Uhavecrushoncy

Jiwa Calvin selamat dari mabuk.

Fabio menepikan mobilnya ke sebuah tempat makan, bilangnya sih Luna belum sempat makam siang. Jadi, Fabio sekalian ingin mentraktir Calvin makan.

Jangan tanya gimana nasib vespa birunya.

Atas permintaan Fabio vespa birunya itu sudah diangkut ke dalam mobil. Untungnya mobil Fabio besar dan lega jadi vespa miliknya bisa muat.

Saat sedang makan Luna merengek ingin ke toilet dan saat itu juga Calvin jadi waswas. Pasalnya Luna melihat ke arahnya terus.

Plis jangan liat ke gue, Luna plis jangan liat ke gue.

Calvin sibuk makan pura-pura tidak merasa diperhatikan Luna.

Dari samping Calvin bisa lihat Luna bangkit dari kursi dan duduk disampingnya seperti di warung ketoprak dulu.

Tubuhnya panas dingin dan batinnya menjerit seraya menebak-nebak apa yang akan dilakukan kucrit Luna kali ini.

“Ekhem.” Calvin berdeham, berharap Fabio sadar dengan kelakuan anaknya.

“Mau sama Daddy.”

“Papa makan aja biar Luna sama Daddy ke toilet.”

Mampus.

Kenapa sih Lunaaaaaa?

Calvin sadar betul ia tidak pernah memakai pelet atau susuk di dalam tubuhnya tapi kenapa Luna selalu memilihnya terus?

“Gak boleh. Calvin lagi makan, Luna sama Papa aja, yuk? Sini.”

Luna menggeleng, “mau sama Daddy.”

Calvin dan Luna sempat beradu pandang sebentar, “tuh, iya kan Daddy? Papa makan aja.”

Plis?

Dirinya hanya tidak sengaja saling melihat sudah dianggap setuju.

“Ekhem.”

“Ayo, Daddy Bong-Bong.” Tangannya mulai ditarik Luna.

Tangan Calvin gatal ingin menjambak dua kunciran rambutnya.

Mau menolak pun percuma. Calvin tidak enak karena sudah dibantu dan ditraktir makan oleh lelaki imut yang ada di depannya.

“Eh? Luna sama Papa aja. Jangan ganggu, ya?”

“Lunaa..”

“Mau sama Daddyyyyy. Aduh, cepetan Daddy Luna udah kebelet.”

Tubuhnya terseret tarikan Luna.

Calvin diam-diam menoleh ke arah Fabio, meminta untuk diselamatkan.

“Ok, good luck!” Ucap Fabio salah mengira ekspresi Calvin, ia malah mengacungkan jempolnya semberi tersenyum manis.

“Daddy tunggu di sini.” Bocah itu masuk dan segera pintu toilet.

“Ya, emang tunggu di luar, kan?”

“Lagian siapa yang mau masuk????!!”

2 menit,

4 menit,

10 menit,

“Anjing, ini dia pipis apa pingsan?” Calvin menguping di balik pintu toilet dan ia merasa tidak mendengar suara apapun.

“Gawat. Gawat ini si kucrit pingsan.”

Calvin mengintip Fabio yang sedang terlibat percakapan di telepon. Ia rusuh sendiri karena pintu toiletnya terkunci.

“Woy!”

“Kalau lama gue tinggal.”

“Masih hidup?”

Tidak ada jawaban.

“Luna?!” Ia menggedor pintu toilet.

“Udah belum, sih?”

“Beneran gue tinggal. Bye.”

DUGH!

“Luna lagi pake lip balm. Daddy bisa diem gak?”

Anj?

10 menit cuma lagi pake lip balm??

Calvin bersidekap. Memandang malas pintu toilet bercat putih yang memuakkan.

5 menit ia menunggu Luna menyelesaikan urusannya.

“Udah.” Ucap Luna dari dalam toilet

“Hah?”

“Udahhhh!”

“Yaudah tinggal buka pintu terus keluar, beres.”

“Ih!”

“Apa sih? Gak tau lagi cara buka kunci pintu?!” Emosinya mulai naik jika sudah berdebat dengan Luna.

“Tau. Ini udah Luna buka kuncinya.”

“Yaudah keluar, astaga.” Calvin menghela nafas kasar.

“Gak bisa!”

“Hah? Apanya sih yang gak bi—” ia mulai paham apa yang sedang Luna bicarakan, “enggak-enggak. Gue panggil orang tua lo aja. Tunggu disitu!”

“Maunya Daddy Bong-Bong!!!”

“Emang kenapa sih sama gue? Demi Tuhan, gak bisa cebok sendiri?”

“Enggak..” cicit Luna lucu.

Calvin mencak-mencak tidak jelas. Jika begini jadinya ia menyesal menerima bantuan dari Fabio tadi.


Masih enjoy, kan? Wkwk

Mungkin ada dari kalian yang gregettt kenapa interaksi Calvin x Fabio dikittt? Kenapa kisah cintanyaa lamaa banget???

Gini gini..

Aku sengaja. Iya sengaja 😭 karena aku rasa cerita yang karakternya cepet banget ngegebet atau sadar kalau dirinya punya perasaan tuh udah banyaaakk. So, aku mau coba beda dari yang lain (mungkin kalau gak labil) 😅

Pasti ada kok nanti bagiannya, tenang ajaa.

Makasih yang udah nungguin ❤️

Jangan lupa feedbacknya ( ˘ ³˘)♥

Calvin bersiap mendorong vespa birunya setelah mengumpati Ken di tweet-an terbarunya.

Ya bisa aja sih Calvin ikut nebeng bareng Andi, temennya Ken tapi gimana nanti sama nasib vespanya? Apalahi jarak dari kampus ke kost tidak ada bengkel ataupun tambal ban, jadi Calvin terpaksa mendorongnya.

“Ganteng doang.. pake vespa kok didorong.” Gerombolan anak sekolahan menyurakinya begitu.

“*Anjing, kalau bukan cewe udah gue ajak *sparing**”

Pandangannya fokus ke depan, tidak mau terdistraksi oleh orang-orang yang memperhatikannya.

Percaya diri adalah koentji, muka ganteng lebih dari koentji,

ialah motto hidup yang selalu Calvin tekankan.

Calvin berhenti sejenak, ia tekan standar vespanya. Tangannya merogoh ponsel dibalik saku hoodienya, lagu Monster dari EXO menjadi pilihan pertama yang akan dia dengarkan melalui earphone.

She got me gone crazy wae simjangi ttwini neon areumdawo naui goddess dathyeoissji Yeah yeah dudeuril teni nal deuryeobonaellae? gamchwojin seurireul julge

*nundongjaui hogisime imi neon ppajyeodeureossgo don't be afraid, Love is the way, Shawty I got it. You can call me—

“DADDY BONG-BONG!!”

Calvin bersiap mendorong vespa birunya setelah mengumpati Ken di tweet-an terbarunya.

Ya bisa aja sih Calvin ikut nebeng bareng Andi, temennya Ken tapi gimana nanti sama nasib vespanya? Apalahi jarak dari kampus ke kost tidak ada bengkel ataupun tambal ban, jadi Calvin terpaksa mendorongnya.

“Ganteng doang.. pake vespa kok didorong.” Gerombolan anak sekolahan menyurakinya begitu.

“*Anjing, kalau bukan cewe udah gue ajak sparing. *”

Pandangannya fokus ke depan, tidak mau terdistraksi oleh orang-orang yang memperhatikannya.

Percaya diri adalah koentji, muka ganteng lebih dari koentji,

ialah motto hidup yang selalu Calvin tekankan.

Calvin berhenti sejenak, ia tekan standar vespanya. Tangannya merogoh ponsel dibalik saku hoodienya, lagu Monster dari EXO menjadi pilihan pertama yang akan dia dengarkan melalui earphone.

She got me gone crazy wae simjangi ttwini neon areumdawo naui goddess dathyeoissji Yeah yeah dudeuril teni nal deuryeobonaellae? gamchwojin seurireul julge

nundongjaui hogisime imi neon ppajyeodeureossgo don't be afraid, Love is the way, Shawty I got it. You can call me—

“DADDY BONG-BONG!!”

Bibirnya bergerak mengucap kata 'asu' dengan pelan. Calvin kira pertemuannya dengan anak kecil itu kemarin adalah pertemuan terakhirnya, tapi ternyata ia salah.

Ia mempercepat dorongannya, matanya masih fokus ke depan.

“Daddy Bong-Bong! Ini Luna!”.

Iya, tau. Lo si kucrit Luna.

“Ih gak didenger.”

Bodo amat.

“Kok motornya didorong? Kayak Luna dong naik mobil.” Dagunya bertengger di antara celah kaca mobil yang terbuka lebar.

Luna anak ng— kucrit, bisa gak sih tuh mulut diem?

Mana lagi lampu merah.

“Kasian banget anaknya teriak-teriak gak didenger. Gue kalau jadi anaknya udah pengen jambak tuh rambutnya.”

“Kalau gue mikirnya itu si bapak budek gak sih? Jadi jangan suudzon dulu.”

“Oh iya iya, bisa jadi.”

Iya, bagus. Gara-gara si Kucrit Luna, mereka terutama Calvin jadi pusat perhatian orang.

Fabio yang mendengar ucapan tidak sopan orang-orang mengenai Calvin hanya bisa tertawa kecil.

“Pak eh Cal, aku bantu sini.” Seru Fabio dari dalam mobilnya.

Gak.

“Gak apa-apa kok. Hitung-hitung balas budi kemarin.”

Gak.

Pendiriannya masih kuat bahkan daritadi Calvin belum menoleh ke arah mobil Fabio.

Fabio mencengkram kuat stir mobil, atensinya menatap lekat pada pesan terakhir yang Nathan kirim.

Gak becus jadi suami.

Hatinya tercubit sakit.

Bisa apa Fabio selain tersenyum perih ketika Nathan mengatainya begitu. Ia melirik Luna di sampingnya, anak itu sedang mengunyah snack di tangannya.

Perasaan sakit hati tadi melebur ketika melihat anaknya. Tangannya terulur membelai rambut panjang sang anak.

“Makan terus. Anak Papa gak ngantuk? Udah malem loh ini.” Luna menggeleng semangat, pipinya menggembung lucu karena mulutnya penuh makanan.

“Tadi Papa khawatir Luna pergi kemana.” Tuturnya lembut,

“takut Luna kenapa-kenapa.”

“Untungnya Luna inget nomor Papa, juga untungnya yang sama Luna itu orang baik.”

“Abis sampe rumah gosok gigi, ya? Jangan tidur dulu.” Ia menjawil hidung Luna dengan gemas.

Matanya fokus ke depan, siap untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“Papa..”

“Hm?” Fabio melirik Luna yang memendangnya penuh arti.

Papa satu anak itu terkejut saat merasakan tangan Luna memeluk pingganga dari samping, “it's okay Papa. Don't cry, ada Luna di sini.”

“Maaf bikin Papa khawatir, nanti Luna kasih Papa cokelat yang Luna simpen di bawah bantal, hehe.”

Fabio tertawa gemas mendengar perkataan Luna. Anaknya itu paling memang peka jika perasaannya sedang tidak baik-baik saja.

“Papa sayang Luna.”

Wajahnya sudah kusut.

Hari ini lebih-lebih buruk dari hari kemarin. Bukannya Calvin lebay tapi dia emang sangat anti dengan anak kecil, baginya anak kecil itu ngerepotin bahkan kalau suatu saat Calvin udah menikah dia gak mau punya anak.

Lihat aja sekarang. Harus dihadapin dengan anak kecil aneh. Mulutnya nyerocos gak berhenti, ngeluarin beberapa kali umpatan dengan nada yang dia atur sepelan mungkin supaya anaknya gak denger.

Calvin pergi keluar masuk kamar, mengecek Papanya Luna yang katanya lagi turun dari lantai 4.

Dia hendak masuk ke kamar tapi seseorang manggil dirinya dari arah luar,

“Pak?”

Calvin berbalik. Sudah siap kembali ngelayangin amukan karena dipanggil “Pak”.

“Gu—oh.” Calvin jadi salah tingkah berhadapan sama pria yang lebih pendek darinya.

“Lunanya ada?”

Matanya menyipit, samar-samar kembali mastiin wajahnya papa si Kucrit Luna yang keliatan beda waktu dia liat di warung ketoprak sama sekarang.

Papanya Luna kan ini?

Kok imut gini? Umurnya berapa?

“Maaf, Lunanya ada?” Yang diperhatikan keliatan bingung karena pertanyaan gak kunjung dijawab.

“Maaf juga tadi aku salah kamar. Maklum cape abis kerja jadi kurang fokus, hehe.” Matanya ngebentuk sabit sempurna.

“PAPAAA!” Dari belakang tubuh Calvin muncul Luna yang langsung berlari dan meminta digendong kepada Fabio.

“Aku main sama Daddy, main sama Om juga.” Luna nunjuk Ken yang berada di dalam kamar.

“Daddynya yang ini aja ya, Pa? Abisnya keren jago sulap gitu. Jadi nanti Luna bisa main sulap-sulapan setiap hari.”

Kan.

Kata-kata ajaibnya muncul lagi.

Belum lagi ini udah malam. Suasana di kost ini sepi, harus bereaksi seperti apa nanti kalau penghuni kost berpikiran bahwa Luna adalah anaknya.

“Papa, daddy mau kenalan katanya.” Luna bisik-bisik.

Lagi.

“Eh? Mau kenalan?” Tanya Fabio yang matanya ngebulat sempurna sekarang.

Calvin pengen banget ngebenturin kepalanya ke dinding berkali-kali.

“Ah iy— eh enggak! Enggak!”

Salah tingkahnya Calvin buat Fabio ketawa lagi, “kenalin aku Fabio papanya Luna.”

“Maaf Luna ngerepotin. Harusnya tadi aku jemput tapi pelanggan di toko kue masih banyak jadi agak telat.” Katanya berusaha sejelas mungkin supaya Calvin gak salah paham.

“Maaf sekali lagi.” Fabio ngebungkuk, kedua tangannya nahan tubuh Luna dengan cara ngedekapnya biar gak jatoh, lalu setelahnya minta izin buat pulang.

Calvin mati kutu.

Padahal sebelumnya dia udah ngerangkai kata-kata yang mau dia kasih ke Fabio sebagai bentuk peringatan supaya anaknya gak lagi nyebut dia “daddy”.

Di ujung jalan, tepatnya di pagar waktu Fabio hendak mau nutup pagarnya Luna noleh ke belakang, dia tatap Calvin dengan tatapan sendu.

“Luna kenapa, hm? Ada yang sakit?”

No papa.”

“Ayo lambaiin tangan dulu ke Pak Calvin.”

Luna langsung lambaiin tangannya dengan semangat, diakhiri kalimat perpisahan, “Bye-bye daddy bong-bong!!”

Panggilan apa lagi itu?

Energi udah beneran abis, dia gak ada tenaga lagi buat ladenin omongan Luna tadi, yang bisa Calvin lakuin sekarang cuma mejamin matanya dengan perasaan kesal yang mendominasi.

Sementara Ken daritadi udah gak kuat ngakak terus liat interaksi mereka bertiga.

“Lo udah cocok banget, Calvin.”

“Gue salut!”

“Berisik, lo!”


Masih enjoy?

Mungkin banyak yang berpikiran ini alurnya lambat bangettt.. 😅 Disini aku sengaja mau ngenalin dulu karakternya Calvin. Jadi alurnya kerasa lama. 🥴

Minta feedbacknya dong, hehe 👉👈 Sedih aku tuh yang baca banyak tapi likenya dikit. ><

“Heh turun!”

“Aduh, itu guci kesayangan gue jangan sampe jatoh.”

“Anjir anjir diem disitu! Jangan loncat-loncat di kasur gue.”

“Ini si Ken mana sih.”

Calvin kelimpungan sampe stress sendiri lihat tingkah Luna yang lari-lari dari ujung ke ujung.

Dia mau gak mau terpaksa bawa anak ajaib itu ke kostnya.

Beruntung ibu kost mau percaya kalau Luna itu keponakannya walaupun harus negosiasi lama.

“Lano Lana!”

Pergerakaan Luna berhenti, dia natap Calvin dalam lalu ngehampirinnya,

“Luna... Daddy. L u lu n a na, Luna.” Luna berkacak pinggang, tapi sebelum itu jari telunjuknya terulur menoyor dahi Calvin. Sama seperti saat Calvin menoyor Luna waktu ketemu tadi sore.

Calvin natap balik Luna dengan tatapan sinis.

Jelas sinis lah, Calvin sama sekali gak terima diperlakukan kayak gitu sama anak kecil.

“Lo tuh ya! Gue bukan Daddy lo!”

Mata polos Luna berkedip dua kali, “tapi Luna maunya Daddy yang ini. Papa Fabio pasti suka.”

“Siapa lagi Fabio. Gak kenal, gue gak kenal.”

“Papanya Luna. Nanti Luna kenalin.”

“Gak.”

“Ih kok gitu. Papa Fabio cantik, baik, suaranya bagus, suka bikin kue juga. Masa gak mau?”

“Ya biarin aja gimana gue.” Jawab Calvin sambil berjongkok ngerapiin sprei kasur yang kusut karena dipake loncat-locat sama Luna.

“Lah kok ngatur?”

Lah kok ngatur, katanya.

Calvin noleh, “lo yang ngatur kucrit!”

Setelahnya Calvin jatuhin tubuhnya di atas kasur, dia nyabut kabel charger yang terpasang di ponselnya.

Calvin ngebiarin Luna yang masih bertingkah aktif, masa bodoh kalau nanti kamarnya kayak pecah. Energinya udah banyak kekuras ngeladenin Luna terus.

Ponselnya dinyalakan, jari telunjuknya digulir keatas, mencari nama 'Kucrit Luna' di kontaknya. Sengaja Calvin namain begitu karena dia gak tau siapa nama orang tuanya.

Tadi sebelum ponselnya benee-bener mati Calvin sempet nanya ke Luna tentang berapa nomor handphone papanya, untungnya Luna tau dan hapal tapi Calvin ragu.

Anak kecil otaknya masih kecil jadi cuma bisa nampung sedikit ingatan. Begitulah isi pikiran Calvin yang ngaco 😭

“Halo?”

“Iya Luna ada di sini.”

“Hah?

“Iya iya. Ke sini aja, cari di maps nama Kost Ganda Putra. Kamar no 4.”

“Gak—”

“Papa! Papa Fabio.. Luna di sini sama Daddy hehe.”

“Woy balikin gak?” Omel Calvin waktu ponselnya tiba-tiba dirampas dari genggamannya.

“Gak mau! Papa di sini keren, ada banyak barang aneh. Tadi Luna coba buletan gede gitu pas Luna ngomong langsung ngeluarin lagu Baby Shark. Kelebihan Daddy ini ternyata tukang sulap, dan kekurangannya suka marah-marah tapi Luna tetep suka. Papa juga pasti su—”

Tangan Calvin udah panas dingin pengen nyumpel mulut Luna. Tadi dia dikatain gak bisa nyebrang sendiri, sekarang dia dikatain tukang sulap. Padahal sulap yang Luna maksud itu Google Home.

Saat anak itu sedikit lengah Calvin langsung ngerampas balik ponselnya, “halo? Iya udah cepetan aja ke sini. Pusing gue sama ni spesies aneh. Dah ya gue tunggu.”

Klik!

Sambungan teleponnya segera Calvin putus secara sepihak tanpa denger jawaban orang dari sebrang sana.

“Apa lo manyun-manyun?”

“Luna belum selesai ngomong!”

“Gue juga belum selesai ngomong tadi.”

“Daddy cepet tua marah-marah terus.”

“Bodo amat.”

Calvin berdiri, dia angkat kaki nuju dapur buat ambil sapu.

“Wah, sulap apalagi ini, daddy?”

“Luna jadi penyihir?”

“Daddy Luna kutuk jadi labu!”

Plis.

“Gue tendang lo sampe Ancol tau rasa.” Kata Calvin dalem hati.

Ngambil sapu ya buat nyapu tapi ini dikira mau atraksi sulap 😭

Emang agak lain.

“Sini Luna yang naikin sapunya.”

“Berisik! Gue mau nyapu bukan mau ladenin ocehan lo.”

“Daddy gak boleh gitu..”

“Gue. Bukan. Daddy. Lo.” Ucap Calvin penuh penekanan disetiap katanya.

“Tapi Luna mauuuu soalnya daddy bagus! Temen-temen Luna pasti iri soalnya daddy bisa sulap.”

🙂

Tuhan tolong lapangkan kesabaran Calvin.

“GUE BUKAN TUKANG SULAP, LUNAAAA!” Calvin setengah teriak sambil ngejambak rambutnya sendiri.

Udah gila ngadepin Luna.

Kesabarannya udah diambang batas.

“Hihi daddy kayak monyet kalau gitu.” Luna ketawa ngakak liat tingkah Calvin yang ngejambak rambutnya sendiri, di mata Luna tingkahnya itu kayak monyet yang lagi garuk-garuk kepala.

Yah, imajinasi anak kecil.

Lagi-lagi dikatain.

Calvin rasannya pengen gantung diri di pohon toge.

Calvin diare.

Tiga harian ini ia tidak pergi kuliah. Masih kesal juga dendam pada Ken tapi cuma Ken teman dekatnya. Jadi bisa apa Calvin selain ngedumel tiap hari?

Ya salah dia sendiri sih. Mau-maunya sarapan seblak padahal bahan-bahan masakan di kamarnya lengkap.

Sekarang ia sedang di klinik seorang diri. Menunggu antrian yang masih lumayan lama.

Jari tangannya bergerak naik turun mengscroll apa saja yang ada di Twitter untuk menghilangkan rasa bosan.

“Nomor antrian 17 atas nama Calvin Alvaro.”

Setelah menunggu satu jam setengah akhirnya nama Calvin dipanggil. Ia berdiri dan segera memasuki ruangan dokter.

Di dalam yang bisa Calvin lakukannya hanya mengangguk-ngangguk paham mendengar penuturan dokter. Lalu pamit undur diri setelah diberi resep obat.

Motor vespanya ia nyalakan bersiap pergi pulang. Tidak lupa membayar parkir di gerbang masuk.

Ekor matanya melirik kanan kiri melihat kondisi jalanan. Tangan kanannya pun sudah mengambil ancang-ancang menarik gas.

“Daddy ternyata kau disini!”

Tubuhnya terlonjak kaget mendengar perkataan sok formal anak kecil yang ia hindari saat di warung ketoprak.

“DADDY YOUR HEAD!” Telunjuknya menoyor kening sang anak perempuan yang ingin memeluknya dari samping. Masih dengan posisinya yang menduduki jok motor.

“Ih..”

“Oh ini Daddynya Luna?” Wanita yang bersama Luna bertanya pada Calvin.

“Hah apa-apaan bu—”

“Iya ini Daddynya Luna.” Sela Luna sumringah. Ia langsung menaiki jok vespa dengan percaya diri, tidak mempedulikan wajah masam Calvin.

“Daddynya Luna, ya? Saya guru tk-nya Luna. Beruntung ketemu di sini, dari siang sekolahnya udah bubar dan tinggal Luna aja. Katanya nungguin Papanya jemput tapi ternyata Daddynya yang jemput.” Jelas wanita berpakaian rapih tersebut.

“Tapi saya—”

“Ibu guru makasih udah nemenin Luna. Sekarang Luna mau pulang dulu.”

Ucapan Calvin disela lagi oleh bocah laknat.

“Oh iya, hati-hati Luna. Ibu pergi, ya? Dah..”

Berakhir dengan mereka berdua di sisi jalan raya. Calvin masih cengo melihat tingkah ajaib Luna, sementara Luna tidak henti-hentinya menyerocos tentang kegiatan di sekolahnya hari ini.

“Pak? Mau saya sebrangin?”

Pak, katanya.

Calvin ingin sekali murka mendengar perkataan satpam.

“Iya, Pak Satpam. Tolong sebrangin, Daddy aku gak bisa nyebrangi sendiri.” Luna nyengir.

Dari spion ia bisa lihat sendiri wajah Calvin memerah tapi dirinya hanya tertawa renyah.

“Ini merah. Pasti sakit, ya uncle?”

Uncle gak nurut sama Papa.”

“Dev kasih stiker.” Anak itu melepas stiker bergambar beruang yang ia bawa lalu menempelkannya di setiap perban.

Terakhir Chanyeol terkejut dengan perlakuan Devlin yang tiba-tiba mencium pipinya.

“Gak boleh sakit lagi, janji?” Jari kelingking mungil terangkat, mengisyaratkan Chanyeol agar mengaitkan jari kelingkingnya juga.

“Harus sembuh biar Papanya uncle seneng.”

“Dev juga,” suaranya gemetar.

“Harus sembuh.”

Chanyeol bisa lihat Devlin tersenyum dan mengangguk meski pandangannya buram karena air mata yang kembali menggenangi pelupuk matanya.

“Yeol sorry. Dev harus balik ke kamar.”

Chanyeol menoleh ke belakang, “kenapa?”

“Dev harus istirahat. Gak baik lama-lama di luar, banyak virus.”

Ah, iya. Chanyeol sempat lupa tadi. Anaknya itu sedang sakit keras.

Kursi roda diambil alih Kai. Chanyeol mundur memberi jalan pada mereka.

Devlin kembali jauh dari pandangannya.

Tidak bisa.

Hatinya menolak berpisah dengan sang anak.

Mengabaikan rasa perih yang berdenyut di setiap tubuhnya, Chanyeol menarik tiang dan mengejar untuk menghentikan mereka berdua.

“Tunggu sebentar.”

“Kenap—”

“Kangen. Daddy kangen sama Dev.” Tiang penyangga infus terjatuh, Chanyeol tidak peduli. Saat ini dirinya hanya ingin memeluk tubuh Devlin.

Chanyeol tidak peduli juga pada Kai yang terus mencoba melepaskan dirinya.

Ia butuh Devlin.

Hal yang berharga di hidupnya.

Dekapannya menguat. Chanyeol masih belum ingin berpisah.

Dalam hati ia meraung-raung menyesali segala perbuatannya dahulu.

“Maaf.” Hanya itu yang mampu Chanyeol ucapkan.

“Maafin Daddy.”

Kilasan-kilasan perbuatannya dulu terlintas dipikirannya.

Mengingkari janjinya pada Devlin,

Mengacuhkan keinginan Devlin untuk bermain bersama,

Membiarkan Devlin menangis karena ingin bertemu,

dan paling parah saat ia meninggalkan Devlin seorang diri di tempat ramai, sementara dirinya pergi menemui Hani yang saat itu sedang panik karena Malka terjatuh.

Kenapa dirinya sangat bodoh waktu itu?

Kenapa dirinya baru sadar saat Devlin sudah sakit begini?

Chanyeol marah pada dirinya sendiri. Semua perjuangannya untuk Devlin belum ada apa-apanya. Ia perlu membayar lebihbanyak lagi.

“Yeol, Dev harus istirahat.” Kai melepaskan pelukan Chanyeol dan segera mendorong kursi roda.

“Nanti kita main bareng lagi!”

“Jangan nangis.”

“Dah uncle!”

Chanyeol menangis lagi ketika Devlin melambai kearahnya. Pandangannya sudah benar-benar terputus oleh belokkan.

“Selamat ulang tahun, Dev.”

Maunya Chanyeol pergi mengikuti Devlin tapi ia ingat perkataan Kai bahwa kamar Devlin itu steril, tidak boleh dikunjungi banyak orang.

“Pa, Daddynya yang ini, ya?”

Yang dipangil Papa hanya bisa tepuk jidat melihat tingkah laku anak perempuannya. Belum lagi ia harus menerima tatapan aneh dari setiap pengunjung.

“Ahahaha..” ia tertawa hambar bermaksud mencairkan suasana yang mendadak hening ketika anaknya berteriak.

“Daddynya yang ini. Gak mau yang itu.” Kedua tangan kecilnya dilipat sebatas dada.

“Lunaa..”

“Apa Papa..”

“Makan dulu, yuk? Abisin. Nanti Papa yang bilang.” Ia menggendongnya lalu mendudukkan sang anak di bangku.

Kemudian ia melirik seseorang. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di sana, ia tahu itu.

“Papa Fa Bi O nanti Daddynya keburu pergi.” Bisik Luna di telinganya pelan.

Fabio membalikkan badan dan berjalan menuju lelaki muda yang barusan Luna tunjuk sebagai Daddynya.

Lelaki tadi nampak sibuk makan. Fabio dengan ragu menepuk pundak kokoh tersebut.

“Pak? Maaf tadi anakku gak sopan. Maaf sekali lagi.”

“Oh? Iya tenang aja.” Fabio tersenyum canggung, kelihatannya lelaki itu sama sekali tidak memperdulikan kejadian tadi.

Syukurlah.

“Gimana, Pa? Mau jadi Daddynya Luna gak?”

Astaga. Fabio baru saja duduk sudah ditanyai dengan pertanyaan seperti itu.

Satu suapan masuk ke dalam mulutnya dengan tenang.

Meski kelihatannya tenang tapi hatinya sudah ketar-ketir akibat tingkah anak kecil disampingnya.

Calvin geser sedikit,

Anak kecil itu ikut geser.

Calvin geser lagi,

Anak kecil itu ikut geser lagi.

Sampai tiba di ujung bangku yang sudah mau habis Calvin berdiri membawa piring ketopraknya, lalu pindah ke tempat duduk lain.

Inhale

Exhale

Inhale

Exhale

Mata bulatnya celingak-celinguk memastikan anak kecil itu tidak mengikuti dirinya.

“Oke.” Calvin membeo dan kembali melanjutkan acara makan ketopraknya.

Anak kecil tadi sudah mulai makan bersama orang tuanya. Itu artinya ia tidak akan mengganggu Calvin lagi.

Tubuhnya setengah berdiri mengambil teko dan menuangkannya ke dalam gelas.

Namun saat Calvin melirik ke samping ia mendapati anak kecil tengah memperhatikannya tajam.

Anjir anjir” Umpatnya dalam hati. Calvin segera memutus pandangannya.

Masih bersikap tenang, ia memasukkan satu suapan penuh. Batinnya menjerit ingin segera selesai lalu pergi ke kampus.

Lagipula anak kecil itu kenapa, sih?

Terus apakah orang tuanya sadar bahwa anaknya memperhatikan dirinya?

Tubuh Calvin merinding disko. Baru kali ini mendapat kejadian tidak mengenakkan.

BRAKK!

“PA, DADDYNYA INI AJA!” Suara teriakan kecil yang melengking terdengar.

Calvin berhenti makan. Ia dengan hati-hati melirik sekitar karena keadaan tiba-tiba menjadi sepi.

“Yang ini aja Daddynya!”

Tubuhnya tegang bak patung.

Anak kecil sudah tepat berada di depan dengan jari telunjuk yang mengarah padanya.