bukan uncle.”
“Dev gak mungkin lupa sama Daddy.”
“Daddy di sini temenin Dev yang lagi ulang tahun.”
Chanyeol kembali bersimpuh. Air matanya bercucuran bersamaan dengan setiap kata yang ia ucapkan.
“Maaf.”
“Maaf bikin Dev nunggu lama.”
“Dev marah sama Daddy, hm?”
“Maaf.”
Dirinya ingin sekali membawa tubuh Devlin kedekapannya, namun ia terlalu takut.
“Jangan marah lagi sama Daddy.”
“Daddy di sini sama Dev sekarang.”
“Udahan ya marahnya? Daddy minta maaf.”
“Dev lagi bercanda ka— uhuk uhuk.” Chanyeol terbatuk karena berbicara terlalu cepat.
“Daddy siapa? Dev gak tau.”
Sakit.
Hatinya tersayat.
Lukanya bertambah berkali-kali lipat.
Batinnya berteriak sekeras mungkin. Dadanya sesak mengetahui sang anak yang tidak mengenali dirinya.
“Uncle gak boleh nangis.”
“Kata Papa anak laki-laki harus kuat.”
“Dev gak pernah nangis.”
Melihat interaksi memilukan itu Kai langsung bergegas menghampiri mereka.
“Yeol.” Serunya.
“Kai.” Chanyeol berbalik menghadap Kai.
“Kenapa?”
“Dev kenapa?”
“Kenapa Dev ma-manggil gue uncle?”
“Yeol.. tenang. Lo berdiri jangan gini.” Kai membantu Chanyeol untuk bangun dari posisi berlutut.
Ia meminta Devlin untuk kembali fokus bermain rubik sementara dirinya akan berbicara dengan Chanyeol.
Kai memilih serta menyuruh Chanyeol duduk di bangku taman. Setelahnya ia mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Devlin.
Selama Kai menjelaskan mata bulat Chanyeol tidak pernah lepas memandangi sang anak.
“Di kasus Dev tumor otaknya itu berpengaruh ke daya ingat. Dan hasil CT scan kemarin tumornya udah mulai nyebar ke saraf-saraf otak. Jadi, udah gak memungkinkan buat dioperasi lagi karena bisa ngebahayain Dev.”
“Sorry Yeol.”
“Gue gak nyangka bakal separah ini.”
“Uncle itu apa?” Seruan Devlin terdengar. Chanyeol langsung bangkit menghampiri anaknya.
“Ini apa?”
Lirikannya turun mengikuti arah telunjuk Devlin yang menunjuk plastik yang Chanyeol jinjing daritadi.
“Mobil?”
“Mainan mobil polisi tapi udah rusak.”
“Kenapa?”
“Jatuh, Dad— uncle gak sengaja jatuhin.” Nafasnya tercekat saat harus menyebut dirinya sendiri uncle.
“Ini buat Dev?”
“Iya, hadiah ulang tahun Dev dirusak sama uncle.”
“Gak apa-apa..” Devlin meraih plastiknya dari tangan Chanyeol, lalu membukanya.
Chanyeol diam.
Ia tidak sanggup untuk berkata. Lukanya semakin menganga lebar jika ia berbicara.
“Nanti Dev minta Daddy benerin.”
Ucapan Devlin lantas membuatnya terkejut. Seperti ada kupu-kupu berterbangan yang menggelitik hatinya.
“Daddy Joo nanti benerin buat Dev.”
Baru saja Chanyeol mau berharap.
Kenyataan pahit lagi-lagi menghantam hatinya.
“Uncle jangan dulu pergi.”
“Di sini main sama Dev sambil nunggu Daddy sama Papa. Daddy lagi anterin Papa terapi.”
Sekarang apa lagi?
Baekhyun terapi?